Memburu Lailatul Qadr

  • Bagikan
Memburu Lailatul Qadr

Oleh Tgk Helmi Abu Bakar el-Langkawi

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam Qadr. Dan tahukan kamu apa malam Qadr itu? (yaitu) malam Qadr itu lebih baik dari malam seribu bulan. Pada malam itu, turun para malaikat dan ruh (Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Sejahteralah malam itu hingga terbit fajar” (QS. Al-Qadr: 1-5)

Memahami ayat tersebut, Syekh Musthafa al-Maraghi dalam kitab tafsirnya menjelaskan, tiadak ada malam yang lebih mulia dan agung dibandingkan malam turunnya Al-Quran (Lailatul Qadr). Allah SWT menjelaskan malam tersebut lebih baik daripada seribu bulan. Sehingga ketika beribadah dan berbuat kebaikan pada malam itu, nilainya lebih baik daripada 83 tahun 4 bulan.

Juga ada ulama yang berpendapat, bahwa maksud seribu bulan itu menunjukkan jumlah yang banyak, bukan terbatas pada bilangan seribu. Hal ini menunjukkan bahwa kasih sayang Allah SWT kepada kita. Menurut mayoritas ulama, Lailatul Qadr terjadi pada bulan Ramadhan, meskipun tidak diketahui secara persis kapan waktunya. Namun bila diperhatikan dari kebiasaan Rasulullah, beliau sangat bersungguh-sungguh beribadah pada sepuluh terakhir Ramadhan. Dalam sebuah hadis dari ‘Aisyah Ra mengatakan, “Ketika memasuki sepuluh akhir Ramadhan, Nabi fokus beribadah, mengisi malamnya dengan ibadah, dan membangunkan keluarganya untuk ikut ibadah” (HR. Al-Bukhari).

Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW merinci Lailatul Qadr biasanya terjadi malam ganjil di sepuluh terakhir Ramadhan. Rasulullah berkata: “Carilah Lailatul Qadr pada malam ganjil sepuluh terakhir Ramadhan” (HR Al-Bukhari). Kemuliaan dan kelebihan Lailatul Qadr sangat, di antaranya pertama, lailah al-qadr lebih utama dari seribu bulan (alfu syahrin). Surat al-Qadr menggambarkan lailah al-qadr dengan turunnya para malaikat di malam itu untuk mengurus berbagai urusan, dan kedamaian atau kesejahteraan memenuhi malam itu hingga fajar menyingsing.

Menurut perhitungan Syekh Abdul Halim Mahmud, seribu bulan (alfu syahrin) setara 83 tahun 4 bulan yang merupakan umur standar manusia (dzalika ‘âdah ‘umril insân). Ia menyebutkan: “Seribu bulan adalah delapan puluh tiga tahun empat bulan. Itu merupakan standar umum umur manusia. Lailatul qadr (alfu syahrin) lebih baik dari umur manusia; dari umur setiap manusia, baik umur manusia di masa lalu maupun umur manusia di masa mendatang. Intinya, lailatul qadr lebih baik dari (usia) zaman” (Syekh Abdul Halim Mahmud, Syahr Ramadhân, h. 21).

Penamaan Lailh Al-Qadr banyak pengertiannya menurut ulama, Dalam kitab al-Jami’ li Ahkamil Qur’an mengatakan, ulama berbeda pendapat di balik sebab penamaan lailatul qadar. Pertama, menurut Imam az-Zuhri karena agung dan mulianya malam tersebut. Kedua, karena nilai kebaikan yang dilakukan pada malam Lailatul Qadr mendapatkan nilai yang sangat berlipat ganda dibanding malam lain. Ketiga, menurut Syekh Abu Bakar, karena orang yang tidak mempunyai nilai mulia dan keutamaan, akan menjadi orang mulia dan utama di sisi Allah apabila beribadah pada malam tersebut.

