Rajab Sebagai Bulan Haram

  • Bagikan
Rajab Sebagai Bulan Haram
Rajab Sebagai Bulan Haram Oleh Darwis Simbolon, S.Pd., M.Pd “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya dirimu dalam bulan yang empat itu...” (QS. At-Taubah: 36) Rajab termasuk salah satu bulan haram yang diagungkan oleh masyarakat Arab Jahiliyah ketika itu. Hal ini menjadi bukti masih adanya sisa-sisa ajaran Nabi Ibrahim as kepada bangsa Arab. Salah satu cara mereka memuliakan bulan-bulan haram tersebut adalah melakukan amalan khusus seperti berpuasa dan menyembelih hewan. Hanya saja cara-cara yang mereka kerjakan untuk memuliakan bulan haram tersebut mulai luntur, terkontaminasi bahkan menyimpang dari tuntunan yang benar. Mereka menyembelih Fara’ atau anak unta yang pertama kali dilahirkan. Mereka membuat-buat aturan mengenai hewan yang akan disembelih. Begitu pula dengan Atirah sebagai sembelihan yang dilakukan oleh masyarakat Arab Jahiliyah khusus pada bulan Rajab. Padahal mereka hanya diperintah untuk berbadah dan berkurban untuk Allah. Maka ketika Nabi SAW diutus membawa Islam sebagai syariat yang sempurna, kebiasaan yang sudah terkontaminasi ini pun diluruskan. Justru yang lebih ditekankan adalah berupaya mengerjakan amal saleh sesuai kemampuan masing-masing. Serta menjaga kesucian bulan-bulan haram dari berbagai perbuatan maksiat, aniaya dan kezaliman. Maka tidak ada amalan atau ibadah khusus mengenai penyembelihan hewan dibulan Rajab. Nabi SAW bersabda, “Tidak ada Fara’ atau Atirah.” (HR. At-Tirmidzi) Ibnu Rajab dalam kitab Lathaif al Ma’arif berkata bahwa Allah SWT menjelaskan perihal penciptaan langit dan bumi, pergantian siang dan malam serta penciptaan seluruh benda di alam semesta, sungguh Allah Maha Kuasa menjadikan dan mengaturnya sehingga berfungsi, beredar atau berputar di orbitnya. Dia juga menciptakan matahari sebagai pelita, bulan dan bintang-bintang yang berkilauan dimalam hari. Semuanya beredar atau berputar pada orbitnya menurut ketentuan-Nya. Lalu dia menetapkan dua belas bulan dalam setahun. Sehingga dalam syariat Islam, pergantian tahun dihitung berdasarkan perputaran atau munculnya bulan. Bukan berdasarkan perputaran matahari sebagaimana yang dilakukan Ahli Kitab. Dalam setahun, terdapat empat bulan haram sebagaimana ketetapan-Nya. Salah satunya adalah Rajab sebagai bulan haram yang terletak antara bulan Jumadil Akhir dan Sya’ban. Mengenai nama-nama bulan haram yang disucikan tersebut, Nabi SAW bersabda, “Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Diantaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut, yaitu Dzulkaedah, Dzulhijjah, dan Muharram. Rajab mudhar yang terletak antara Jumadil Akhir dan Sya’ban” (HR. Bukhari dan Muslim) . Surah At-Taubah ayat 36 diatas mengisahkan budaya bangsa Arab dimasa jahiliyah. Dimana mereka lebih mendahulukan hawa nafsu dalam menetapkan empat bulan haram dalam setahun. Pada praktiknya, mereka hanya menghormati jumlah empat bulannya saja. Tanpa merujuk pada ketetapan nama-nama bulan yang telah diharamkan oleh Allah. Mereka membuat-buat ketetapan untuk mengundurkan atau memajukan sebagian bulan halal yang lain menurut kehendaknya. Hal ini bertujuan menyesuaikan kebutuhan mereka terhadap peperangan. Sungguh tindakan mereka yang membuat-buat aturan sekehedaknya dalam mengotak-atik bulan-bulan haram termasuk tindakan melampaui batas dan kekafiran. Inilah kebodohan yang membuat setan leluasa menyesatkan orang-orang kafir. Mereka telah menghalalkan bulan-bulan yang mereka tunda pengharamannya dari bulan-bulan yang empat dalam setahun. Lalu mengharamkannya pada tahun yang lain. Tujuannya agar sesuai keinginannya dan dapat menyesuaikan dengan jumlah empat bulan. Dalam hal ini, mereka telah berani menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah. Setan berhasil memperdaya sehingga mereka tertipu dan memandang baik perbuatan-perbuatan buruknya. Ketahuilah bahwa Allah tidak memberi petunjuk dan taufik bagi orang-orang kafir. