Mulia Dengan ‘Iffah

  • Bagikan
<strong>Mulia Dengan</strong><strong><em> ‘Iffah</em></strong><strong><em></em></strong>

Oleh Ali Sakti Rambe

“(Apa yang kamu infakkan) adalah untuk orang-orang fakir yang terhalang (usahanya karena jihad) di jalan Allah, sehingga dia yang tidak dapat berusaha di bumi; (orang lain) yang tidak tahu, menyangka bahwa mereka adalah orang-orang kaya karena mereka menjaga diri (dari meminta-minta). Engkau (Muhammad) mengenal mereka dari ciri-cirinya, mereka tidak meminta secara paksa kepada orang lain. Apapun harta yang baik yang kamu infakkan, sungguh, Allah Mahamengetahui” (QS. Al-Baqarah: 273)

Ayat di atas menceritakan orang-orang fakir atau orang yang terhalang usahanya karena jihad di jalan Allah SWT. Sehingga mereka tidak dapat berusaha untuk memenuhi kehidupan hidup di dunia. Namun mereka adalah orang-orang yang terhormat lagi mulia karena selalu menjaga kehormatan diri, sehingga orang lain yang tidak tahu menyangka bahwa mereka adalah orang-orang kaya karena mereka menjaga diri dari meminta-minta.

Secara etimologi kata ‘iffah berasal dari bahasa Arab dari akar kata “’affa-ya’iffu-‘iffatan” yang memiliki makna menjaga atau menahan diri dari hal-hal yang tidak baik. Sedangkan secara terminologi kata ‘Iffah memiliki makna yang sangat luas. Tidak hanya terbatas pada menjaga dan menahan diri dari hal-hal yang diharamkan oleh Allah SWT saja, tetapi juga menahan dan mengontrol diri untuk sesuatu yang halal jika hal tersebut dapat menjatuhkan dan merendahkan martabat seorang muslim. Sungguh, betapa agungnya ajaran Islam dalam mengangkat dan memuliakan marwah para pemeluknya.

Hari ini kita menyaksikan betapa minimnya pengamalan iffah ini dikalangan masyarakat. Sungguh miris, demi menginginkan hidup mewah. enak, lagi glamor, syariat Islam pun dikesampingkan. Parahnya lagi, tidak sedikit di antara yang melakukannya justru adalah orang-orang yang berpendidikan tinggi, berjabatan penting, tokoh-tokoh, dan para elit lainnya.

Para pejabat korupsi di instansi pemerintahan. Staff atau karyawan menjilat agar naik pangkat di instansi perkantoran dan pendidikan. Kasus pornogragi para artis, dan banyak lagi kasus-kasus lainnya. Semua itu dilakukan demi mengiginkan kemewahan dan kenikmatan hidup. Ingin terihat sempurna dan mulia, padahal sesungguhnya yang demikian itu hanya akan merendahkan dan menjatuhkan martabat dirinya terutama sebagai seorang muslim. Tidak hanya hina di sisi Allah SWT, tetapi tercela juga dalam pandangan manusia.

Di sisi Allah SWT, pangkat, jabatan, pendidikan, harta, serta bentuk rupa, tidaklah menjadi standar ukuran kemuliaan seseorang. Iman dan taqwalah yang menjadi tolak ukurnya. “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat:13) Bahkan dalam hadisnya juga ditekankan oleh rasul SAW :

“Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk rupa dan harta kalian. Akan tetapi, Allah hanyalah melihat pada hati dan amalan kalian.” (HR. Muslim) Jadi, sebagai seorang muslim untuk apa mengejar sesuatu yang tidak membuat mulia di sisi Allah SWT. Apalagi dalam praktiknya sampai tidak memperdulikan syariat Islam.

Belajar dari sejarah masyarakat Arab sebelum diutusnya nabi Muhammad SAW untuk menyampaikan ajaran Islam. Masa itu disebut dengan masa jahiliyah. Para ulama menjelaskan bahwa penyebutan kata jahiliyah atau yang berarti kebodohan pada masa itu bukanlah menunjukkan bodoh atau lemahnya ilmu pengetahuan orang Arab pada masa tersebut.

Tetapi jahiliyah yang dimaksud lebih tepatnya adalah bobrok, hancur, serta rusaknya akhlak dan perilaku orang-orang pada masa itu. Masyarakat Arab kala itu terbiasa dengan perbuatan-perbuatan keji yang jauh dari nilai-nilai kebaikan. Senang dengan mabuk-mabukan, judi, membunuh anak-anak perempuan, gonta-ganti pasangan, perbudakan, dan banyak lagi perbuatan keji lainnya. Di mana orang hanya akan dihargai, dihormati, dan dimuliakan, bila berasal dari kasta bangsawan sementara orang rendahan dengan sendirinya terkucilkan dan terhinakan.

