Urgensi Amanah Dalam Kehidupan Politik

  • Bagikan
<strong>Urgensi Amanah Dalam Kehidupan Politik</strong>

Oleh Prof Muzakkir

“Dan jika kamu memutuskan perkara diantara  mereka, maka putuskanlah dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil”  (QS. al-Maidah: 42)


Pandangan yang digunakan untuk mendirikan suatu negara adalah bahwa masyarakat tidak akan dapat hidup teratur tanpa ada peraturan yang disepakati bersama dan orang yang dipercayakan untuk memegang kekuasaan. Ini didasarkan pada pertimbangan manusia sebagai individu tentu memiliki kebutuhan dan kepentingan. Ketika ia ingin mewujudkan kepentingan tersebut seringkali terjadi benturan-benturan dengan kepentingan orang lain yang terkadang menimbulkan kekacauan.
 
Bahkan lebih dari itu, sering pula orang yang memiliki kekuatan menindas orang lain demi kepentingannya sendiri. Untuk inilah diperlukan seorang pemimpin yang diberi tugas untuk mengatur kehidupan masyarakat agar tercipta kedamaian dan kebahagiaan hidup. Dengan kata lain pemimpin sangat dibutuhkan untuk menciptakan kehidupan bermoral dimana masyarakatnya hidup dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moral tersebut.
 
Disebabkan pemimpin tersebut memiliki tugas yang cukup berat untuk menegakkan moralitas di tengah kehidupan, maka pemimpin tersebut terlebih dahulu harus bermoral. Atas dasar inilah tidak mengherankan mengapa pemikir politik Islam klasik sangat memberikan perhatian yang serius terhadap masalah moral sehingga mereka meletakkannya sebagai persyaratan untuk menjadi kepala negara.
 
Al-Mawardi menyatakan syarat menjadi seorang pemimpin haruslah berlaku adil dan amanah. Al-Ghazali mensyaratkan pemimpim harus wara’ dan sikap ini diterjemahkan dengan moral.Tentu saja salah satu ajaran moral Islam harus amanah. Ibn Taimiyyah seperti yang terlihat dalam karyanya al-Siyasat al-Syar`iyyat. Menurutnya seorang kepala negara adalah yang memiliki kekuatan (al-quwwat) dan integritas (al-amanat).
 
Ini didasarkan pada pernyataan Al-Qur’an surat al-Qasas ayat 26 yang menyebut bahwa orang yang paling kuat adalah orang yang paling baik untuk bekerja yaitu kuat dan terpercaya (al-qawiy al-amin). Ibn Khaldun juga memberikan syarat kepala negara harus adil. Kepala negara yang adil akan melenyapkan tindakan yang sewenang-wenang dan ia akan mampu menegakkan hukum.
 
Menurut Ibnu Khaldun, pemimpin itu harus amanah. Baginya, tidak ada suatu kekhasan yang terdapat pada diri penguasa, selain bahwa ia dipercayai oleh rakyat untuk mengurusi mereka. Kepentingan yang dimilikinya bukan karena sesuatu yang khas dan luar biasa yang terdapat dalam dirinya akan tetapi semata-mata karena rakyat mempercayakan kepadanya untuk mengurusi urusan mereka.
 
Seseorang penguasa dapat berlaku adil dan menegakkan hukum jika ia menyadari bahwa kepemimpinan merupakan sebuah amanah. Jelaslah persyaratan untuk menjadi pemimpin tidak cukup hanya memiliki kemampuan intelektualitas dan sehat jasmani (al-quwwat) semata, melainkan harus memiliki moralitas yang telah teruji. Pentingnya moralitas bagi seorang pemimpin karena ia merupakan prasyarat agar dipatuhi oleh rakyatnya.
 
Dalam Al-Qur’an tampak bahwa ketaatan kepada pemimpin didahului dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul. Dapat dilihat pada surat an-Nisa’/4:59, Artinya: “Hai orang-orang yang beriman taatlah kepada Allah dan taatlah pada Rasul dan ulil amri di antara kamu.” Apabila dicermati ayat tersebut menjelaskan bahwa ketaatan kepada pemimpin pada hakikatnya adalah perpanjangan tangan dari ketaatan kepada Allah dan Rasul.
 