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat, Kami jadikan terasa indah bagi mereka perbuatan-perbuatannya (yang buruk). Maka, mereka terombang-ambing (dalam kesesatan)” (QS. An-Naml: 4). Allah SWT dengan ilmu-Nya yang meliputi segala sesuatu menciptakan atau menetapkan sesuai kehendak-Nya. Salah satunya ketika Dia menetapkan jumlah dua belas bulan dalam setahun. Kemudian menetapkan atau memberikan beberapa keistimewaan tertentu pada empat bulan haram tersebut. Maka sebagai seorang yang mengaku beriman kepada Allah, tidak perlu mencari-cari takwil dan rahasia dibalik penetapan empat bulan haram tersebut. Itulah ketetapan agama yang lurus sebagai panduan bagi orang-orang yang beriman. Serta yang menjadi penekanan utamanya adalah larangan agar tidak melakukan maksiat terlebih dosa-dosa besar pada bulan-bulan haram tersebut. Karena ketika berada di bulan-bulan haram tersebut, Allah SWT sangat menekankan larangan menganiaya diri sendiri, berbuat dosa dan kezaliman lainnya. Sungguh Allah SWT tidak menyukai orang-orang kafir yang melampaui batas serta berani merubah-rubah ketentuan bulan-bulan haram tersebut sesuai kehendak nafsunya. Allah SWT berfirman, “...Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka jangalah kamu menganiaya dirimu sendiri dalam bulan yang empat itu” (QS. At-Taubah: 36). Allah menetapakan empat bulan-bulan haram sebagai bulan yang suci dan mulia. Sehingga tidak dibenarkan bagi siapapun untuk mengotori kesucian bulan-bulan tersebut dengan perbuatan yang menganiaya diri sendiri dengan berbuat dosa, permusuhan, berperang dan kezaliman lainnya. Hendaklah seseorang merasa takut atas dosa kezaliman yang dilakukan pada diri sendiri, orang lain bahkan kepada makhluk lain seperti binatang. Terlebih kezaliman dan kebencian yang dilakukan seorang pemimpin, penguasa atau raja kepada rakyatnya. Ia pasti dituntut oleh rakyatnya yang terzalimi dengan kebijakannya atau perbuatan curangnya di hari Kiamat. Bayangkan betapa banyak tuntutan yang harus dihadapinya jika ia pernah berbuat zalim dan semena-mena kepada manusia selama berkuasa di dunia. Karenanya Allah dan Rasul-rasul-Nya memperingatkan seluruh manusia, pemimpin dan secara khusus orang beriman agar menegakkan kebenaran dan berbuat adil. Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa” (QS. Al-Maidah: 8). Ingatlah bahwa setiap kezaliman tersebut menjadi kegelapan dan kerugian besar yang membuat pelaku kezaliman tersebut bangkrut di hari kiamat. Nabi SAW bersabda, “Tahukah kalian siapa orang yang bangkrut? Sahabat menjawab, “Orang yang bangkrut adalah orang yang tidak memiliki uang dirham atau harta benda. Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya orang yang bangkrut di kalangan umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala salat, puasa dan zakat. Tetapi ia juga datang membawa dosa kezaliman berupa mencela, menuduh, memakan harta orang lain, menumpahkan darah dan memukul orang lain. Kelak kebaikan-kebaikannya akan diberikan kepada orang yang dizaliminya. Apabila pahala kebaikannya sudah habis, sementara belum selesai pembalasan atas kezalimannya, maka diambillah dosa-dosa orang yang dizalimi itu, lalu diberikan kepadanya. Kemudian ia pun dicampakkan ke dalam neraka” (HR. Muslim). Maka, bagi setiap diri yang terlanjur, khilap bahkan sengaja berbuat zalim dibulan haram, hendaknya introspeksi diri dan bertaubat kepada Allah. Bagi yang bertaubat dan memperbaiki diri, ada jaminan ampunan dari-Nya. Allah SWT berfirman, “Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian memohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa: 110) Demikianlah ketentuan agama yang lurus sebagai panduan yang berlaku sejak dahulu hingga Allah membuat ketetapan sesuai kehendak-Nya. Tentunya yang menjadi penekanan penting dalam bulan-bulan haram tersebut adalah larangan Allah agar tidak berbuat aniaya dan kezaliman lainnya. Sebagaimana dalam firman-Nya, “...Janganlah kamu menganiaya dirimu dalam bulan yang empat itu” (QS. At-Taubah: 36). Sebaliknya, seseorang seharusnya mengisi bulan-bulan haram tersebut untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas amal-amal kebaikan. Mayoritas ulama berpendapat bahwa ganjaran kebaikan bagi seseorang yang beramal di bulan haram akan dilipatgandakan. Sebaliknya, balasan perbuatan dosa atau kezaliman akan diberatkan hukuman bagi pelakunya. sebab itu, Allah melarang manusia untuk berbuat aniaya atau zalim terkhusus di bulan-bulan haram. Semua bentuk kezaliman atau perbuatan dosa yang berkaitan langsung dengak hak Allah, orang lain dan makhluk lainnya di alam semesta ini. Maka hendaknya kita berusaha menahan diri dan menjauhi perbuatan dosa yang dilakukan secara sembunyi terlebih secara terang-terangan dengan lisan seperti menggibah, menggunjing, mengumpat dan memfitnah. Kaitannya dengan anjuran untuk memperbanyak amal kebaikan di bulan-bulan haram dan menjauhi berbagai perbuatan dosa dan kezaliman, hendaknya setiap muslim harus berhati-hati, berilmu dan hanya merujuk kepada tuntunan Nabi SAW. Sehingga amal tersebut tidak sia-sia yang merugikan pelakunya. Faktanya betapa banyak orang di zaman ini yang meyakini dan merutinkan amalan, namun ternyata tidak memperoleh ganjaran disisi Allah. Maka jika amalan tersebut bertentangan, meninggalkannya adalah keselamatan. Semoga kita terhindar dari kebiasaan orang terdahulu yang suka ikut-ikutan. Allah SWT berfirman, “Kami mengikuti apa yang kami dapati pada nenek moyang kami (melakukannya). Padahal nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apapun dan tidak mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah: 170) Itulah sebabnya seorang yang beramal tanpa ilmu dan terjebak dalam kebid’ahan, lebih disenangi setan dari pada orang yang berbuat maksiat sekalipun. Hal ini karena pelaku bid’ah merasa amal atau perbuatannya benar dan harus dirutinkan. Sementara pelaku maksiat lebih mudah menyadari kebodohan dan kesalahannya sehingga lebih berpotensi untuk bertaubat. Maka hendaknya setiap amal yang akan kita kerjakan diawali dengan ilmu yang merujuk kepada tuntunan Nabi SAW. Sabdanya, “Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak berdasarkan tuntunan kami, maka ia tertolak” (HR. Bukhari dan Muslim). Mudah-mudahan Allah senantiasa menunjuki agar kita konsisten beramal saleh sesuai petunjuk agama yang lurus, menjaga kesucian bulan-bulan haram dari pengkhususan ibadah tertentu sebagaimana orang jahiliyah, terlebih melakukan perbuatan aniaya dan kezaliman. Wakadiv Office of International Affairs (OIA) Pesantren Darul Mursyid, Tapanuli Selatan.

