I’tidal

  • Bagikan
I’tidal

Oleh Asep Safa’at Siregar, S.Sos.I, M.Pd

“Sungguh pendengaran, penglihatan dan hati semuanya akan diminta pertanggungjawabannya” (QS. Al-Isra: 36)

Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. Tidak ada daya dan upaya yang bisa kita lakukan tanpa seizin dan kuasa-Nya.

Di sisi lain kita salah satu makhluk Allah yang telah diberikan kelebihan akal dan fisik dibandingkan mahkluk lainnya untuk dapat menentukan pilihan dalam kehidupan yang lebih baik.

Hikmah gerakan i`tidal dalam shalat menjadi pengingat bagi hati kita bahwa setelah kita menunjukkan rasa dan sikap rendah diri penuh kesadaran betapa lemahnya kita dihadapan Allah SWT, kita harus tetap berupaya menatap dan berdiri kokoh menghadapi realita kehidupan yang penuh dinamika.

Bagi ahli hikmah, setiap gerakan shalat mengandung makna yang bermanfaat sebagai i’tibar bagi kehidupan. Maka setiap gerakan berupaya diterjemahkan yang tentu didukung dengan hadits atau riwayat yang berkenaan dengannya.

Kajian kali ini tentang i’tidal yang merupakan salah satu rukun gerakan shalat, bangkit dan berdiri lurus setelah ruku’. Gerakan I’tidal yang merupakan salah satu rangkaian gerakan shalat, yakni bangkit dari rukuk, tubuh kembali tegak berdiri dengan mengangkat kedua tangan.

Beberapa hikmah yang dapat kita ambil adalah: Pertama, optimis. Berdiri tegak lurus setelah kita membungkukkan tubuh kita dihadapan Allah SWT merupakan simbol bahwa kita harus berdiri dengan penuh rasa optimis menghadapi kehidupan di dunia dengan segala problematikanya.

Kita tidak boleh lemah dan pasrah menerima keadaan tanpa melakukan upaya dan usaha maksimal.

Posisi i’tidal atau bangun dari ruku’ merupakan kembalinya orang yang shalat pada posisi yang sempurna, seperti berdiri pada saat ingin memulai melaksanakan shalat.

Hal ini bertujuan agar setelah kita menunduk dan menyerahkan segala sesuatunya kepada Allah SWT, kita harus tetap berusaha dalam kehidupan ini.

Karena saat kita telah mengakui hakikat sebagai manusia yang lemah, kita harus tetap berusaha dengan kemampuan yang telah Allah SWT berikan pada kita.

Kedua, tegak lurus. Bangun dari ruku’, tubuh kembali tegak lurus setelah mengangkat kedua tangan setinggi telinga. I’tidal merupakan variasi dari postur setelah ruku’ dan sebelum sujud.

Hal ini memberikan pesan hikmah bagi kita bahwa sebagai mahkluk yang Allah berikan kelebihan fungsi fisik dibandingkan makhluk lainnya (QS. At-Tin: 4), harus mampu berlaku tegak lurus.

Kesempurnaan bentuk fisik tentu memiliki tanggungjawab yang harus dipertanggungjawabakan kelak bagi sang Pencipta. Allah SWT berfirman: “Sungguh pendengaran, penglihatan dan hati semuanya akan diminta pertanggungjawabannya” (QS. Al-Isra: 36).

Dengan demikian, maka kita harus berdiri tegak lurus menjalankan amanah yang Allah berikan. Kita pergunakan dengan selurus-lurusnya atas semua nikmat yang Allah berikan. Bagi seorang Mukmin, sungguh tidak ada tawar menawar dalam hal menegakkan kebenaran dan membela ketetapan yang Allah gariskan.

Ketiga, adil atau seimbang. Islam adalah agama yang menjungjung tinggi keadilan. Berlaku adil bagi siapapun. Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman: 

“Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kamu sekalian menjadi orang-orang yang tegak membela (kebenaran) karena Allah menjadi saksi (pengukur kebenaran) yang adil. Dan janganlah kebencian kamu pada suatu kaum menjadikan kamu berlaku tidak adil. Berbuat adillah karena keadilan itu lebih mendekatkan pada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Maidah:8).

Ayat diatas memerintahkan untuk membela kebenaran juga harus menjadi saksi yang adil. Jangan sampai kebencian kita membuat kita tidak bersikap adil. Sebab sikap adil merupakan karakter atau sifatnya orang yang takwa.

Sementara, Muttaqin (orang yang bertakwa) adalah derajat yang paling mulia diantara kita dalam pandangan Allah SWT. Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu.” (QS. Al-Hujurat: 13).

Keempat, fana. Gerakan i’tidal juga memberikan pesan hikmah kepada kita betapa kehidupan di dunia amatlah fana (singkat/sementara). Setelah kita ruku’ kemudian i’tidal, selanjutnya segera melakukan sujud.

Sebab pada hakikatnya, sebelumnya kita bersaksi di alam azali bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan juga akan bersujud kepada-Nya. Kemudian kita dilahirkan keatas dunia dalam beberapa waktu yang sebenarnya amat singkat. Kelak, akan tiba pula waktunya kita kembali menghadap Allah SWT, yakni wafat.

Maka dengan singkatnya gerakan i’tidal, seharusnya menyadarkan kita bahwa kehidupan dunia amatlah singkat. Mestilah kita gunakan waktu yang singkat itu untuk memuji keagungan Allah SWT. Sebagaimana bacaan saat i’tidal: Rabbana lakal hamdu yang berarti “Wahai Tuhan kami, bagi-Mu segala puji”.

Kehidupan di dunia adalah kesempatan bagi kita untuk memuji keagungan Allah SWT. Memuji bukan hanya dalam ucapan saja tapi memuji dalam bentuk perbuatan yakni patuh dan taat atas segala perintah-Nya serta patuh dan taat untuk meninggalakan segala larangan-Nya.

Kesimpulan, setelah kita berdiri tegak dalam i’tidal, kemudian menyempurnakan sikap tubuh yang lurus dan menyadari bahwa i’tidal hanyalah sementara. Selanjutnya kita akan bersujud, tunduk dan merendahkan diri kita dihadapan sang Khalik yang Maha Agung.

Maka sadarlah, sungguh i’tidal hanyalah bagian dari rangkaian gerakan shalat dari beberapa gerakan shalat lainnya. Maka i’tidal bukanlah akhir dari segalanya dan bukan pula tujuan utamanya. Namun tetaplah harus kita lewati bersama. Semoga Allah senanatiasa membuka pintu hikmah bagi kita semua. Wallohu a’lam.

(Guru Pesantren Modern Unggulan Terpadu “Darul Mursyid”/PDM, Tapanuli Selatan)

  • Bagikan