Kemudian baginda nabi Muhammad SAW datang membawa ajaran agama Islam. Secara bertahap, mulai dari keluarga terdekat, sahabat-sahabatnya, hingga akhirnya ajaran agama Islam menyebar ke seluruh penjuru negeri Arab bahkan mendunia seperti saat ini.

Demikian membuminya tradisi jahiliyah di masyarakat Arab kala itu, bisa dikikis oleh ajaran Islam. Salah satu ajaran penting dari agama yang dibawa baginda nabi yang mulia tersebut adalah ‘Iffah. Yakni setiap orang berusaha menjaga maupun menahan dirinya dari segala hal-hal buruk dalam pandangan Islam sebagaimana diutarakan pada pengertian di atas.

Perlahan tradisi jahiliyah itu pun mulai terkikis dari masyarakat Arab. Semua orang dipandang sama. Tidak melihat apakah orangnya berasal dari keluarga kaya atau biasa, keturunan bangsawan atau rendahan. Keimanan serta ketaqwaanlah yang mebedakannya di sisi Allah SWT.

Jika masyarakat Arab saja dengan kehidupan jahiliyahnya bisa berbenah dan pulih oleh ajaran Islam yang senantiasa mengamalkan ‘iffah, bagaimana dengan masa sekarang. Karenanya, sebagai seorang muslim sudah saatnya kembali ke ajaran islam yang kaffah. Menjaga serta menahan diri dari hal-hal yang tidak disukai oleh Allah SWT. Banyak cara yang bisa dilakukan agar tidak terjerumus pada glamor dan kenikmatan dunia sesaat yang dapat merendahkan dan menjatuhkan martabat seorang muslim, di antaranya:

Pertama: Bersyukur kepada Allah SWT. Bersyukur adalah salah satu trik mulia lagi terhormat yang dianjurkan oleh ajaran Islam untuk mendapatkan sesuatu yang lebih. Sebagaimana dijanjikan oleh Allah SWT dalam surat Ibrahim ayat 7: Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.” 

Tentunya syukur dengan niat yang ikhlas untuk mendapatkan keridhaan Allah SWT. Paling tidak, meski kita tidak mendapatkan sesuatu yang lebih sebagaimana yang diharapkan, dengan banyak bersyukur atas nikmat yang diberikan oleh Allah SWT tentunya hasrat untuk memiliki yang lebih dan lebih lagi itu akan senantiasa teratasi. Tahan dengan berbagai macam cobaan dan ujian yang dapat menggoyahkan keimanan.

Kedua: Menumbukan sifat qana’ah. Qana’ah berasal dari bahasa Arab dari akar kata qani’a-qanu’an-qana’atan yang berarti merasa cukup dan merasa puas dengan setiap yang telah dikaruniakan oleh Allah SWT, tunduk serta akur dengan karuniaNya. Dengan berusaha menumbuhkan sifat qana’ah, tentunya akan menjadikan diri terlindung dari melanggar syariat demi mendapatkan sesuatu yang lebih. Sebab, apa yang telah dianugerahkan oleh Allah SWT dirasa sudah cukup. Ambisi untuk mendapatkan sesuatu yang lebih, apalagi harus mengorbankan akidah dan keimanan untuk mendapatkannya dengan sendirinya pula akan tertahan.

Ketiga: Bertawakkal kepada Allah SWT. Tawakkal berarti menyerahkan sepenuhnya segala urusan kepada Allah SWT setelah berikhtiyar dan berusaha. Meyakini bahwa segala ketetapan dan ketentuan yang diberikan oleh Allah SWT adalah yang terbaik dalam kehidupan ini. Meski terkadang ketetapan itu tidak sesuai dengan keinginan, tetapi dengan tawakkal kepada Allah SWT maka akan muncul kesadaran bahwa sesungguhnya ketetapan dari Allah SWT itulah yang terbaik.

Dengan berusaha mengamalkan tiga sifat di atas, mudah-mudahan syahwat untuk sesuatu yang terlarang dalam Islam akan teredam. Harta, tahta, wanita, serta kehidupan glamor lainnya tidak lagi menjadi sesuatu yang menggiurkan. Terakhir, penulis mengajak diri sendiri dan pembaca semua untuk senantiasa menjaga dan menahan diri dari hal-hal yang tidak disukai oleh Allah SWT. Mari sama-sama meraih kemuliaan di sisi Allah SWT dengan berupaya mengamalkan ‘iffah.

(Guru Pesantren Modern Unggulan Terpadu Darul Mursyid Kab. Tapanuli Selatan)

  • Bagikan