Kualitas Amal Ibadah

  • Bagikan

Oleh Hendra Gunawan, MA

“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku” (QS. az-Zariyat: 56)

Secara bahasa ibadah berasal dari bahasa Arab yaitu al-‘ibadah. Kata ini merupakan pola mashdar dari kata kerja ‘abada-ya’budu yang bermakna ketaatan. Dalam syariah Islam, ibadah merupakan ketaatan seorang hamba kepada Allah SWT. Para ulama, berpendapat bahwa ada empat jenis ibadah yaitu qolbiyyah, qowliyyah, amaliyyah, dan maaliyyah.

Ibadah Qolbiyyah adalah setiap ibadah yang dilakukan oleh aktivitas hati. Ibadah ini meliputi i’tiqod (keyakinan atau keimanan kepada Allah SWT), mahabbah (rasa cinta kepada Allah SWT), dan tafakkur (merenungkan akan semua keindahan ciptaan Allah SWT).

Ibadah Qowliyyah adalah setiap ibadah yang dilakukan oleh aktivitas lisan. Seperti membaca al-Qur’an, bertasbih, bertahmid, bertahlil, bertakbir, dan lain sebagainya.

Ibadah Amaliyyah adalah setiap ibadah yang dilakukan oleh aktivitas anggota tubuh. Seperti gerakan dalam berwuduk, Gerakan dalam shalat, haji, dan lain sebagainya.

Ibadah Maaliyyah adalah setiap ibadah yang dilakukan dengan mendermakan harta. Seperti bersedekah, dan menunaikan zakat.

Keempat unsur ini indikator kesempurnaan kualitas amal ibadah insan manusia. Ketika seseorang mampu memadukan keempat unsur dalam ibadahnya, shalat tidak sebatas formalitas, melainkan diucapkan lisan diresapi (dirasakan) hati serta direalisasikan lewat gerakan sehingga mengantarkannya ke maqam mukasyafah (merasakan nikmatnya ibadah).

Rasulullah SAW bersabda: “Penyejuk hatiku terletak dalam shalat”. Sanking nikmatnya shalat malam sampai kaki Rasulullah SAW bengkak. Begitu juga, orang yang sudah merasakan manisnya ibadah, tidak perlu lagi buatnya menghamburkankan uang untuk liburan ke luar negeri hanya untuk menyenangkan hati, cukup membentangkan sajadah lalu bermunajat kepada Allah SWT dalam shalat dan membaca al-Qur’an.

“Barang siapa yang mengerjakan amal yang shalih maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barang siapa mengerjakan perbuatan jahat, maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidakah Rabb-mu menganiaya hamba-hamba-Nya” (QS. Fushshilat/24: 46).

Hidup ibaratkan cerminan kehidupan kita klak di Akhirat. Menurut Ibnu Katsir apapun yang kita lakukan di dunia akan kembali kepada diri kita sendiri. Ketika melakukan hal baik, maka dipastikan kebaikan itu akan kembali kepada diri kita sendiri, begitu juga sebaliknya.

Dalam sebuah kisah, ada seorang raja memerintahkan menterinya menghadapnya. Para menteri mulai mempersiapkan karung untuk diisi buah-buhan yang bagus dan lezat. Namun ada yang mencampurkan yang bagus dengan yang separuh busuk. Bahkan ada yang memenuhi karungnya dengan buah busuk.

Maka raja memerintahkan memasukkan semua menteri tersebut ke dalam sel beserta barang bawaan mereka. Sungguh senangnya menteri yang mengisi karungnya dengan buah bagus sehingga ia dapat menikmatinya. Betapa menyesalnya, menteri yang mengisi dengan buah separuh rusak, dan betapa menderitanya menteri yang mengisi buah busuk.

Beginilah gambaran amal perbuatan insan manusia. Karung ibarat umur atau usia untuk digunakan (diisi) dengan amal baik. Sedangkan buah bagus dan yang busuk adalah cerminan amal perbutan insan manusia. Maka orang yang selalu mengisi hari dengan amal ibadah (kebaikan) kelak ia akan menuhai kelezatan dan kenikmatan.

Amal jariyah merupakan amalan yang terus mengalir meski orang yang melakukannya telah meninggal dunia. Kata jariyah merupakan serapan dari bahasa Arab yang bisa diartikan mengalir seperti air yang tiada bertepi.

Ketika amalan yang lain terputus, amal jariyah akan tetap memberinya pahala tiada henti. Rasulullah SAW bersabda: “Jika manusia mati maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya (kedua orang tua)” (HR.Muslim).

Dalam istilah hukum ada yang dinamakan mafhum mukhalafah (menetap hukum dari kebalikannya). Sebagaimana firman Allah SWT, pada surah an-Nahl: 25: “Ucapan mereka menyebabkan mereka memikul dosa-dosanya dengan sepenuh-penuhnya pada hari Kiamat, dan sebagian dosa-dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikitpun bahwa mereka disesatkan. Ingatlah, amat buruklah dosa yang mereka pikul itu” (QS. An-Nahl: 25).

Sabda Rasulullah SAW: “Dan barang siapa yang mengajak kepada kesesatan, maka ia mendapat dosa semisal dosa orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun” (HR Muslim). (Dosen Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum IAIN Padangsidimpuan)

  • Bagikan