Oleh Darwis Simbolon, S.Pd., M.Pd

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya dirimu dalam bulan yang empat itu…” (QS. At-Taubah: 36)

Rajab termasuk salah satu bulan haram yang diagungkan oleh masyarakat Arab Jahiliyah ketika itu. Hal ini menjadi bukti masih adanya sisa-sisa ajaran Nabi Ibrahim as kepada bangsa Arab. Salah satu cara mereka memuliakan bulan-bulan haram tersebut adalah melakukan amalan khusus seperti berpuasa dan menyembelih hewan. Hanya saja cara-cara yang mereka kerjakan untuk memuliakan bulan haram tersebut mulai luntur, terkontaminasi bahkan menyimpang dari tuntunan yang benar. Mereka menyembelih Fara’ atau anak unta yang pertama kali dilahirkan. Mereka membuat-buat aturan mengenai hewan yang akan disembelih.

Begitu pula dengan Atirah sebagai sembelihan yang dilakukan oleh masyarakat Arab Jahiliyah khusus pada bulan Rajab. Padahal mereka hanya diperintah untuk berbadah dan berkurban untuk Allah. Maka ketika Nabi SAW diutus membawa Islam sebagai syariat yang sempurna, kebiasaan yang sudah terkontaminasi ini pun diluruskan. Justru yang lebih ditekankan adalah berupaya mengerjakan amal saleh sesuai kemampuan masing-masing. Serta menjaga kesucian bulan-bulan haram dari berbagai perbuatan maksiat, aniaya dan kezaliman. Maka tidak ada amalan atau ibadah khusus mengenai penyembelihan hewan dibulan Rajab. Nabi SAW bersabda, “Tidak ada Fara’ atau Atirah.” (HR. At-Tirmidzi)

Ibnu Rajab dalam kitab Lathaif al Ma’arif berkata bahwa Allah SWT menjelaskan perihal penciptaan langit dan bumi, pergantian siang dan malam serta penciptaan seluruh benda di alam semesta, sungguh Allah Maha Kuasa menjadikan dan mengaturnya sehingga berfungsi, beredar atau berputar di orbitnya. Dia juga menciptakan matahari sebagai pelita, bulan dan bintang-bintang yang berkilauan dimalam hari. Semuanya beredar atau berputar pada orbitnya menurut ketentuan-Nya. Lalu dia menetapkan dua belas bulan dalam setahun. Sehingga dalam syariat Islam, pergantian tahun dihitung berdasarkan perputaran atau munculnya bulan. Bukan berdasarkan perputaran matahari sebagaimana yang dilakukan Ahli Kitab.

Dalam setahun, terdapat empat bulan haram sebagaimana ketetapan-Nya. Salah satunya adalah Rajab sebagai bulan haram yang terletak antara bulan Jumadil Akhir dan Sya’ban. Mengenai nama-nama bulan haram yang disucikan tersebut, Nabi SAW bersabda, “Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Diantaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut, yaitu Dzulkaedah, Dzulhijjah, dan Muharram. Rajab mudhar yang terletak antara Jumadil Akhir dan Sya’ban” (HR. Bukhari dan Muslim) .

Surah At-Taubah ayat 36 diatas mengisahkan budaya bangsa Arab dimasa jahiliyah. Dimana mereka lebih mendahulukan hawa nafsu dalam menetapkan empat bulan haram dalam setahun. Pada praktiknya, mereka hanya menghormati jumlah empat bulannya saja. Tanpa merujuk pada ketetapan nama-nama bulan yang telah diharamkan oleh Allah. Mereka membuat-buat ketetapan untuk mengundurkan atau memajukan sebagian bulan halal yang lain menurut kehendaknya. Hal ini bertujuan menyesuaikan kebutuhan mereka terhadap peperangan. Sungguh tindakan mereka yang membuat-buat aturan sekehedaknya dalam mengotak-atik bulan-bulan haram termasuk tindakan melampaui batas dan kekafiran.

