MERAWAT KEFITHRAHAN PASCA RAMADHAN

By Hasan Bakti Nasution

  • Bagikan

Alhamdulillah jihad akbar melalui Ramadhan 1444 H/2023 M telah usai. Diawali dengan taqwa (tattaquwn) dan diakhiri dengan mendapat petunjuk (yarsyudun). Jadi kefitrian ditandai dengan, selain suci dari segala noda dan dosa sebagai out put, jufa diharakan akan selalu berada dalam rotasi kebenaran, karena petunjuk Allah yang selalu menyertai, sebagai out come.
Inilah cita-cita ideal Ramadhan, dan agar kodisi ini terpertahankan, adaa 6 (enam) langkah sebagaimana dijelaskan secara naratif oleh hadits Nabi Muhamma d Saw. Keenam poin itu ialah:

  1. Al-istighalu biúyubin-nas, sibuk mencari-cari kejelekan orang lain, karena menurutnya, hanya dialah yang tidak mempunyai kesalahan. Kecenderungan ini memang menjadi kecenderungan umum manusia, sehingga muncul ungkapan “gajah di pelupuk mata tidak kelihatan, tapi kancil di seberang lautan kelihatan”. Sifat ini harus dihindari karena menurut Islam, tidak ada manusia yang sempurna, tidak ada manusia yang baik 100 % seperti juga tidak ada manusia yang jahat 100 %. Setiap manusia ada kekurangan dan juga ada kelebihan, sehingga tidak boleh merendahkan orang lain, seperti ungkapan Arab: “jangan rendahkan yang di bawahmu, karena setiap orang ada kelebihan” (la tahtaqir man duwnaka faliklli syayín maziyyah).
  2. Qaswatul qalbi, hati yang keras sehingga tidak mau menerima nasehat dari siapapun, karena hatinya telah dipengaruhi oleh syetan Laknatullah, pada akhirnya akan jauh dari Tuhan. Sifat hati yang keras ini diidentikkan dengan sifat kafir dan munafiq seperti dituangkan dalam surat al-Baqarah/2: 7, yang artinya: “Allah telah mengunci mati hati, pendengaran dan pengli-hatan mereka sehingga tertutup dari kebenaran, dan kelak mereka akan menerima siksaan yang dahsyat”.
  3. Hubbud-dunya, mencintai dunia secara berlebihan sehingga melupakan akhirat. Sikap ini bertentangan dengan idealita ajaran Islam yang harus menyeimbangkan hidup dunia akhirat, sesuai doá yang selalu ditadahkan: “Ya Tuhan kami beri kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan jauhkan kami dari siksaan api neraka”.
  4. Qillatul haya’, sedikit malu atau hilang rasa malu, yaitu tidak malu melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama dan norma sosial secara terang-terangan. Bahkan merasa bangga melakukan pelanggaran hukum dan norma yang ada. Hal ini bertentangan dengan Sunnatullah bahwa salah satu ciri perubatan buruk ialah ketika manusia malu melakukan perbuatan tersebut. Rasa malu penting dalam Islam, karena berkaitan dengan iman, ketika malu tidak ada maka imanpun akan hilang, sesuai hadits Nabi yang diriwayatkan Abu Naím, yang artinya: “Rasa malu dan iman dua hal yang berdampingan, apabila salah satunya hilang maka keduanya akan hilang”.
  5. Thulul ámal, panjang angan-angan sehingga sibuk dengan khayalan yang tidak mungkin terjadi. Beranggan-angan tentu boleh-boleh saja, apalagi dalam manajemen modern dikenal apa yang disebut visi, yaitu kondisi ideal masa depan yang dicita-citakan dan diwujudkan. Visi haruslah disertai dengan missi, yaitu tahapan aksi yang dilakukan untuk mencapai yang dicitakan pada visi. Hal ini berbeda dengan thulul ámal yang hanya berangan-angan saja tanpa rencana matang, apalagi usaha. Panjang angan-angan dalam Islam haruslah dimaknakan sebagai prinsip bahwa hidup tidak hanya di dunia saja, tetapi ada kehidupan lanjutan pasca di dunia, yaitu akhirat yang kekal dan abadi. Karena itu, persiapan dan bekal ke kehidupan haruslah disiapkan, dan bekal terbaik ialah taqwa, seperti maksud hadits Nabi yang artinya: “Kumpullah bekal akhirat, dan berkal terbaik ialah taqwa”, yaitu prilaku posisitif (amal shalih) berupa kepatuhan kepada ajaran Allah dan kepatuhan meninggalkan larangan-Nya (imtistalu awamiril-Lahi wajtinabu nawahi-Hi).
  6. Zhalimun la yantahiy, kezaliman yang terus menerus, baik terhadap Tuhan, maupun kepada diri sendiri dan kepada orang lain. Zalim kepada Tuhan ialah mengabaikan perintah-Nya, dengan melakukan tindakan yang bertentangan dengan ajaran agama sampai akahir hayatnya, tanpa taubat. Zalim kepada diri ialah memaksakan melakukan atau meraih sesuatu di luar kemampuannya, sehingga menghalalkan segala cara (helleige de midellen, the justify all means). Misalnya, agar cepat kaya ia melakukan tindakan melanggar hukum. Sedangkan zalim kepada orag lain ialah dengan mengabaikan hak-hak orang lain, yang seharusnya diperolehnya. Akibatnya orang lain menjadi terzalimi. Sikap ini harus ditakuti, karena orang terzalimi sangat dekat dengan Allah, seperti dinyatakan hadits Nabi yang artinya: “Takutilah orang yang dizalimi, karena di antara dia dan Allah tiada batas” (H.R. Muslim). (26-4-2023).

  • Bagikan