Anak Shaleh Adalah Dambaan Orang Tua

  • Bagikan
Anak Shaleh Adalah Dambaan Orang Tua

Oleh Drs H. As’ad M. Ag

“Jika meninggal dunia anak cucu Adam, maka terputuslah amalnya kecuali tiga hal: sedekah jariah atau ilmu yang bermanfaat atau anak yang shaleh yang selalu mendoakannya” (HR. Muslim)

Ketika sudah menikah sebagai suami isteri yang sah dalam ajaran Islam, maka pikiran pertama yang terlintas dalam benak suami isteri adalah berapa jumlah anaknya kelak akan mereka miliki serta ke arah mana anak tersebut akan dibawa.

Namun yang menjadi masalah adalah ke mana anak akan kita arahkan setelah mereka lahir. Pada umumnya orang tua menginginkan agar kelak anak-anaknya dapat menjadi anak yang shaleh atau shalehah, agar setelah dewasa mereka dapat membalas jasa kedua orang tuanya. Namun obsesi orang tua kadang tidak sejalan dengan usaha yang dilakukannya. Padahal usaha merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan bagi terbentuknya watak dan karakter anak. Obsesi tanpa usaha adalah hayalan semua yang tak akan mungkin dapat menjadi kenyataan.

Bahkan sebagian orang tua ada yang berpandangan keliru menginginkan agar kelak anak-anaknya dapat menjadi bintang film atau artis, bintang iklan, foto model dan lain-lain. Mereka beranggapan dengan itu semua kelak anak-anak mereka dapat hidup makmur seperti kaum selebritis yang terkenal. Padahal dibalik itu semua mereka kering akan informasi tentang perihal kehidupan kaum selebritis yang mereka puja. Hal ini terjadi akibat orang tua yang sering menonton berbagai macam acara-acara hiburan di berbagai media dan elektronik, karena itu opininya terbangun atas apa yang mereka lihat selama ini.

Kemudian, sebagai orang tua yang bijaksana mesti mampu memperhatikan langkah-langkah yang harus ditempuh dalam merealisasikan obsesinya dalam melahirkan anak yang shaleh. Rasulullah Muhammad SAW, pernah bersabda yang artinya: “Jika meninggal dunia anak cucu Adam, maka terpurtuslah amalnya kecuali tiga hal: sedekah jariah atau ilmu yang bermanfaat atau anak yang shaleh yang selalu mendoakannya” (HR. Muslim).

Dalam hadis tersebut dijelaskan ciri anak yang shaleh adalah anak yang selalu mendoakan kedua orang tuanya baik masih hidup atau keduanya sudah meninggal dunia. Sementara kita telah mengetahui bahwa anak yang senang mendoakan orang tuanya adalah anak sedari kecil telah terbiasa terdidik dalam melaksanakan kebaikan-kebaikan, melaksanakan perintah-perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Anak yang shaleh adalah anak yang tumbuh dalam agama Allah SWT, maka mustahil ada anak bisa mendoakan orang tuanya jika anak tersebut jauh dari perintah Allah SWT, anak yang senang bermaksiat kepada Allah SWT, jelas akan jauh dari perintah Allah dan kemungkinan besar durhaka kepada kedua orang tuanya.

Dalam hadis di atas juga dijelaskan tentang keuntungan memiliki anak yang shaleh atau shalehah yaitu, amalan-amalan mereka senantiasa berkorelasi dengan kedua orang tuanya walaupun sang orang tua telah meninggal dunia. Jika sang anak melakukan kebaikan atau mendoakan orang tuanya maka amal dari kebaikannya juga merupakan amal orang tuanya dan doanya akan segera di kabulkan oleh Allah SWT.

Sebagai orang tua untuk menjadikan anak yang shaleh dan shalehah antara lain: Pertama, lingkungan keluarga yang Islami. Keluarga merupakan sebuah institusi kecil dimana anak mengawali masa-masa pertumbuhannya. Keluarga juga merupakan madrasah bagi sang anak. Pendidikan yang Islami didapatkan merupakan pondasi baginya dalam pembangunan watak, kepribadian dan karakternya.