Dengan mentaati Ulil amri bukanlah karena posisinya sebagai pemimpin atau bukan karena jabatan yang dimilikinya melainkan karena komitmennya menjalankan syari’at Allah dan rasul-Nya dan komitmennya dalam menegakkan keadilan. Apabila seorang pemimpin tidak memiliki ketaatan kepada Allah dan rasul- Nya dan tidak berlaku adil, maka segala kebijakan yang diambilnya menjadi tidak perlu ditaati.
 
Al-Maraghi dalam menafsirkan ayat di atas membagi jenis ketaatan kepada dua bentuk. Pertama, ta`ah zatiyah yakni ditaati karena zatnya dan ini hanya berlaku kepada Allah SWT. Kedua, ta`ah sifatiyah, ditaati karena sifat yang dimilikinya, seperti ketaatannya kepada Allah dan Rasul dan sifat-sifat mulia lainnya. Apabila sifat ta`at ini tidak lagi dimilikinya, maka lepas pula kewajiban untuk taat kepada pemimpin tersebut.
 
Jika demikian agar seorang pemimpin mendapat legitimasi dari rakyat yang ditunjukkan dengan ketaatannya kepada kebijakan yang diambil, semestinyalah pemimpin tersebut memiliki moralitas yang baik. Salah satu etika yang harus dimiliki seorang penguasa atau pemimpin adalah amanah. Kesadaran amanah inipulalah yang akan menjadikan pemimpin tersebut untuk bekerja sekeras dan sebaik mungkin untuk mencipatkan kesejahteraan rakyatnya yang merupakan tugas pokoknya sebagai pemimpin.
 
Banyak teori yang menjelaskan kewajiban kepala negara adalah, melaksanakan penertiban untuk mencapai tujuan bersama, mencegah konflik-konflik dalam masyarakat, mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat dan menegakkan keadilan.
 
Al Mawardi menyatakan tugas kepala negara adalah menjamin hak-hak rakyat dan tegaknya hukum-hukum Tuhan, menegakkan keadilan, membangun kekuatan untuk menghadapi musuh, melakukan jihad, memungut pajak dan zakat dan mengatur masyarakat. Al-Baqillani menyatakan tugas kepala negara adalah menegakkan hukum yang telah ditetapkan, membela umat dari gangguan musuh, melenyapkan penindasan dan meratakan penghasilan bagi rakyat.
 
Al-Baghdadi menyatakan melaksanakan Undang-undang, mengelola zakat dan pajak dan mengatur militer merupakan tugas seorang kepala negara yang harus dijalankan. Abul A`la Al-Maududi menyatakan bahwa kepala negara bertugas; pertama, menegakkan keadilan dalam kehidupan manusia dan menghentikan kezaliman serta menghancurkan kesewenang-wenangan.
 
Kedua, menegakkan sistem berkenaan dengan mendirikan sholat dan mengeluarkan zakat melalui segala daya dan cara yang dimiliki oleh pemerintah, negara menyebarkan kebaikan dan memerintahkan yang ma`ruf. Kepala negara harus dapat membawa rakyatnya kepada kehidupan yang sejahtera material dan spritual.Tugas ini adalah sangat berat dan hanya bisa dijalankan oleh pemimpin-pemimpin yang menyadari bahwa kekusaan yang dimilikinya, merupakan amanah yang harus dijalankan.
 
Mengapa harus amanah, hanya dengan amanah inilah seorang pemimpin dalam merumuskan kebijakan dan mengambil langkah-langkah stategis untuk menjalankan negara terhindar dari kecenderungan subjektif dan dorongan kepentingan peribadi (vested interest). Jadi kebijakan yang diambilnya tidak berdasarkan kepentingan sendiri, atau golongan tertentu namun semata-mata untuk kesejahteraan bersama.
 
Berkaitan dengan etika politik, sebenarnya sifat amanah tidak hanya harus dimiliki oleh para ekskutif, namun juga harus dipunyai oleh legislatif dan yudikatif. Berkaitan dengan legislatif, kemestian berlaku amanah tentu tidak dapat ditawar-tawar lagi. Bagaimanapun merekalah yang langsung dipilih oleh rakyat.
 
Dengan kata lain mereka telah menerima amanah untuk memilih pemimpin (eksekutif) yang terbaik di antara  yang paling baik. Tidak itu saja, amanah yang mereka terima menuntut mereka untuk selalu memperjuangkan aspirasi rakyat banyak. Dengan demikian, realaisasi amanah menuntut mereka untuk segera meninggallkan kepentingan individu dan golongannya.
 
