Edisi Filsafat Alam, FILSAFAT BANJIR

Oleh : H. Hasan Bakti Nasution

  • Bagikan
Edisi Filsafat Alam,      FILSAFAT BANJIR
Edisi Filsafat Alam, FILSAFAT BANJIR

Banjir adalah…, begitu kata KBBI. Bagi sebagian masyarakat, persoalan banjir merupakan persoalan penting, karena dialami setiap kali hujan turun. Ini tentu tidak dialami semua orang dan semua kota. Bahkan ada orang yang tidak pernah sekalipun melihat banjir tanpa melalui media televisi atau video.
Banyak orang yang menyalahkan air setiap kali banjir terjadi.

Tapi sesungguhnya banjir tidak lebih dan tidak kurang adalah kumpulan air (ontologi), yang terjadi (epistemologi) karena datangnya air dengan jumlah besar sehingga tidak bisa ditampung, yang seharusnya harus dilepaskan, tetapi tidak bisa dilepaskan karena tidak ada pembuangan (aksiologi). Maka jika tidak ingin banjir, lepaskanlah air sehingga tidak terkonsentrasi pada satu tempat yang membuat banjir.
Begitulah jawaban filsafat, dan itulah filsafat banjirnya, sesuai judul di atas. Lalu bagaimana melepaskan air…., berfilsafat lagi. Mikir….kata filsuf…!
Dalam konteks Indonesia, untuk beberapa waktu kota Jakarta dan Medan merupakan dua kota besar yang serupa tapi tidak sama. Serupa karena dua kota ini ditakdirkan memiliki lahan rendah dan datar serta tempat penampungan aliran air kiriman dari gunung. Bedanya Jakarta mampu mengendalikan, sedang Medan belum, kata halus untuk mengatakan tidak.


Jakarta memiliki kebijakan yang jelas, dengan mengeruk aliran sungai sehingga dalam dan mampu menampung banyak air, kemudian membuat sumur-sumur bawah tanah sebagai resapan air, dan membuat pompa-pompa baru dari yang sudah ada, dan lain-lain.
Adapun Medan sesungguhnya sudah banyak kebijakan dan tentunya dana yang digelontorkan, mulai dari megaproyek MUDP (Medan Urban Development Project), sayangnya tidak fungsional, sehingga dipelesetkan dengan mencari uang dalam parit….waduh…!!
Dan yang paling menggelikan sekaligus memuakkan ialah menutup pula parit-parit saluran air, seperti yang terjadi di jalan Meteorologi Raya.

Dulu ada parit 1,5 meter, sekarang sudah ditutup total, karena di sana akan dibangun rumah orang-orang kuat yang mampu mempengaruhi kebijakan, termasuk menutup parit. Koq bisa…! Begiulah jika uang yang bicara, yang tidak mungkin menjadi mungkin, pastinya banyak yang kehilangan akal sehat…
Ya Allah, kami merindukan pemimpin yang memperhatikan rakyat dan kesejahteraan rakyat, bukan justru menyengsarakan sebagai rakyat, seperti rusaknya mebel-mebel yang dibuat dari kayu lapis, atau rusaknya khazanah intelektual seperti buku, jurnal, hasil penelitian, dan lain-lain karena terendam, dan lain-lain. Ya Allah, semoga negeri ini dianugerahi pemimpin yang selain mampu masuk gorong-gorong, tetapi juga memfungsikan gorong-gorong…Amin…. (29-11-2022).

Edisi Filsafat Alam
FILSAFAT KEARIFAN
Mengurangi Efek Banjir
Oleh : H. Hasan Bakti Nasution

Banjir adalah peristiwa yang selalu hadir di tengah kehidupan masyarakat sejak zaman purba, karena memang budaya awal masyarakat bermula dari pinggir sungai. Hal ini berkaitan dengan fungsi air yang multikomplek, termasuk sebagai media transportasi sejak masa awal.
Budaya Mesir misalnya bermulai dari pinggir sungai Nil, budaya India dari pinggir sungai Gangga, dan sebagainya.

Menjadikan Medan juga sebagai pusat kerajaan Melayu, salah satu pertimbangannya ialah karena di kota ini terjadi pertemuan dua sungai, yaitu sungai Deli dan sungai Babura.
Sebab itulah terdapat kearifan masyarakat mengurangi efek negatif banjir. Masyarakat Belanda yang memiliki teknologi tinggi memiliki cara yang saintifik dengan mengembangkan teknologi kincir angin. Cara ini ternyata efektif menepis musibah banjir, kedati beberapa kota di Belanda sesungguhnya di bawah laut, seperti Amesterdam, Valendam, dan lain-lain.


Para raja-raja Melayu dahulu juga memiliki kearifan sesuai dengan wawasannya, dengan mendorong masyarakat agar membangun rumah dalam bentuk panggung. Kemudian masih teringat dalam ingatan bahwa meubel seperti kursi dan lemari model lama dibuat dengan menggunakan kaki, sehingga ketika air masuk ke dalam rumah hana mengenai tiang atau kaki.
Sayangnya kearifan itu terabaikan, seiring dengan mode rumah dan perangkat perabot rumah tangga yang variatif, termasuk menghilangkan kaki perabot atau tiang rumah. Akibatnya, setiap banjir tiba, air akan masuk ke dalam rumah dan perabotpun akan terendam.


Pesannya, jika memang rumahnya berada kawasan yang rawan banjir, gunakan dua kearifan, yaitu Belanda dan raja Melayu. Cara Belanda ialah buatlah tembok yang menahan masuknya air ke dalam rumah, seperti di pintu depan dan belakang. Sedangkan kearifan raja Melayu, buatlah rumah panggung. Jika sudah terlanjut membangun rumah, buatlah perabot dengan memakai kaki, seperti kursi, lemari, dan sebagainya.
Dan era belakang terjadi perlombaan membuat lahan rumah tinggi-tinggi, sehingga celaka besarlah rumah yang sudah terbagun di generasi awal…seperti rumah saya, oole nasib bakkiang… (30-11-2022).

Edisi Filsafat Alam, FILSAFAT BANJIR
  • Bagikan