Meraih Keutamaan Awal Dzulhijjah

  • Bagikan
Meraih Keutamaan Awal Dzulhijjah
Net

Oleh Darwis Simbolon, S.Pd., M.Pd

“Tidak ada satu amal saleh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal saleh yang dilakukan pada hari-hari ini (yaitu 10 awal bulan Dzulhijjah). Para sahabat bertanya, “Tidak pula dengan jihad dijalan Allah?” Nabi SAW menjawab, Tidak pula jihad dijalan Allah, kecuali orang yang berangkat untuk berjihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun (Dia mati syahid dan hartannya juga tidak kembali karena dirampas oleh musuh” (HR. Bukhari)

Allah SWT Dia-lah Pencipta yang Mahaberkehendak lagi Mahamengetahui segala sesuatu. Allah SWT befirman, “Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan” (QS. Al-Qashas : 68). Dia juga Maha Kuasa melakukan sesuatu sesuai kehendak-Nya seperti bersumpah menyebut nama sesuatu atau makhluk ciptaan-Nya.
Adapun hikmah di balik penyebutan sesuatu pada sumpah tersebut menunjukkan adanya keutamaan atau hikmah yang besar dibaliknya. Jika kita mau memperhatikan Al-Qur’an secara seksama, Allah SWT dalam firman-Nya banyak bersumpah menyebut nama ciptaan-Nya seperti waktu, bintang, bulan, hari, bulan dan seterusnya. Dia berkehedak menentukan kadar lalu menciptakan tanpa butuh campur tangan siapapun.

Dia jugalah yang memilih orang yang pantas menjadi utusan-Nya lalu memberikan karunia yang baik-bagi makhluk-Nya. Allah SWT berfirman, “Rasul-rasul berkata kepada mereka, “Kami tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, akan tetapi Allah memberikan karunia kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-Nya” (QS. Ibrahim : 11).

Allah juga menetapkan beberapa tempat yang tepat dan utama dibandingkan yang lainnya. Seperti Makkah yang tanahnya tandus lagi kering ternyata dijadikan dan dimuliakan sebagai tempat untuk berhaji. Walaupun ada tempat mulia lainnya seperti kota Madinah dan baitul Maqdis di Palestina. Allah dengan ilmu-Nya juga menetapkan lalu memilih diantara bulan-bulan atau hari-hari tertentu. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya bilangan bulan disisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan Langit dan Bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu pada bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa” (QS. At-Taubah : 36).

Nabi SAW menjelaskan keempat bulan haram (suci) tersebut dalam sabdanya, “Sesungguhnya zaman berputar sebagai mana ketika Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun ada dua belas bulan. Diantaranya ada empat bulan haram (suci), tiga bulan berurutan: Dzulkaedah, Dzulhijjah, dan Muharram, kemudian bulan Rajab suku Mudhar, antara Jumadi Tsani dan Sya’ban” (HR. Bukhari dan Muslim).
Bulan Dzulhijjah termasuk salah satu diantara bulan haram yang berisi syiar agama Islam. Didalamnya terdapat hari-hari yang utama untuk beramal yaitu sepuluh awal bulan tersebut. Mengenai hal ini, Allah SWT berfirman, “Demi Fajar, dan malam yang sepuluh” (QS. Al-Fajr : 1-2). Terkait makna “malam yang sepuluh”, secara umum terdapat dua pendapat para ulama. Pendapat yang pertama dan menjadi prioritas ulama seperti Imam Ibnu Katsir mengatakan bahwa “malam yang sepuluh” tersebut merujuk pada sepuluh awal dari bulan Dzulhijjah.

Imam Ath-Thobari dalam kitab tafsirnya juga mengikuti pendapat para jumhur yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan malam yang sepuluh tersebut adalah sepuluh hari di awal bulan Dzulhijjah. Jadi mayoritas ulama dan ahli tafsir mengatakan bahwa yang dimaksud dengan malam yang sepuluh tersebut adalah sepuluh hari diawal bulan Dzulhijjah.