Menurut al-Mawardi mereka harus adil, dalam arti harus memiliki integritas moral yang baik dan taat pada agamanya. Intinya, anggota legislatif dapat menjalankan amanah rakyat apabila mereka juga adalah orang-orang yang memiliki moralitas yang tangguh. Sebaliknya apabila mereka sendiri terdiri dari orang-orang  yang tidak amanah maka sulit diharapkan mereka juga akan berprilaku amanah.
 
Sampai di sini sebenarnya ada mata rantai yang tidak boleh terputus. Wakil rakyat yang memiliki moralitas yang baik bagaimanapun akan menghasilkan wakil rakyat yang juga menjunjung moralitas. Wakil rakyat yang menjunjung moralitas akan menghasilkan pemimpin yang bermoral juga.
 
Mengapa demikian, karena mereka sama-sama menyadari bahwa apa yang diembannya merupakan amanah yang harus dijunjung tinggi. Mengabaikan amana h sebagai salah satu sendi moral akan mengakibatkan kekacauan kehidupan yang akan dirasakan semua rakyat. Pentingnya amanah pada pihak ekskutif dan legislatif sama pentingnya dengan amanah pada pihak yudikatif. Sebagai lembaga yang memiliki wewenang untuk memutuskan segala persoalan hukum sebenarnya mereka menerima amanah paling tidak dari orang yang berperkara agar memberikan keputusan yang adil.
 
Perintah ini dengan tegas dinyatakan Allah dalam Al-Qur’an agar para pemimpin menegakkan keadilan yang diwujudkan dengan cara memberi keputusan yang adil. Pada surat al-Maidah ayat 42 Allah SWT berfirman, artinya: “Dan jika kamu memutuskan perkara diantara  mereka, maka putuskanlah dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil”.
 
Dari sisi ketuhanan mereka juga mengemban amanah untuk menjalankan hukum Tuhan secara adil. Pelaksanaan hukum yang adil sebagai sebuah amanah, sangat berpengaruh untuk menciptakan rasa aman dan damai dalam kehidupan sesuai dengan makna generik kata amuna yang merupakan asal kata amanah. Jika keadilan tidak ditegakkan oleh para hakim yang timbul adalah kekacauan.
 
Kata kunci yang dapat menjelaskan posisi amanah dalam politik adalah kekuasaan yang dimiliki seseorang apakah ia menjadi ekskutif, legislatif ataupun Yudikatif merupakan amanah yang diberikan Allah. Pada hakikatnya kekuasaan hanyalah milik Allah. Deliar Noer menyatakan bahwa kekuasaan politik adalah amanah, karena itu untuk orang-orang beragama, kekuasaan itu harus dipertanggungjawabkan dihadapan Tuhan dan mereka-mereka yang berada di bawah kekuasaannya.
 
Implikasi dari pelaksanaan amanah oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan politik akan menjadikan negara tersebut berada dalam kemakmuran, tetapi jika para pemimpin tidak lagi amanah yang akan diterima adalah azab Allah yang menimpa seluruh umat manusia. Inilah yang dialami negeri Saba’, ketika mereka berpuas diri terhadap apa yang telah didapat, rakyat Saba’ menjadi kufur, berbuat zalim, sombong dengan apa yang telah dimiliki bahkan mereka beranggapan apa yang didapatnya adalah hasil uasahanya sendiri. Mereka juga menyombongkan diri dengan ilmu yang telah diperoleh dalam hal merekayasa bendungan.
 
Akhirnya masyarakat menjadi terpecah yang kaya dan yang miskin. Kesimpulannya mereka telah menyia-nyiakan segala karunia yang telah diberikan Allah. Dalam bahasa yang sederhana, azab yang menimpa negeri Saba’ adalah karena mereka telah berlaku khianat. Karunia yang diterima dipandang bukan karunia yang berasal dari Allah. Ilmu yang dimiliki dipandang sebagai hasil usaha sendiri, harta yang didapat juga tidak dilihat sebagai amanah.
 
Akhirnya semuanya diolah tidak lagi sesuai dengan petunjuk-petunjuk Allah. Betapa besar implikasi pelaksanaan amanah dalam kehidupan politik. Jika amanah dijadikan sebagai moralitas politik maka negara akan berada dalam suasana aman, damai, serta tetap berada di dalam kemakmuran.. (Guru Besar Fakultas Ushuluddin Dan Studi Islam UIN-SU)
  • Bagikan