Inilah kebodohan yang membuat setan leluasa menyesatkan orang-orang kafir. Mereka telah menghalalkan bulan-bulan yang mereka tunda pengharamannya dari bulan-bulan yang empat dalam setahun. Lalu mengharamkannya pada tahun yang lain. Tujuannya agar sesuai keinginannya dan dapat menyesuaikan dengan jumlah empat bulan. Dalam hal ini, mereka telah berani menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah. Setan berhasil memperdaya sehingga mereka tertipu dan memandang baik perbuatan-perbuatan buruknya. Ketahuilah bahwa Allah tidak memberi petunjuk dan taufik bagi orang-orang kafir. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat, Kami jadikan terasa indah bagi mereka perbuatan-perbuatannya (yang buruk). Maka, mereka terombang-ambing (dalam kesesatan)” (QS. An-Naml: 4).

Allah SWT dengan ilmu-Nya yang meliputi segala sesuatu menciptakan atau menetapkan sesuai kehendak-Nya. Salah satunya ketika Dia menetapkan jumlah dua belas bulan dalam setahun. Kemudian menetapkan atau memberikan beberapa keistimewaan tertentu pada empat bulan haram tersebut. Maka sebagai seorang yang mengaku beriman kepada Allah, tidak perlu mencari-cari takwil dan rahasia dibalik penetapan empat bulan haram tersebut. Itulah ketetapan agama yang lurus sebagai panduan bagi orang-orang yang beriman. Serta yang menjadi penekanan utamanya adalah larangan agar tidak melakukan maksiat terlebih dosa-dosa besar pada bulan-bulan haram tersebut.

Karena ketika berada di bulan-bulan haram tersebut, Allah SWT sangat menekankan larangan menganiaya diri sendiri, berbuat dosa dan kezaliman lainnya. Sungguh Allah SWT tidak menyukai orang-orang kafir yang melampaui batas serta berani merubah-rubah ketentuan bulan-bulan haram tersebut sesuai kehendak nafsunya. Allah SWT berfirman, “…Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka jangalah kamu menganiaya dirimu sendiri dalam bulan yang empat itu” (QS. At-Taubah: 36).

Allah menetapakan empat bulan-bulan haram sebagai bulan yang suci dan mulia. Sehingga tidak dibenarkan bagi siapapun untuk mengotori kesucian bulan-bulan tersebut dengan perbuatan yang menganiaya diri sendiri dengan berbuat dosa, permusuhan, berperang dan kezaliman lainnya. Hendaklah seseorang merasa takut atas dosa kezaliman yang dilakukan pada diri sendiri, orang lain bahkan kepada makhluk lain seperti binatang. Terlebih kezaliman dan kebencian yang dilakukan seorang pemimpin, penguasa atau raja kepada rakyatnya. Ia pasti dituntut oleh rakyatnya yang terzalimi dengan kebijakannya atau perbuatan curangnya di hari Kiamat.

Bayangkan betapa banyak tuntutan yang harus dihadapinya jika ia pernah berbuat zalim dan semena-mena kepada manusia selama berkuasa di dunia. Karenanya Allah dan Rasul-rasul-Nya memperingatkan seluruh manusia, pemimpin dan secara khusus orang beriman agar menegakkan kebenaran dan berbuat adil. Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa” (QS. Al-Maidah: 8).

Ingatlah bahwa setiap kezaliman tersebut menjadi kegelapan dan kerugian besar yang membuat pelaku kezaliman tersebut bangkrut di hari kiamat. Nabi SAW bersabda, “Tahukah kalian siapa orang yang bangkrut? Sahabat menjawab, “Orang yang bangkrut adalah orang yang tidak memiliki uang dirham atau harta benda. Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya orang yang bangkrut di kalangan umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala salat, puasa dan zakat. Tetapi ia juga datang membawa dosa kezaliman berupa mencela, menuduh, memakan harta orang lain, menumpahkan darah dan memukul orang lain. Kelak kebaikan-kebaikannya akan diberikan kepada orang yang dizaliminya. Apabila pahala kebaikannya sudah habis, sementara belum selesai pembalasan atas kezalimannya, maka diambillah dosa-dosa orang yang dizalimi itu, lalu diberikan kepadanya. Kemudian ia pun dicampakkan ke dalam neraka” (HR. Muslim).

