Hukum Ila’

  • Bagikan
<strong>Hukum Ila’</strong>

Oleh Zul Arwan Lubis

Orang yang meng-ila’ (bersumpah tidak mencampuri) istrinya diberi tenggang waktu empat bulan. Jika mereka kembali (mencampuri istrinya), sesungguhnya Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang” (QS. Al-Baqarah/2:226)

Hukum Ila’. Melalui ayat 226 Allah menjelaskan bahwa laki-laki yang meng-ila’ istrinya, yaitu bersumpah tidak akan mencampuri istri, dan lantaran sumpah tersebut seorang istri menderita karena tidak dicampuri dan tidak pula diceraikan; dalam kondisi ini maka istri harus menunggu empat bulan sebagai batas atau tenggang waktu bagi istri untuk menerima keputusan suami, apakah rujuk dengan membayar kafarat sumpah atau cerai.

Kemudian jika dalam masa empat bulan itu mereka kembali kepada istrinya dan hidup bersama sebagai suami-istri dan saling memaafkan, maka sungguh, Allah Mahapengampun atas kesalahan yang telah mereka perbuat, Mahapenyayang kepada hamba-hamba yang menyadari kesalahan mereka. 

Telah disebutkan di dalam kitab Sahihain, dari Siti Aisyah r.a. yang menceritakan: Bahwa Rasulullah SAW pernah meng-ila’ istri-istrinya selama satu bulan. Maka Beliau SAW baru turun setelah dua puluh sembilan hari, lalu bersabda, “Bulan ini bilangannya dua puluh sembilan hari”.

Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan pula hal yang semisal melalui Umar ibnul Khattab ra. Jika masa ila lebih dari empat bulan, maka pihak istri boleh meminta kepada pihak suami agar menggaulinya setelah habis masa empat bulan. Setelah habis masa empat bulan, pihak suami hanya ada salah satu pilihan:

Adakalanya menyetubuhi istrinya dan adakalanya menceraikan istrinya, pihak hakim boleh menekan pihak suami untuk melakukan hal tersebut. Demikian itu agar pihak istri tidak mendapat mudarat karenanya. 

Sebab itulah maka disebutkan oleh firman-Nya: “Kepada orang-orang yang meng-ila’ istrinya” (QS. Al-Baqarah: 226). Yakni bersumpah untuk tidak menyetubuhi istrinya. Di dalam ayat ini terkandung pengertian yang menunjukkan bahwa ila hanya kliusus bagi istri, tidak berlaku bagi budak perempuan. Seperti yang dikatakan oleh jumhur ulama.

Kemudian ayat, diberi tangguh empat bulan (lamanya) (QS. Al-Baqarah: 226). Pihak suami menunggu selama empat bulan sejak ia mengucapkan sumpahnya, kemudian dihentikan, lalu dituntut untuk menyetubuhi istrinya atau menceraikannya.

Karena itulah pada firman selanjutnya disebutkan: “Kemudian jika mereka kembali (kepada istri-istrinya)” (QS. Al-Baqarah: 226). Yaitu hubungan mereka berdua kembali seperti semula sebagai suami istri secara utuh.

Kalimat ini merupakan kata sindiran yang menunjukkan pengertian bersetubuh. Demikianlah menurut pendapat Ibnu Abbas, Masruq, Asy-Sya’bi, Sa’id ibnu Jubair, dan ulama lainnya yang bukan hanya seorang, di antaranya ialah Ibnu Jarir. 

Kemudian firman Allah SWT: “Maka sesungguhnya Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang” (QS. Al-Baqarah: 226). Artinya, Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang atas semua kelalaian yang dilakukan terhadap hak para istri disebabkan sumpah ila.

Lalu firman Allah SWT: “Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sesungguhnya Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang” (QS. Al-Baqarah: 226). Di dalam ayat ini terkandung dalil yang menjadi pegangan salah satu di antara dua pendapat yang ada di kalangan ulama, yaitu qaul qadim dari Imam Syafii. Bahwa orang yang bersumpah ila apabila kembali kepada istrinya sesudah empat bulan, tidak ada kifarat atas dirinya.

Hal ini diperkuat oleh hadis yang terdahulu mengenai ayat ini, diriwayatkan dari Amr ibnu Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda: “Barang siapa yang bersumpah atas sesuatu, lalu ia melihat bahwa selainnya lebih baik daripadanya, maka kifaratnya ialah meninggalkan sumpahnya itu“.

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad, Imam Abu Daud, dan Imam Turmuzi. Tetapi, pendapat jumhur ulama sama dengan qaul jadid Imam Syafii yang mengatakan bahwa si suami dikenakan kifarat, mengingat keutamaan makna wajib membayar kifarat bagi setiap orang yang bersumpah, lalu melanggar sumpahnya. Wallahu A’lam.

(Dosen UNIVA Medan dan Ketua Bahsul Masail DPP KAMUS Indonesia)

  • Bagikan