Nikmat Dari Allah, Bersyukur, Berkurban

  • Bagikan
Nikmat Dari Allah, Bersyukur, Berkurban
Net

Oleh Zulkarnain Lubis

“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih” (QS. Ibrahim: 7)

Ada beberapa ayat Al Qur’an tentang perintah kurban, salah satunya tentu adalah seperti tercantum dalam surah Al Kautsar ayat 1-3 yang berbunyi, Sesungguhnya Kami telah memberimu (Nabi Muhammad) nikmat yang banyak. Maka, laksanakanlah salat karena Tuhanmu dan berkurbanlah! Sesungguhnya orang yang membencimu, dialah yang terputus (dari rahmat Allah).

Apabila kita cermati, ada beberapa kata kunci pada surah tersebut yang saling terkait khususnya dengan kurban. Kata kunci pertama adalah Al Kautsar yang di satu sisi dimaknai sebagai nama telaga, dimana air dari telaga tersebut berasal dari sungai Al Kautsar yang berada di Surga, sehingga telaga tersebut disebut dengan Telaga Al Kautsar. Telaga tersebut merupakan karunia dari Allah swt yang senantiasa memberikan kenikmatan kepada penghuni surga, sehingga makna Al Kautsar pada surah tersebut diartikan sebagai nikmat yang banyak yang telah diberikan kepada Muhammad (dan juga kepada) ummatnya.

Pada ayat 1 surat tersebut, Allah mengingatkan Rasulullah bahwa “Allah telah memberimu (Nabi Muhammad) nikmat yang banyak”. Sesuai sejarahnya, surah ini terkait dengan kesedihan Rasulullah atas musibah berpulangnya anak laki-laki beliau yaitu Qasim dan Ibrahim. Berpulangnya putra beliau membuat musuh-musuh beliau mengolok-olok Rasulullah dikatakan Abtar (terputus), karena tidak punya anak laki-laki dan dikatakan terputus keturunannya, karena budaya Arab, anak laki-laki yang menjadi penerus nama keluarganya. Ayat ini ditujukan juga sebagai sindiran kepara musuh Rasulullah bahwa yang terputus atau Abtar maksudnya adalah orang-orang yang membenci Rasulullah yang terputus dari rahmat Allah, sebagaimana pada ayat ke-3 yang berbunyi, “Sesungguhnya orang yang membencimu, dialah yang terputus (dari rahmat Allah)”.

Jadi Abtar yang merupakan kata kunci lain dalam surah ini, artinya adalah terputus dari rahmat Allah. Allah mengingatkan Rasulullah untuk tidak perlu bersedih, karena begitu banyaknya nikmat yang diberi Allah kepadanya seperti kenabian, Al Qur’an, syafaat Rasulullah, agama Islam, syariat Islam, mukjizat, adzuriah (keturanan), termasuk sebuah telaga di akhirat yang Allah berikan kepada Nabi Muhammad sebagaimana banyak hadist yang menjelaskannya dan banyak tafsir yang memaknainya demikian.

Ayat ini menjadi pedoman juga bagi kita ummatnya, bahwa kesedihan yang diterima dalam hidup ini sesungguhnya tidaklah seberapa dibanding dengan banyaknya kenikmatan yang diperoleh. Karena itu, makna yang kita bisa petik adalah agar kita tidak hanya melihat sisi negatif dari sesuatu baik dari seseorang, kejadian, atau benda yang kita temui atau miliki. Sering kali kita hanya melihat dan hanya peduli terhadap keburukan dari sesuatu tapi mengabaikan kebaikan atau sisi positifnya. Kita sangat gundah pada sedikit kerugian atau peristiwa tidak mengenakkan yang kita dapatkan, kita lupa betapa banyaknya keuntungan, kenikmatan, dan kebaikan yang kita peroleh. Oleh karena itu, berdasarkan surah Al Kautsar tersebut, sekali lagi, kita dimintakan untuk tidak terlalu memikirkan ketidakberuntungan yang sesungguhnya tidak seberapa dibanding nikmat dan karunia Allah yang sangat besar kepada kita.

