Meraih “Inti” Puasa

  • Bagikan
Meraih “Inti” Puasa
Tangkapan layar

Oleh Ahmad Muda Harahap

“Puasa itu untuk-Ku dan Akulah yang akan membalasnya” (Hadis Qudis)

Jika puasa itu hanya dimaknai menahan lapar dan haus, akan sangat mudah untuk dilaksanakan. Siapa pun yang sehat secara fisik dan psikis akan merasa enteng melewati itu. Namun bila kita ingin mencapai nilai hakikat dari puasa, kita tidak cukup hanya melakukan itu. Karena puasa pada hakikinya adalah aktivitas rohaniyah-spiritual yang bersifat privat. Karena itu diperlukan kesungguhan dan kejujuran ekstra, serta kerja keras untuk mencapainya.

Puasa sebagai perangkat ibadah, bisa ditinjau dari dua aspek, fiqh dan tasawuf. Jika puasa itu ditempatkan dalam konteks fiqh, maka tugas kita adalah menahan diri dari yang membatalkan puasa (seperti makan, minum, dan bersetubuh) mulai dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari. Sekali lagi, puasa dalam konteks ini tentu akan sangat mudah dilakukan oleh seseorang yang memiliki kebugaran fisik.

Puasa dengan memenuhi kriteria tersebut tentu wajib hukumnya, karena itu merupakan rukun supaya puasa kita sah secara hukum. Itu merupakan syarat utama bagi sahnya pelaksanaan puasa yang dilakukan. Namun tidak bisa hanya berhenti di situ. Jika puasa hanya memenuhi persyaratan hukum secara fiqh akan mengurangi bobot dari puasa itu sendiri. Dengan kata lain, puasa seperti itu bisa jadi tidak menyentuh aspek terdalam dari nilai puasa itu sendiri. Karena itu, selain memenuhi kriteria hukum fiqhnya, perlu kiranya puasa itu ditempatkan dalam kontek ilmu tasawuf.

Dalam konteks tasawuf misalnya, puasa sesungguhnya bukan sekedar menunaikan kewajiban saja sebagaimana yang ditetapkan dalam ilmu syari’at dan fikih. Ukuran sahnya juga tidak terbatas pada terhindarnya diri dari hal-hal yang membatalkan puasa. Namun lebih dari itu, sah atau tidaknya puasa mengacu kepada terbangunnya kualitas batin setiap orang yang berpuasa.

Jalaluddin Rumi (seorang sufi) misalnya, melihat puasa bukan sekedar kewajiban bagi umat Islam. Akan tetapi, bagi Rumi puasa sebagai momentum untuk selalu “bersama” Allah SWT dalam setiap detik nafas dan gerakan kita. Puasa merupakan peluang emas bagi siapa saja yang ingin merasakan kasih dan sayang Allah. Dalam Hadis Qudis Allah SWT berfirman: “Puasa itu untuk-Ku dan Akulah yang akan membalasnya”.

Lain lagi dengan Ibn ‘Arabi yang disebut sebagai syaikhul Akbarnya kaum sufi. Ia melihat puasa sebagai ibadah yang unik diantara ibadah lainnya yang ada dalam ajaran Islam. Semua ibadah yang wajib misalnya, akan memerlukan gerak, seperti shalat, haji dan lain-lain. Ini sungguh berbeda dengan puasa. Karena dalam berpuasa kita tidak melakukan apa-apa, kecuali hanya menahan.

Puasa sebagaimana didefinisikan oleh para ulama fiqh adalah imsak yang berarti “menahan”. Puasa dalam arti menahan adalah mengontrol diri untuk tidak melakukan sesuatu, tidak makan, tidak minum, tidak melakukan hubungan seks, dan lain-lain yang dapat mengurangi nilai puasa atau bahkan membatalkannya.

Menurut Ibn ‘Arabi, puasa pada hakikatnya adalah merasakan kehidupan untuk dapat selalu berada dalam naungan Allah SWT. Artinya, dalam berpuasa kita belajar meniru sifat-sifat Allah, seperti tidak makan, tidak minum, penyayang, pengasih, dan lain-lain. Kita sadar betul dan dapat merasakan kehadiran Allah SWT dalam segala aktivitas hidup kita. Prilaku keseharian kita akan mencerminkan keagungan ahklak seorang muslim.

Oleh karena itu, keberhasilan puasa tidak bisa diukur hanya dengan kemampuan orang yang berpuasa untuk menahan diri dari segala yang membatalkan puasa, mulai dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari. Tapi hakikat keberhasilan puasa ditentukan oleh kebersihan hati dan ahklak mulia.

Semestinya puasa yang dilakukan oleh umat Islam pada saat ini tidak lagi sebatas mengikuti ukuran-ukuran hukum atau fikihnya semata. Namun harus masuk pada suasan batinnya sebagaimana puasa yang dilakukan oleh para ahli tasawuf. Hanya dengan inilah “rasa” puasa kita akan berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Wallahu ‘alam.

(Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam/STAITA Tapanuli Padangsidimpuan)

  • Bagikan