Edisi Filsafat Alam FILSAFAT AIR MATA

Oleh : H. Hasan Bakti Nasution

  • Bagikan
Edisi Filsafat Alam FILSAFAT AIR MATA

Secara umum, tetesan air mata sebagai pertanda sedang ditimpa gundah gulana karena menderita musibah. Namun jika dicermati lebih jauh, sesungguhnya kesan di atas tidak selamanya benar. Sebab, tangis juga sebagai pertanda senang dan bahagia.
Dalam salah satu perjalanan naik kapal Klud Belawan Medan ke Tanjung Periuk Jakarta, saya bersebelahan dengan dua teman yang sudah puluhan tahun tidak berjumpa. Sangkin rindunya mereka bercerita berjam-jam mengisahkan kisah lama mereka kadang tertawa kadang menangis. Wadueh… seru melihatnya.
Pernah juga mempunyai teman yang sakit, bisa disebut koma. Reaksi terakhirnya hanya lelehan air mata. Untuk menghiburnya yang sesungguhnya sudah pasif, beberapa teman lama datang dan bercerita tentang tawaan masa lalu, reaksinya ternyata hanya lelehan air mata. Dan jika diceritakan berita duka, reaksinya juga hanya air mata. Sedih tentunya, tetapi begitulah ternyata kekuatan air mata.
Sebab itu, menyikapi air mata sejatinya lihatlah konteksnya, jangan lalu memvonis sesuatu hanya atas pertimbangan apa yang disaksikan secara kasatmata. “Zuruch zu den sacen selb”, biarkanlah obyek berbicara tentang dirinya, kata Edmund Hasserl, filsuf fenomenologis dari Jerman yang hidup tahun 1859-1958 M.
Jadi air mata adalah suatu pertanda, atau isyarat tentang sesuatu perasaan. Maka sikap terarif ialah biarkanlah orang meneteskan air mata karena bahagia atau menderita, karena dengannya letupan perasaan akan terlampiaskan, akhirnya beban hidupnya bisa sedikit diatasi, jika menyangkut derita. Dan agar bahagianya dapat mencapai titik kulminasi jika ia menangis karena rasa bahagia.
Namun jika tangisan karena duka yang penting ialah pengendalian diri, jangan sampai kehilangan kendali sehingga sampai meratap. Islam melarang umatnya meratapi kematian, karna bisa kehilangan keseimbangan. Sebab itulah awalnya Nabi Muhammad melarang ziarah kubur, khawatir akan meratap, namun ketika faktor ini tidak lagi muncul, berziarahpun menjadi anjuran. “Dulu aku melarang kalian ziarah ke kubur, tetapi sekarang lakukanlah” (kuntu nahaytukum ‘an ziyaratil qabri fazuwruha), katanya dalam salah satu hadits (16-12-2022).

  • Bagikan