Sedangkan pendapat yang kedua mengatakan bahwa malam yang sepuluh tersebut maksudnya adalah sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan. Menurut Ibnul Arabi dan Ibnu Utsaimin bahwa sesuai gramatika bahasa Arab, kata “hari” pada beberapa konteks tertentu bisa bermakna malam. Sebaliknya kata “malam” bisa bermakna siang hari sesuai kebiasan orang Arab. Sehingga Syaikh Utsaimin dalam kitabnya Tafsir Juz Amma lebih merajihkan pendapat yang menyatakan bahwa maksudnya adalah sepuluh akhir bulan Ramadhan. Dimana Allah bersumpah dengan kemulian sepuluh malam terakhir pada bulan Ramadhan padanya terdapat lailatul qadr yang lebih baik daripada seribu bulan. Sebenarnyna kedua pendapat diatas tidak bertentangan sama sekali karena bisa dikompromikan dalam hal faedah dan hikmahnya.

Ibnu Qayyim dalam kitab Zaadul Ma’aad mengatakan, “Sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan lebih utama dari sepuluh malam pertama bulan Dzulhijjah. Dan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah lebih utama dari sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Dari penjelasan kedua keutamaan tersebut, hilanglah kerancuannya. Jelaslah bahwa sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan lebih utama pada malamnya. Sedangkan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah lebih utama pada siang harinya. Karena terdapat hari nahr (qurban), hari Arafah dan tarwiyah”.

Maka jika kita lebih meyakini lalu mengikuti pendapat pertama dengan mengisi sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dengan berbagai ketaatan untuk meraih pahala sebanyak-banyaknya, maka hal tersebut adalah kebaikan dan ittiba’. Sebaliknya jika kita meyakini pendapat kedua yang menyatakan bahwa sepuluh malam tersebut maksudnya adalah sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, in sya Allah kita juga akan memperoleh lailatul qadr yang lebih baik daripada seribu bulan serta keutamaan nahr dan tarwiyahnya.

Adapun beberapa amalan yang sangat dianjurkan untuk dikerjakan selama berada pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah tersebut adalah: Pertama, mengerjakan puasa sunnah. Sebenarnya mengerjakan puasa itu tidak hanya baik pada bulan Dzulhijjah saja. Tetapi jika dikerjakan pada bulan Dzulhijjah termasuk bentuk ketaatan dalam mengikuti sunnah Nabi SAW atau ittiba kepadanya. Nabi SAW menganjurkan kepada umatnya agar mengerjakan puasa Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjjah sebagai penebus dosa pada tahun sebelum dan sesudahnya. Sebagaimana dalam sabda Beliau SAW, “ .. puasa hari Arafah, saya berharap kepada Allah agar menjadikan puasa ini sebagai penebus (dosa) satu tahun sebelumnya dan satu tahun setelahnya” (HR. Muslim).

Kedua, memperbanyak ucapan takbir. Menggemakan syiar agama lewat takbir pada bulan Dzulhijjah secara umum terbagi kedalam dua bentuk, pertama takbir mutlak yang pelaksanaannya tidak terikat waktunya. Seperti takbir yang digemakan menjelang Idul Adha terhitung sejak tanggal 1 Dzulhijjah dan berakhir pada tanggal 13 Dzulhijjah di waktu Ashar. Maka selama rentang waktu tersebut, kaum muslimin sangat dianjurkan untuk memperbanyak ucapan takbir.

Termasuk bertakbir ketika sedang berjalan, bekerja, duduk dikantor, berbaring bahkan ketika sedang berada dilapangan. Hal ini bertujuan mengingatkan kembali dan mengajarkan kepada manusia sunnah-sunnah kebaikan yang sudah ditinggalkan. Disinilah tugas orang yang berilmu atau para da’i untuk mengajarkan lalu mencontohkannya. Firman Allah SWT, “…Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang” (QS. Al-Baqarah : 203).

Ibnu Abbas juga meriwayatkan dari Nabi SAW ketika menafsirkan ayat diatas mengatakan, “Bahwa yang dimaksud dengan “beberapa hari yang ditentukan” adalah tanggal 1 sampai 10 Dzulhijjah, sedangkan maksud dari “beberapa hari yang berbilang” adalah hari tasyriq pada tanggal 11 sampai 13 Dzulhijjah” (HR. Bukhari).

