Pencatatan Perkawinan

Oleh Tgk. Helmi Abu Bakar el-Langkawi

  • Bagikan
<strong>Pencatatan Perkawinan</strong>

Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar (QS. Al-Baqarah: 282)

Islam sangat menganjurkan umatnya untuk melakukan perkawinan. Terkait dengan problema ini, permasalahan pencatatan perkawinan adalah masalah klasik yang sudah banyak dibahas, namun kesepakatan bahwa pencatatan perkawinan adalah fikih masih belum menemukan titik temu. Maraknya pengajuan dispensasi perkawinan di Pengadilan Agama membuat dilema aturan pembatasan umur dalam perperkawinanan. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan KHI menetapkan kriteria umur yaitu, 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki.

Apakah dasar syar’inya pembuat undang-undang mengharuskan pencacatan sebuah perkawinan, padahal pada masa Rasulullah SAW maupun sahabat belum dikenal adanya pencatatan perkawinan? Menurut para pakar hukum Islam, sekurang-kurangnya ada dua alasan hukum yang dijadikan pijakan perintah pendaftaran/pencatatan perkawinan.

Pertama, berdasarkan qiyas dan kedua atas dasar maslahah mursalah. Keharusan mencatatkan perkawinan dan pembuatan akte perkawinan, dalam hukum Islam diqiyaskan kepada pencatatan dalam persoalan mudayanah yang dalam situasi tertentu diperintahkan untuk mencatatnya. Seperti disebutkan dalam firman Allah surat al-Baqarah ayat 282 mengenai jual beli yang dlakukan secara tidak tunai, maka dianjurkan untuk dicatat (ditulis).

Apabila akad hutang piutang atau hubungan kerja yang lain harus dicatatkan, mestinya akad perkawinan yang begitu luhur, agung, dan sakral lebih utama lagi untuk dicatatkan. Dalam fatwa syekh al-Azhar yang waktu itu di jabat oleh Syaikh Jaad al-Haq „Ali Jaad al Haq, beliau menjelaskan apa yang dimaksud dengan azzawaj al-‘urfy, adalah sebuah perkawinan yang tidak tercatat sebagaimana mestinya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Syaikh Ali Jaad al-Haq membagi ketentuan yang mengatur perkawinan kepada dua kategori: Peraturan syara’, yaitu peraturan yang menentukan sah atau tidak sahnya sebuah perkawinan. Peraturan ini ialah peraturan yang ditetapkan oleh syari‟at Islam yang telah dirumuskan oleh pakarnya dalam buku-buku fiqh. Ulama besar ini, ketentuan-ketentuan tersebut dianggap sebagai unsur-unsur pembentuk bagi aqad perkawinan (Said Agil, 2004: 33-34).

kemudian, peraturan yang bersifat tawsiqy, yaitu peraturan tambahan yang bermaksud agar dari adanya upaya-upaya negatif dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Misalnya, agar perkawinan di kalangan umat Islam tidak liar, tetapi tercatat dangan memakai surat akta perkawinan secara resmi yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang. Secara administratif, ada peraturan yang mengharuskan suatu perkawinan dicatat menurut paraturan.

Kegunaannya agar sebuah lembaga perkawinan yang mempunyai tempat yang sangat penting dan strategis dalam masyarakat Islam, bisa dilindungi atau diantisipasi dari adanya pengingkaran aqad perkawinan oleh seorang suami dikemudian hari, yang meskipun pada dasarnya dapat dilindungi dengan adanya para saksi akan tetapi sudah akan dapat dilindungi dengan adanya pencatatan resmi di lembaga yang berwenang itu (Said Agil, 2004: 33-34).

Manhaj yang digunakan dalam pengambilan hukum pencatatan nikah ini adalah qiyas. Qiyas menurut bahasa berarti “mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain untuk diketahui adanya persamaan antara keduanya”. Menurut istilah ushul fiqh qiyas adalah: “Menghubungkan (menyamakan hukum) sesuatu yang tidak ada ketentuan hukumnya dengan sesuatu yang ada ketentuan hukumnya karena ada persamaan illat antara keduanya”.

Abdul Halim menempatkan pencatatan perkawinan sebagai syarat sah dapat dilakukan dengan penerapan ijtihad insya’ (ijtihad bentuk baru) dengan menggunakan kaidah: “Menolak bahaya didahulukan atas mendatangkan kebaikan”.

Pencatatan perkawinan merupakan peraturan yang yang bersifat tawsiqy, yaitu peraturan tambahan yang bermaksud agar sebuah perkawinan mendapat bukti otentik (resmi). Pecatatan perkawinan merupakan syarat sahnya perkawinan menurut hukum negara, namun bila dilihat kepada hukum syara’ (Islam) tidak disebutkan kewajiban mencatat sebuah perkawinan.

Tetapi mengingat perkawinan merupakan hal yang sakral berlaku seumur hidup, dan untuk mendapat jaminan hukum dikemudian hari, maka perlu dicatat agar hukum Islam tetap sejalan dengan maqasidussyar’inya, yaitu kemaslahatan, sehingga tidak ada dikhotomi antara hukum syara’ dan hukum negara. Wallahu Muwaffiq Ila Aqwamith Thariq.

(Guru Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga dan Dosen IAI Al-Aziziyah Samalanga serta Kandidat Doktor UIN Ar-Raniry Banda Aceh dan Ketua Ansor Pijay)

  • Bagikan