Diskriminasi dan Stigmatisasi Terus Mendera Perempuan Disabilitas

  • Bagikan

JAKARTA (Waspada): Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga mengungkapkan bahwa situasi perempuan di pedesaan dan perempuan penyandang disabilitas masih sangat sulit karena kurangnya layanan dan infrastruktrur, serta adanya stigmatisasi dan diskriminasi terutama bagi perempuan penyandang disabilitas.

“Kurangnya layanan, serta infrastruktur yang buruk di daerah pedesaan telah membuat akses terhadap informasi, pendidikan, perawatan kesehatan, dan pekerjaan formal sangat sulit bagi perempuan pedesaan. Mereka dihadapkan pada kondisi untuk bertanggung jawab atas pekerjaan rumah tangga, seperti mencari air dan energi untuk keluarga mereka. Para perempuan ini juga menghadapi kondisi kerja yang berat tanpa dibayar,” kata Menteri PPPA, dalam Acara Inclusive Economic Growth to Build Resilience: Focus on Rural Women and Women with Disabilities, secara virtual pada Rabu (8/6).

Menteri PPPA juga mengungkapkan bahwa perempuan penyandang disabilitas menghadapi stigmatisasi dan diskriminasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan tanpa disabilitas. Sebagian masyarakat masih menganggap mereka sebagai pihak yang tidak berdaya, padahal mereka justru memiliki kekuatan dan potensi yang berharga seperti orang lain. Perempuan penyandang disabilitas ini juga terkonsentrasi di sektor pekerjaan informal atau bahkan tidak memiliki pekerjaan sama sekali.

“Meskipun perempuan masih menghadapi banyak tantangan, mereka sebenarnya adalah warga dunia yang sangat berharga. Perempuan merupakan setengah dari populasi Indonesia dan dunia, yang menjadikan mereka setengah dari ekonomi dan kekuatan dunia. Setiap perempuan, terlepas dari latar belakang dan karakteristiknya, adalah agen perubahan untuk dunia yang lebih baik. Ketika kita memberdayakan semua perempuan, baik perempuan di kota, perempuan di pedesaan, atau perempuan penyandang disabilitas, kita sedang dalam proses percepatan pengentasan kemiskinan dan stabilitas ekonomi, menuju kemakmuran bagi semua. Oleh karena itu, mari kita bersama – sama memberdayakan perempuan, terutama perempuan di pedesaan dan perempuan penyandang disabilitas yang masih memerlukan perhatian lebih,” ujar Menteri PPPA.

Menteri PPPA kemudian mengatakan bahwa beberapa faktor seperti gender, ras, disabilitas, dan kelas merupakan hal yang saling bersinggungan dan membentuk bagaimana individu maupun kelompok mengalami banyak diskriminasi. Beberapa faktor ini perlu diperhatikan ketika berbicara tentang pemberdayaan perempuan.

“Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak; Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi; Kementerian Dalam Negeri; dan Pemerintah Daerah telah bekerja sama dalam mengembangkan Desa/Kelurahan Ramah Perempuan dan Anak untuk mengarusutamakan hak-hak perempuan dan anak-anak dari tingkat akar rumput, termasuk mempromosikan kewirausahaan perempuan bagi perempuan lokal dan perempuan lokal penyandang disabilitas. Hingga saat ini, terdapat 142 Desa Ramah Perempuan dan Anak yang tersebar di 71 Kabupaten dan 33 Provinsi di Indonesia,” tutur Menteri PPPA.

Sementara itu, Chair W20 Presidency Indonesia, Hadriani Uli Silalahi menyampaikan bahwa inklusivitas hanya dapat dicapai jika ada kebijakan untuk memberikan akses yang sama terhadap berbagai peluang dan sumber daya yang ada bagi orang-orang yang seringkali terabaikan.

“Perempuan di pedesaan dan perempuan penyandang disabilitas seringkali diabaikan sehingga membuat mereka tersisih. W20 Indonesia telah mengenali masalah ini sejak awal. Kami melihat bahwa perempuan pedesaan dan penyandang disabilitas, belum pernah menjadi prioritas,” ujar Hadriani.

Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia (Kowani), Giwo Rubianto mengungkapkan pentingnya mengakui keragaman di antara perempuan dalam mempromosikan pemberdayaan perempuan, dan untuk keberhasilan pembangunan berkelanjutan jangka panjang.

“Kita perlu bekerja sama untuk menemukan solusi dalam mengatasi tantangan yang ada, yaitu menghilangkan ketidaksetaraan, dan memberikan akses serta dukungan bagi perempuan pedesaan dan perempuan penyandang disabilitas dalam membangun ketahanan yang akan memberikan hasil positif bagi masyarakat kita. Mari kita bekerja sama untuk meningkatkan kesejahteraan perempuan termasuk yang memiliki disabilitas, serta perempuan dan anak-anak di daerah pedesaan, dengan membuka akses pendidikan digital inklusif dan akses perawatan kesehatan yang merupakan kebutuhan mendasar,” ujar Giwo.

Beberapa narasumber yang turut hadir dalam kelompok diskusi mengenai perempuan di pedesaan, diantaranya Deputi Bidang Kesetaraan Gender KemenPPPA, Lenny N. Rosalin yang memaparkan mengenai Desa Ramah Perempuan dan Anak untuk mengarusutamakan hak-hak perempuan dan anak-anak dari tingkat akar rumput, termasuk mempromosikan kewirausahaan perempuan bagi perempuan lokal dan perempuan lokal penyandang disabilitas. Narasumber lainnya adalah Mia Siscawati, Head of Post Graduate Study Programme, Women and Gender Studies, University of Indonesia yang membahas topik penguasaan tanah dan kepemilikan aset perempuan pedesaan, serta perubahan iklim. Adapula Claire Sibthorpe, Head of Connected Society and Connected Women, GSMA, yang membahas mengenai akses dan penggunaan teknologi seluler digital untuk perempuan pedesaan, serta Alette van Leur, ILO, Sectoral Policies Department (SECTOR) yang membahas mengenai sektor agrikultur dan perempuan pedesaan.

Turut hadir sebagai narasumber di kelompok diskusi perempuan penyandang disabilitas, President of Indonesia’s Advisor for Youth and Disability inclusion, Angkie Yudistia yang membahas mengenai peluang dan tantangan dalam digital dan teknologi untuk mempromosikan inklusi disabilitas, Esteban Trommel, Senior Advisor on Disability Inclusion, ILO yang membahas rekomendasi untuk kebijakan inklusi disabilitas di negara-negara G20, dan Risnawaty Utami, Member of UN Committee on the Rights of Persons with Disability yang membahas mengenai gender dan disabilitas dalam hak-hak penyandang disabilitas.(J02)

  • Bagikan