Begitu pula Ibnu Umar meriwayatkan dari Nabi SAW, “Tidak ada amal yang dilakukan di hari yang lebih agung dan lebih dicintai Allah melebihi amal yang dilakukan pada tanggal 1 – 10 Dzulhijjah. Oleh karena itu, perbanyaklah membaca tahlil, takbir, dan tahmid pada hari itu” (HR. Ahmad). Demikian pula disebutkan dalam riwayat Bukhari bahwa dahulu para sahabat Nabi seperti Umar dan Abu Hurairah ketika berjalan menuju pasar pada tanggal 1 sampai 10 Dzulhijjah sambil mengucapkan kalimat takbir dan kemudian banyak orang yang menyaksikan dan mengikuti mereka untuk bertakbir. Inilah tugas kita mengembalikan sunnah-sunnah yang sudah terlupakan.

Kemudian yang kedua adalah takbir muqayyad yang pelaksanaannya harus menyesuaikan dengan waktu tertentu. Takbir ini dimulai sesaat setelah pelaksanaan shalat subuh pada tanggal 9 Dzulhijjah sampai setelah shalat Ashar pada tanggal 13 Dzulhijjah. Ada beberapa dalil yang menunjukkan anjuran untuk mengerjakan takbir tersebut.

Sebagaimana riwayat dari Al-Baihaqi dan Ibnu Abi Sayibah,“Bahwa Umar dahuulu bertakbir setelah shalat Subuh pada tanggal 9 Dzulhijjah sampai setelah Zuhur pada tanggal 13 Dzulhijjah”.

Ketiga, melaksanakan ibadah kurban. Waktu yang paling utama atau afdhal untuk berkurban adalah pada tanggal 10 Dzulhijjah sesuai hadits yang menyatakan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Meskipun sebenarnya berkurban bisa dilaksanakan pada tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijjah. Allah SWT berfirman, “Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkurbanlah” (QS. Al-Kautsar : 2). Maka sesuai ayat di atas, urutan pelaksanaan ibadahnya adalah mengerjakan shalat Idul Adha kemudian dilanjutkan dengan menyembelih hewan kurban pada hari kesepuluh bulan Dzulhijjah.

Keempat, memperbanyak dzikir dan amal saleh apapun yang bisa dikerjakan. Walaupun tidak dijelaskan secara detailnya, tentu saja semua amal saleh yang dikerjakan secara ikhlas karena Allah termasuk kebaikan. Seperti memperbanyak membaca lalu mentadabburi Al-Qur’an, berdzikir, beristighfar, bersedekah, menyambung tali silaturrahmi atau mengunjungi saudara dan amar ma’ruf nahi munkar. Inilah jalan orang-orang yang lebih mengharap pahala akhirat untuk konsisten beramal saleh selama hidup terlebih di sepuluh awal bulan Dzulhijjah.

Kesimpulan

Allah berkuasa memuliakan atau menghinakan apapun menurut iradah-Nya. Dia berkehendak memuliakan hari-hari dan bulan-bulan haram tertentu dibanding bulan lainnya. Allah SWT berfirman, “Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Ditangan-Mu lah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu” (QS. Ali Imran : 26).

Salah satu hikmahnya menjadi waktu terbaik untuk memperbanyak Dzikir serta berlomba-lomba beramal saleh didalamnya. Seperti ibadah haji yang ditetapkan sebagai amalan utama di sepuluh awal bulan Dzulhijjah. Dan yang lebih penting adalah setelah mengetahui keutamaanya, hendaknya dibarengi dengan semangat untuk mengerjakannya. Kita senantiasa memohon petunjuk, kekuatan dan taufik dari Allah SWT agar diberikan kemampuan untuk beramal setelah mengetahui ilmunya. Aamiin.

Wakadiv Office of International Affairs (OIA) Pesantren Darul Mursyid, Tapanuli Selatan.

  • Bagikan