Maka, bagi setiap diri yang terlanjur, khilap bahkan sengaja berbuat zalim dibulan haram, hendaknya introspeksi diri dan bertaubat kepada Allah. Bagi yang bertaubat dan memperbaiki diri, ada jaminan ampunan dari-Nya. Allah SWT berfirman, “Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian memohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa: 110)

Demikianlah ketentuan agama yang lurus sebagai panduan yang berlaku sejak dahulu hingga Allah membuat ketetapan sesuai kehendak-Nya. Tentunya yang menjadi penekanan penting dalam bulan-bulan haram tersebut adalah larangan Allah agar tidak berbuat aniaya dan kezaliman lainnya. Sebagaimana dalam firman-Nya, “…Janganlah kamu menganiaya dirimu dalam bulan yang empat itu” (QS. At-Taubah: 36).

Sebaliknya, seseorang seharusnya mengisi bulan-bulan haram tersebut untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas amal-amal kebaikan. Mayoritas ulama berpendapat bahwa ganjaran kebaikan bagi seseorang yang beramal di bulan haram akan dilipatgandakan. Sebaliknya, balasan perbuatan dosa atau kezaliman akan diberatkan hukuman bagi pelakunya. sebab itu, Allah melarang manusia untuk berbuat aniaya atau zalim terkhusus di bulan-bulan haram. Semua bentuk kezaliman atau perbuatan dosa yang berkaitan langsung dengak hak Allah, orang lain dan makhluk lainnya di alam semesta ini. Maka hendaknya kita berusaha menahan diri dan menjauhi perbuatan dosa yang dilakukan secara sembunyi terlebih secara terang-terangan dengan lisan seperti menggibah, menggunjing, mengumpat dan memfitnah.

Kaitannya dengan anjuran untuk memperbanyak amal kebaikan di bulan-bulan haram dan menjauhi berbagai perbuatan dosa dan kezaliman, hendaknya setiap muslim harus berhati-hati, berilmu dan hanya merujuk kepada tuntunan Nabi SAW. Sehingga amal tersebut tidak sia-sia yang merugikan pelakunya. Faktanya betapa banyak orang di zaman ini yang meyakini dan merutinkan amalan, namun ternyata tidak memperoleh ganjaran disisi Allah. Maka jika amalan tersebut bertentangan, meninggalkannya adalah keselamatan.

Semoga kita terhindar dari kebiasaan orang terdahulu yang suka ikut-ikutan. Allah SWT berfirman, “Kami mengikuti apa yang kami dapati pada nenek moyang kami (melakukannya). Padahal nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apapun dan tidak mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah: 170) Itulah sebabnya seorang yang beramal tanpa ilmu dan terjebak dalam kebid’ahan, lebih disenangi setan dari pada orang yang berbuat maksiat sekalipun. Hal ini karena pelaku bid’ah merasa amal atau perbuatannya benar dan harus dirutinkan. Sementara pelaku maksiat lebih mudah menyadari kebodohan dan kesalahannya sehingga lebih berpotensi untuk bertaubat. Maka hendaknya setiap amal yang akan kita kerjakan diawali dengan ilmu yang merujuk kepada tuntunan Nabi SAW. Sabdanya, “Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak berdasarkan tuntunan kami, maka ia tertolak” (HR. Bukhari dan Muslim).

Mudah-mudahan Allah senantiasa menunjuki agar kita konsisten beramal saleh sesuai petunjuk agama yang lurus, menjaga kesucian bulan-bulan haram dari pengkhususan ibadah tertentu sebagaimana orang jahiliyah, terlebih melakukan perbuatan aniaya dan kezaliman.

Wakadiv Office of International Affairs (OIA) Pesantren Darul Mursyid, Tapanuli Selatan.

  • Bagikan