Memang demikianlah yang sering terjadi, sering kali kita lupa dan tidak mau bersyukur atas kenikmatan yang kita peroleh dan terlalu larut dan menyesali cobaan yang kita rasakan, yang sesungguhnya sedikit dibanding kenikmatan yang didapatkan. Padahal semestinya, andaikan kita mengalami sedikit masalah, penderitaan, kerugian, dan kesusahan, jikapun kita merasa hidup ini sulit, pelik, dan berat, meskipun kita merasakan kecewaan akan nasib yang kita alami, namun kita harus menyadari bahwa sesungguhnya peristiwa buruk dan kesusahan yang dialami pastilah masih tidak sebanding dengan nikmat yang kita peroleh dari Allah dan untuk itulah kita tidak ada alasan untuk berputus asa dalam menjalani hidup ini.

Kita harus tetap bersyukur yaitu dengan semakin mendekatkan diri kepada Allah, semakin bergairah mengerjakan perintahNYA, semakin semangat untuk beramal ibadah kepadaNYA, dan semakin takut melanggar laranganNYA. Sebagai hamba, sesungguhnya memang kita diperintahkan untuk selalu bersyukur atas banyaknya nikmat yang Allah berikan, hal ini tercantum dalam surah Ibrahim ayat 7 yang berbunyi, “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.

Bentuk syukur kita kepada Allah atas banyaknya nikmat yang Allah berikan ada pada kata kunci lainnya pada surah Al Kautsar di atas, yaitu Fa salli dan (wa) anhar yang tercantum pada ayat kedua, yaitu “Maka, laksanakanlah salat karena Tuhanmu dan berkurbanlah!”. Fa salli artinya adalah “maka shalatlah”, anhar berasal dari kata nahara, yang berarti ‘memotong tenggorokan, menyembelih’ dan pada surah di atas dimaknai sebagai perintah untuk berkurban dengan melakukan penyembelihan hewan kurban.

Jadi, pada ayat ke 2 tersebut, cara bersyukur kita adalah dengan melakukan shalat dan berkurban, yang dimaknai juga bahwa dalam implementasi syukur tersebut harus mengandung aspek hablumminallah (dengan shalat) dan hablumminannas (berkurban). Kalau kita perhatikan, implementasi dari bersyukur itu memang mengandung aspek hablumminallah dan hablumminannas, baik hubungan dengan Allah maupun hubungan dengan manusia, seperti kerjakan shalat, puasa, zakat, sedekah, berinfak, dan lainnya baik bersyukur melalui hati, melalui lisan, maupun melalui perbuatan.

Jadi ibadah kurban yang kita lakukan dalam rangkaian Idul Adha adalah perwujudan syukur kita kepada Allah atas berbagai nikmat yang diberikan Allah kepada kita yang tidak terhitung dan tidak ternilai banyaknya. Perwujudan rasa syukur kepada Allah melalui kurban juga tentu saja selain mengandung aspek hablumminallah juga mengandung aspek hablumminannas yang menuntun kepedulian, belas kasih, dan kasih sayang kepada sesama saudara kita, yang mungkin tanpa kurban, masih susah untuk menikmati daging dalam kesehariannya.

Sebagaimana bunyi surat Ibrahim ayat 7 yang dibacakan di atas, dengan berbagai bentuk implementasi syukur yang kita lakukan, kita sangat yakin akan ditambah Allah nikmat tersebut, namun jika kita kufur nikmat dan mengingkarinya, maka ancamannya adalah siksa Allah yang sangat pedih. Ungkapan syukur atas segala kenikmatan yang diberikan oleh Allah erat sekali dengan semangat untuk berusaha mendekatkan diri kepada Allah, mengerjakan perintahNYA, dan meninggalkan laranganNYA yang semuanya berasal ketaatan, kepatuhan, kesalehan, keikhlasan, kesabaran, keteguhan hati, ketangguhan, kegigihan, ketegaran dan ketabahan yang kesemuanya tergambar dari tiga orang aktor utama dalam prosesi pelaksanaan kurban yang menjadi asbab perintah kurban yang kita jalani sampai sekarang.

