Telan Anggaran Rp600 Miliar, Revitalisasi KCBN Muarajambi Libatkan Masyarakat Setempat

  • Bagikan
Telan Anggaran Rp600 Miliar, Revitalisasi KCBN Muarajambi Libatkan Masyarakat Setempat

JAMBI (Waspada): Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) menganggarkan Rp600 miliar untuk program revitalisasi Kawasan Cagar Budaya Nasional (KCBN) Candi Muarajambi. Berdasarkan penelitian temuan lapangan, cagar budaya yang terletak di Kabupaten Muarajambi, Provinsi Jambi ini menyimpan sejarah perkembangan agama Buddha-Hindu dan Melayu di era 7 sampai 12 Masehi.

Sekretaris Jenderal Ditjen Kebudayaan, Fitra Arda mengatakan, anggaran yang digelontorkan pemerintah diperuntukkan bagi pembebasan lahan, okupasi (pengupasan) sejumlah komplek candi yang masih tertimbun tanah, revitalisasi kawasan dan rencana pembangunan sekolah alam terkait KCBN Muarajambi.

“Dalam realita di lapangan, proses revitalisasi Cagar Budaya Muarajambi ini benar-benar melibatkan masyarakat setempat. Karena pada dasarnya, masyarakatlah yang memiliki situs ini,”ujar Fitra saat berdiskusi dengan puluhan wartawan peserta tur media Kemendikbudristek, di KCBN Muarajambi, Sabtu (3/2/2024).

Fitra menyebutkan ada tiga dasar pembangunan dan perlindungan kebudayaan yang diterapkan. Ketiga dasar itu adalah pengarusutamaan, peran serta masyarakat dan penguatan ekosistem.

“Tiga hal ini menjadi dasar menghidupkan kembali cagar budaya,” tandas Fitra.

Kepala Balai Perlindungan Kebudayaan (BPK) Wilayah V Jambi, Agus Widiatmoko menambahkan, pelibatan masyarakat dibuktikan lewat keberadaan 8 desa penyangga KCBN Muarajambi. Setiap desa punya peranan penting untuk bahu membahu menghidupkan kembali (revitalisasi) kehidupan di seputaran kawasan.

“Setiap ada kegiatan besar di kawasan candi, senantiasa didukung masyarakat. Termasuk pengelolaan hasil bumi di kawasan hutan produksi,” ujar Agus.

KCBN Muarajambi memang dipenuhi dengan pohon berbuah, diantaranya duku, duren dan rambutan. Ketiga jenis pohon itu menjadi yang paling dominan mengisi komplek-komplek candi yang tersembunyi.

Begitu juga dengan pengelolaan pasar guna memenuhi layanan pariwisata kawasan. Ada yang dinamakan Paduka, kepanjangan dari Pasar Dukuh Karet (Paduka). Ada juga pasar apung yang memanfaatkan kanal Candi Astano. Keduanya dikelola langsung oleh masyarakat.

“Bahkan untuk menamai candi-candi ini semuanya berdasarkan memori kolektif masyarakat sekitar,” kata Agus.

Dalam waktu dekat, perwakilan masyarakat di 8 desa penyangga KCBN Muarajambi juga bakal diajak melakukan semacam studi banding tentang pengelolaan kawasan situs di pinggir sungai. Kondisi sama terjadi di Vietnam dan telah terbukti sangat bagus. (J02)

  • Bagikan