Jika anak dalam keluarga senantiasa terdidik dalam warna keislaman, maka kepribadiannya akan terbentuk dengan warna keislaman tersebut. Namun sebaliknya jika anak tumbuh dalam suasana yang jauh dari nilai-nilai keislaman, maka jelas kelak dia akan tumbuh kemungkinan menjadi anak yang tidak berakhlak atau bermoral. Sementara anak yang terlahir kedunia dalam keadaan fitrah, kemudian orang tuanyalah yang mewarnainya. Rasulullah SAW bersabda : “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (Islam), maka kedua orang tuanya yang menyebabkan dia menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi” (HR. Bukhari).

Untuk itu sebagai orang tua harus dapat memanfaatkan saat-saat awal dimana anak kita mengalami pertumbuhannya dengan cara menanamkan dalam jiwa anak kita kecintaan terhadap agamanya, cinta terhadap ajaran Allah SWT dan Rasul-Nya. Sehingga ketika anak tersebut berhadapan dengan lingkungan lain anak tersebut memiliki daya nilai keislaman yang dapat menangkal setiap saat pengaruh negatif yang akan merusak dirinya.

Kedua, lingkungan sekolah. Di sekolah anak-anak akan saling mempengaruhi sesuai dengan watak dan karakter yang diperolehnya dalam keluarga mereka masing-masing. Anak yang terdidik secara baik dirumah atau dalam keluarga tentu akan memberi pengaruh yang positif terhadap teman-temannya. Sebaliknya anak yang di rumahnya kurang mendapat pendidikan yang baik tentu akan memberi pengaruh yang negatif menurut karakter dan watak sang anak.

Sebab itu orang tua seharusnya mampu melihat secara cermat dan jeli sekolah yang pantas bagi anak-anak mereka. Orang tua tidak harus memasukkan anak mereka di sekolah-sekolah favorit semata dalam hal intelektual dan mengabaikan faktor perkembangan akhlak bagi anak mereka. Rasulullah SAW bersabda: “Orang Mukmin yang paling sempurna imannya ialah mereka yang paling mulia akhlaknya” (HR. Ahmad dan Abu Daud). Dengan demikian, maka dalam rangka menyelamatkan dan memperkokoh akidah Islamiah anak, pendidikan di sekolah harus dilengkapi dengan pendidikan akhlak yang memadai.

Ketiga, lingkungan masyarakat. Masyarakat adalah komunitas yang terbesar di bandingkan dengan lingkungan yang kita sebutkan sebelumnya. Karena itu pengaruh yang ditimbulkannya dalam merubah watak dan karakter anak jauh lebih besar. Masyarakat terbentuk atas dasar gabungan individu-individu yang hidup pada suatu komunitas tertentu. Karena dalam membentuk masyarakat yang harmonis setiap individu memiliki peran dan tanggung jawab yang sama.

Persepsi yang keliru biasanya masih mendominasi masyarakat. Mereka beranggapan bahwa yang bertanggungjawab dalam masalah ini adalah pemerintah, para da’i, pendidik atau para ulama. Dalam hal ini Rasululllah SAW bersabda: “Siapa saja diantaramu melilhat satu kemungkaran hendaklah ia merobahnya dengan tangannya, jika ia tidak sanggup maka dengan lidahnya, dan jika tidak sanggup maka dengan hatinya. Dan itu adalah selemah-lemah iman” (HR. Muslim).

Jika setiap manusia merasa tidak memiliki tanggung jawab dalam hal beramar ma’ruf nahi munkar, maka segala kemunkaran bermunculan dan merajalela di tengah masyarakat kita dan lambat atau cepat pasti akan menimpa anak-anak kita. Wallahu A’lam Bishawab.

Dosen FITK UIN SU Medan

  • Bagikan