Keempat, karena pada malam itu merupakan malam diturunkannya kitab mulia, pada utusan mulia, dan umat yang mulia pula. Kelima, karena menjadi malam turunnya para malaikat yang mempunyai derajat dan kemuliaan. Keenam, karena merupakan malam dimana Allah menurunkan kebaikan, berkah, dan ampunan. Ketujuh, karena pada malam tersebut Allah memastikan rahmat bagi orang mukmin. Kedelapan, karena bumi menjadi sempit sebab dipenuhi oleh para malaikat yang mulia. (Syekh Syamsuddin al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, juz 20, h. 130).

Lailah al-qadr lebih mulia dan utama dari seluruh umur manusia, baik umur manusia di zaman dulu, zaman sekarang, maupun di zaman mendatang. Syekh Abdul Halim Mahmud bahkan mengatakan, “annahâ khair minad dahr (Lailatul Qadr lebih baik dari usia zaman).” Penjelasan Syekh Abdul Halim Mahmud ini dikarenakan tidak adanya batasan pasti mengenai kebaikan dan kemuliaan lailatur qadr. Petunjuk yang diberikan Allah hanya kebaikannya melebihi seribu bulan.

Rasulullah SAW memberikan panduan untuk bisa berburu malam kemuliaan ini, yaitu malam ganjil pada 10 malam terakhir Ramadhan. “Barangsiapa melaksanakan shalat pada malam Lailatul Qadr karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni” (HR. Bukhari No.1901). Isyarah atau petunjuk lainnya bahwa lailah al-qadri sepuluh akhir dan Rasulullah SAW lebih banyak beribadah di akhir sepuluh akhir Ramadhan. Baginda nabi sendiri tidak menghususkan ibadah ‘itikaf pada malam 27 Ramadhan saja, melainkan pada malam ganjil dan genap pada 10 hari terakhir di bulan Ramadan. Tidak ada perintah untuk mencari-cari dan menghitung-hitung kapan Lailatul Qadr tetapi fokuslah beribadah pada 10 hari terakhir Ramadhan semampunya.

Fenomena tersebut telah disebutkan dari ‘Aisyah Ra ia berkata, “Rasulullah biasa ketika memasuki 10 Ramadhan terakhir, Beliau bersungguh-sungguh dalam ibadah (dengan meninggalkan istri-istrinya), menghidupkan malam-malam tersebut dengan ibadah, dan membangunkan istri-istrinya untuk beribadah” (HR. Bukhari dan Muslim). Juga tidak sedikit hadist lainnya yang menganjurkan menghidupkan ibadah pada 10 hari terakhir berdasarkan hadis “Carilah Lailatul Qadr pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan” (HR. Bukhari). Sebagaimana adanya pada malam ganjil pada hadis berikut: “Carilah Lailatul Qadr di malam ganjil dari sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan” (HR. Bukhari).

Beranjak dari itu, hendaklah kita tidak harus fokus malam ganjil dan sepuluh akhir beribadah selama Ramadhan tetapi mari kita tingkatkan kualitas dan kuantitas ibadah selama Ramadhan termasuk sepuluh malam terakhir Ramadan. Rasulullah ber’itikaf di masjid pada 10 hari itu. ‘Itikaf dengan berdiam diri dalam masjid mendekat diri kepada Allah dengan beribadah. Juga kita berlomba menghidupkan malam-malam dengan beribadah baik ibadah fardlu (wajib) atau nafilah (sunah). Seperti salat malam, membaca Al-Qur’an, berdzikir, berdoa, bertobat dan amalan baik lainnya. Sudahkah kita melakukannya? Wallahu Muwaffiq Ila Aqwamith Thariq.

(Dosen IAI Al-Aziziyah Samalanga, Guru Dayah MUDI Samalanga, Ketua Ansor Pidie Jaya serta Kandidat Doktor UIN Ar-Raniry Banda Aceh)

  • Bagikan