Ketiganya adalah Nabi Ibrahim as beserta istrinya Siti Hajar dan anak mereka Nabi Ismail as. Bukhori meriwayatkan dari Said bin Jubair, bahwa Ibnu Abbas berkata, ketika Ibrahim melangkah pergi, Hajar menyusulnya seraya bertanya, “Wahai Ibrahim, kemana engkau akan pergi? Apakah engkau akan meninggalkan kami di lembah yang tidak ada seorang manusia pun dan tidak ada sesuatu pun?” Hajar terus menerus menanyakan hal itu, dan Ibrahim tidak menoleh kepadanya. Maka Hajar bertanya kembali, “Apakah Allah yg menyuruhnya melakukan ini?” Ibrahim menjawab,”Ya”, Hajar pun berucap, “Kalau memang demikian, Dia tidak akan mengabaikan kami.” Selanjutnya Hajar kembali.

Dalam riwayat lain, Ibrahim berkata kepada Hajar: “Bertawakal-lah kepada Allah yg telah menentukan kehendakNya, percayalah kepada kekuasaanNya dan rahmatNya. Dialah yg memerintahkan aku membawa kamu ke sini dan Dialah yg akan melindungimu dan menyertaimu di tempat yang sunyi ini. Sesungguhnya kalau bukan perintah dan wahyuNya, tidak sesekali aku tega meninggalkan kamu di sini seorang diri bersama puteraku yg sangat kucintai ini. Percayalah wahai Hajar, bahwa Allah Yang Maha Kuasa tidak akan menelantarkan kamu berdua tanpa perlindunganNya. Rahmat dan barakahNya akan tetap turun di atas kamu untuk selamanya, insya Allah.”

Sementara itu, dari dialog antara Nabi Ibrahim dan anaknya Ismail, tergambar suasana hati ketaatan seorang ayah dan keikhlasan sang anak, keduanya sama-sama patuh atas perintah Allah. Ibrahim mendatangi Ismail dan berkata, “Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu.” Ismail yang masih belia menjawab dengan penuh kesalehan dan keikhlasan. “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” Selanjutnya, keduanyapun bersepakat untuk sama-sama berkurban karena Allah, Ibrahim mengurbankan anak tercintanya dan Ismail mengurbankan hidupnya. Siti Hajar pun dengan ikhlas dan ridho saat anak yang sangat ia cintai harus “dikorbankan” (disembelih) atas perintah Allah swt. Ia yakin bahwa Allah swt akan memberikan yang terbaik bagi hambaNYA.

Saat penyembelihan akan dilakukan, Ismailpun mempasrahkan diri dan mengambil posisi telentang untuk disembelih, dan pedang Ibrahimpun diayunkan tepat ke arah leher sang putra tercinta, namun saat pedang itu hampir tiba di leher Ismail, Allah berkehendak lain, Ismail diangkat serta digantikan Allah dengan seekor kibas, tetapi tentu saja pengorbanan Ibrahim dan Ismail telah diterima oleh Allah swt.

Tentu saja kita bukanlah Ibrahim dan tak dapat kita memiliki keikhlasan dan ketaatan seperti beliau, kita juga bukanlah Siti Hajar karena kita juga tak memiliki kesabaran dan ketabahan sepertinya, kita juga bukan Ismail sehingga tak sanggup kita memiliki kesalehan dan keteguhan hati seperti dirinya, tapi keteladanan yang mereka tunjukkan mestinya bisa menginspirasi kita untuk bisa menjadi lebih ikhlas, lebih taat, lebih sabar, lebih tabah, lebih shaleh, dan lebih memiliki keteguhan hati untuk terus berada di jalan Allah, untuk senantiasa bersyukur, dan untuk hidup hanya ingin mencari ridhoNYA, untuk terus berusaha mendekatkan diri kepadaNYA, untuk terus berusaha mengerjakan perintahNYA, dan berusaha meninggalkan segala laranganNYA.

Ketua Program Doktor UMA dan Rektor IB IT&B.

  • Bagikan