Pendidikan Inklusif Berkualitas Bagi Anak Berkebutuhan Khusus, Jauh Panggang dari Api

  • Bagikan
Pendidikan Inklusif Berkualitas Bagi Anak Berkebutuhan Khusus, Jauh Panggang dari Api

JAKARTA (Waspada):Seperti peribahasa ‘jauh panggang dari api’,  pendidikan inklusif yang berkualitas bagi anak-anak penyandang disabilitas punya jarak lebar antara kebijakan dan kondisi di lapangan.

Peraturan Pemerintah Nomor 13/2020 tentang akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas, merupakan aturan turunan dari Undang-Undang Nomor 8/2016 tentang penyandang disabilitas. Muaranya berasal dari UUD 1945 Pasal 5 ayat 2.

Data Pokok Pendidikan (Dapodik) 2023 menyebutkan, masih ada sedikitnya 40 persen anak-anak penyandang disabilitas di Indonesia yang bersekolah. Alasannya mulai dari ketiadaan biaya, ketidakmampuan belajar sampai penolakan oleh sekolah umum.

“Lebih dari itu, tidak semua pemerintah daerah punya regulasi dan akomodasi terkait pelayanan pendidikan yang layak bagi penyandang disabilitas. Meski kurikulum merdeka sejalan dengan prinsip inklusivitas, tapi tidak banyak sekolah yang punya level pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan anak-anak peyandang disabilitas,” ujar Koordinator Kelompok Kerja Pendidikan Inklusif, Direktorat Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), Meike Anastasia di Jakarta, Senin (1/4/2024).

Seperti diketahui, program pendidikan inklusif memberi kesempatan bagi anak-anak penyandang disabilitas atau berkebutuhan khusus untuk bersekolah di sekolah formal. Tentu saja hal itu setelah melewati asesmen tertentu dari pihak satuan pendidikannya.

Pada Desember 2023, ada 40.164 sekolah formal yang punya peserta didik berkebutuhan khusus. Namun sayangnya, hanya 5.956 sekolah yang punya guru pembimbing khusus.

“Padahal keberadaan guru pembimbing khusus di sekolah formal yang menerima siswa berkebutuhan khusus itu sangat krusial. Bisa jadi itulah kunci keberhasilan,” kata Meike.

Minimnya keberadaan guru pembimbing di sekolah formal, menjadi latar belakang pihaknya mengadakan program pendidikan berjenjang inklusif. Tujuannya adalah menghasilkan pendidik yang punya keberpihakan pada pendidikan untuk semua, termasuk bagi anak berkebutuhan khusus.

Pada tingkat dasar di  program pendidikan pendidikan inklusif, guru belajar mandiri secara daring di Program Merdeka Mengajar (PMM). Di tingkat lanjut, guru dapat memfasilitas pembelajaran inklusif. Pada tingkat mahir, guru berperan sebagai konsultaan.

“Pada akhirnya, program ini menjadi jembatan bagi kesenjangan antara peraturan yang sudah bagus, dengan kondisi riil di lapangan. Kita bisa mulai dari penyediaan guru pembimbing,” kata Meike.

Dikatakan Meike, guru pembimbing khusus mempunyai kewenangan melakukan asesmen pada siswa yang ingin masuk sekolah formal. Selain tugasnya membimbing pembelajaran inklusi di kelas, guru pembimbing juga harus mampu memberi advokasi bagi orang tua murid.

“Harus terjalin komunikasi yang baik antara sekolah dan orang tua terkait pembelajaran anak berkebutuhan khsus. Perantaranya adalah guru pembimbing khsus ini,” pungkas Meike.

Meski masih perlu banyak penanganan khusus, Meike merasa bersyukur karena masih ada sekolah-sekolah formal di berbagai provinsi yang dapat dibilang sukses menjalankan pendidikan inklusif. Dia menyebut beberapa wilayah diantaranya Sumatera Barat, Sulawesi Tengah, Bali, Jawa Timur bahkan NTT dan NTB yang punya sekolah formal dengan layanan inklusif yang baik.

“Sekolah-sekolah yang bisa menjalankan pendidikan inklusif dengan baik ini dapat menjadi role model bagi sekolah-sekolah lain,”tambah Meike.

  • Bagikan