Keluarga Nabi Ibrahim As

  • Bagikan
<strong>Keluarga Nabi Ibrahim </strong><strong>A</strong><strong>s</strong><strong></strong>

Oleh Asep Safa’at Siregar, S.Sos.I, M.Pd

“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar” (QS. Ash-Shaffat: 102)

Di dalam Al-Qur’an terdapat 54 ayat yang menceritakan atau menyebutkan Nabi Ibrahim as. Di antara kelebihannya dibandingkan dengan nabi lain adalah keteladanannya mendoktrin keluarganya yakni istri dan anaknya.

Pertama, Ibrahim.as berhasil meneguhkan dirinya untuk menaklukkan segala godaan dan tetap istiqamah dalam menjalankan perintah Allah SWT. Kita ketahui dalam riwayat bahwa Nabi Ibrahim as sejak kecil terkenal dengan kecerdasannya. Mencari keberadaan Tuhan dan mengenal sifat Tuhan meski belum pernah belajar dan diajari oleh manuisa manapun.  Kesadaran dalam dirinya akan keberadaan Tuhan membuatnya selalu mencari keberadaan Tuhan.

Mungkin berbeda dengan kita, terkadang sikap kita seakan Tuhan yang seharusnya mencari kita. Misalnya ketika kita dihadapkan pada masalah lalu kita protes kepada Tuhan “mengapa musibah ini datang kepada saya dan mengapa Tuhan tidak memilih manusia yang lain?” Itu kan artinya kita berharap Tuhan datang kepada kita memberi bantuan, pertolongan dan petunjuk-Nya kepada kita. Padahal kita belum tentu bersyukur atas nikmat yang diberikan atau bahkan kita tidak berharap dan berdoa kepada Allah sebelum meminta pertolongan kepada yang lain.

Ketika Ibrahim as dalam pengembaraan pencarian Tuhan dan menemukan jawabannya, maka keyakinan, keteguhan dan ke istiqamahannya tidak tergoyahkan oleh godaan dunia dan seluruh tipu daya syaithan. Cintanya pada Allah mengalahkan cintanya pada makhluk lain termasuk pada anak dan istrinya. Kita ingat riwayat Nabi Ibrahim As yang menceritakan peristiwa sebagai asal muasal dari perintah berkurban.

Diawali dengan harus meninggalkan anak yang baru lahir dan istri yang baru melahirkan di padang pasir yang tandus. Tidak ada siapapun dan tanahnya pun sangat tandus. Bisa saja istri dan anaknya itu celaka di bunuh oleh manusia dzalim atau dimakan binatang buas. Hati siapa yang tega melakukan itu? Logika dan naluri manusia pasti berontak menerima kedua perintah tersebut.

Perintah pertama, membawa istri dan anak ke padang pasir yang tak bertuan lalu meninggalkannya. Kemudian Perintah kedua, menyembelih anak semata wayang yang kehadirannya sangat dinanti-nantikan. Anak yang dibesarkan oleh istrinya dengan penuh perjuangan dan pengorbanan. Tapi nabi Ibrahim as mampu melakukannya karena kepatuhannya pada Allah SWT. Hanya iman yang dapat mengikhlaskan itu semua. Sekali lagi hanya dengan iman seorang suami mampu melakukan itu.

Kedua, Ibrahim As berhasil mendidik dan mengarahkan istrinya bahwa pengabdian kepada Allah SWT diatas segalanya. Ketika Ibrahim as hendak berangkat menunaikan perintah Allah untuk menyembelih anak satu-satunya. Iblis tidak habis akal, lalu coba menggagalkan misinya Nabi Ibrahim as melalui istrinya. Iblis pun kemudian membisikkan kepada Istrinya Nabi Ibrahim as agar melarang suaminya melakukan penyembelihan anak semata wayang mereka. Mulailah keraguan di dalam hati Hajar dan ia bertanya pada suaminya Ibrahim “Duhai suamiku, apakah yang akan kamu lakukan ini adalah perintah Allah?” Lalu Ibrahim menjawab “Benar, ini adalah perintah Allah SWT dan aku harus menunaikannya”. Kemudian Hajar berkata “Jika itu memang perintah Allah, maka lakukanlah”

Kita dapat bayangkan betapa pilihan yang sangat sulit bagi seorang ibu yang telah lama mendambakan kehadiran buah hati. Begitu lahir, turun perintah Allah untuk di sembelih setelah melalui pengorbanan yang sangat luar biasa di padang pasir. Seorang ibu tentu akan mengorbankan segala apa yang dimilikinya untuk anak, bahkan nyawa sekalipun yang jadi taruhannya. Namun kali ini cuma punya dua pilihan yakni menyembelih anak sebagai perwujudan ketaatan kepada Allah atau mengurungkan atau mengingkari perintah Allah demi si buah hati. Seorang istri yang kecintaannya pada Allah melebihi cintanya kepada siapapun termasuk dibanding anak sekalipun. Seyogiyanya seorang istri adalah sebagai pendukung utama suami untuk mengabdi atau beribadah kepada Allah SWT, dan Istri Nabi Ibrahim mampu menempatkan dirinya sebagai pendukung suami dalam menjalankan perintah Allah SWT.

Jika kita melihat fakta, banyak atau bahkan di antara kita istri tidak terarahkan untuk beribadah kepada Allah SWT. Bahkan jangankan kita, Nabi Nuh as, bahwa istri dan anaknya adalah termasuk golongan pembangkang dan akhirnya tenggelam karena banjir yang dahsyat. Inilah kelebihan Ibrahim as yang dimana istrinya juga sebagai peneguh hatinya untuk tetap istiqamah dalam menjalankan perintah Allah.

Ketiga, Ibrahim.as berhasil mendidik “anaknya” untuk mendukungnya menjalankan perintah Allah SWT. Allah SWT berfirman Artinya: “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. (QS.Ash-Shaffat: 102).

Ayat tersebut diatas jelas kita perhatikan bersama bahwa ketika datang perintah Allah SWT kepada Nabi Ibrahim as untuk menyembelih anaknya Ismail as, anaknyalah yang meneguhkan hati sang ayah Ibrahim as untuk melaksanakan perintah Allah SWT.

Hati siapa yang tidak terharu mendengar keteguhan hati seorang anaknya mendengar jawaban seperti Ismail as? Seorang anak yang mengokohkan iman ayahnya. Kita mungkin bisa men-salehkan diri kita, tapi belum tentu bisa men-salehkan anak kita. Seorang ayah yang bergelar kiyai belum tentu bisa membuat anaknya menjadi seorang kiyai.

Seorang ustadz yang saleh belum tentu bisa membuat anaknya menjadi seorang ustadz yang saleh. Jangankan kita Nabi sekalipun tidak semua bisa membuat anaknya mendapat hidayah dari Allah SWT, seperti Nabi Nuh as. Karena memang hidayah itu di dapatkan pada siapa saja yang di kehendaki oleh Allah SWT. Jika kita lihat realita kehidupan maka banyak anak yang justru meruntuhkan iman dan akidah ayahnya.

 (Guru di Pesantren Modern Unggulan Terpadu “Darul Mursyid”/PDM, Tapanuli Selatan)

  • Bagikan