Revitalisasi Cegah Kepunahan Bahasa Daerah

  • Bagikan
Revitalisasi Cegah Kepunahan Bahasa Daerah

TANGERANG SELATAN (Waspada): Kepunahan bahasa daerah mengancam hampir seluruh bahasa daerah di Indonesia. Bahkan sejumlah bahasa dengan penutur terbanyak seperti Bahasa Jawa atau Bahasa Sunda, misalnya, tidak luput dari ancaman.

Penelitian yang dilakukan Badan Bahasa Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) menyebutkan, sudah ada 11 bahasa daerah yang punah dari 718 bahasa daerah yang ada di Indonesia. Sebagian besar bahasa daerah yang punah berasal dari wilayah Indonesia timur, yakni Papua dan Maluku. Indonesia bagian timur juga menjadi wilayah dengan jumlah bahasa daerah terbanyak yakni lebih dari 400 dari 718 bahasa daerah di Indonesia.

Kepunahan disebabkan berbagai hal, paling utama adalah karena tidak ada lagi orang yang menggunakan bahasa tersebut.

“Artinya, kalau sudah tidak ada lagi penuturnya, maka ancaman kepunahan bahasa daerah akan terus terjadi,” ujar Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), Prof. E. Aminudin Aziz, dalam taklimat media tentang capaian kinerja Badan Bahasa di Tangerang Selatan, Banten, Jumat (23/12/2022).

Dia menyebutkan fenomena Bahasa Sunda yang kehilangan 2 juta penutur. Jumlah itu mungkin tidak terasa mengingat Bahasa Sunda masih punya sedikitnya 49 juta penutur.
Akan tetapi, hal itu menandakan bahwa tidak ada satupun bahasa daerah yang aman dari ancaman kepunahan.

“Makanya Badan Bahasa melalui Merdeka Belajar Episode 17 mengusung revitalisasi bahasa daerah. Tujuannya mencegah semaksimal mungkin  punahnya bahasa daerah,” ujar Azis.

Kepala Pusat Pengembangan dan Perlindungan Bahasa dan Sastra, Imam Budi Utomo dalam paparannya mengatakan, selama tahun 2022, Badan Bahasa telah sukses melaksanakan program Merdeka Belajar Episode Ke-17: Revitalisasi Bahasa Daerah yang tersebar di 13 provinsi di seluruh Indonesia dengan 39 bahasa daerah.

Program tersebut tersebar di 157 kabupaten/kota dan melibatkan  2.016 pengawas, 104.112 kepala sekolah dan guru, 33.764 pegiat bahasa daerah serta lebih dari 2 juta pelajar SD dan SMP.

Budi mengatakan, revitalisasi bahasa daerah kali ini punya pendekatan baru. Sifatnya adalah dinamis, adaptif dan menyasar generasi muda.

“Orientasi kami tidak hanya pada perlindungan bahasa tapi lebih pada pengembangan bahasa daerah. Itu sebabnya, komunikasi yang terjalin erat menjadi tujuan utama,” kata Budi.

Beberapa hal yang dilakukan dalam program revitalisasi adalah mengajak tokoh atau maestro bahasa dan sastra setempat untuk ikut membina para pelajar. Mereka mengajar di sekolah SD dan SMP tentang bahasa dan sastra daerahnya, untuk kemudian akan ditampilkan dalam festival.

“Kami juga fokus pada penggunaan bahasa daerah di dalam keluarga. Biasanya, bahasa daerah yang menjadi bahasa ibu akan mengakar kuat dan menjadi kelangsungan hidup suatu bahasa,” imbuh Budi.

Ada tiga model pengembangan dalam program revitalisasi bahasa, yakni model A, B dan C. Ketiganya dipisahkan berdasarkan daya bahasa dan jumlah penutur. Masing-masing akan menentukan penanganan seperti apa yang dilakukan di lapangan.

Model C, misalnya, adalah pendekatan untuk bahasa daerah dengan daya hidup kritis dan terancam punah. Jumlah penutur sangat sedikit dan sebarannya sempit. Untuk model ini pendekatannya berbasis komunitas dan khas.

Sejumlah bahasa di Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, NTT, Maluku dan Maluku Utara dan Papua masuk dalam revitalisasi model C.

Tahun depan, program revitalisasi bahasa daerah dipastikan akan tetap berjalan dan menyasar lebih banyak bahasa daerah. (J02)

  • Bagikan