Puasa Dan Kepemimpinan Profetik

  • Bagikan
Puasa Dan Kepemimpinan Profetik

Oleh Farid Wajdi

“Islam dibangun di atas lima perkara, yaitu syahadat, menegakkan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan haji” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Samson Fajar (2023) mengatakan syahadat bermakna sebagai proses pembentukan keyakinan diri (believe building). Shalat berfungsi sebagai pembentukan karakter (character building). Zakat membangun karakter dalam pembentukan ekonomi diri (economic building). Ibadah puasa bertujuan untuk pembentukan jiwa kepemimpinan (leadership building). Fungsi haji sebagai sarana pembentukan jiwa totalitas (totally building).

Ibadah puasa sebagai syariat yang membentuk jiwa kepemimpinan, karena dalam puasa berpusat pada daya tahan diri (self endurance). Karena pemimpin adalah orang yang memiliki daya tahan terhadap dirinya demi kepentingan warganya. Karena itu daya tahan diri (endurance) adalah sifat kepemimpinan seseorang, dan seseorang dianggap layak memimpin ketika dirinya telah mampu menahan dirinya dan telah beres/selesai dengan urusan pribadinya.

Pemimpin tak hanya hanya sebagai manusia yang berpuasa, tetapi ia juga mampu menjadi seorang pemimpin yang mampu menahan keinginan duniawinya, menegakkan keadilan, dan melaksanakan mandat publik. Jika seorang pemimpin tidak punya kemampuan untuk menahan diri, yang muncul adalah aura otoriter, serakah, karakter korup dan penuh warna mencari popularitas/citra belaka.

Ibadah puasa mengajarkan nilai kepemimpinan profetik. Muhammad Kosim (2020) memakni kepemimpinan profetik (prophetic leadership) sebagai model kepemimpinan yang menerapkan karakter kepemimpinan para nabi, terutama Nabi Muhammad SAW. Sabdanya: “Di hari kiamat nanti, aku adalah pemimpin umat manusia seluruhnya…” (HR Bukhari Muslim).

Betapa tidak, ketika seseorang yang berpuasa harus menahan kebutuhan pribadinya demi menjalankan perintah-Nya. Bahkan walau kebutuhan itu halal, boleh dan ia miliki. Orang berpuasa senantiasa harus menahan dari segala keburukan dan kesenangan pribadinya, demi mendapatkan kesempurnaan ibadahnya.

Secara konkret Sidiki (2017) mencontohkan pantulan ibadah puasa dan kepemimpinan profetik ini melalui pribadi Nabi Dzulkifli As, pribadi Nabi Daud As, pribadi Nabi Muhammad SAW dan juga para sahabat yang utama. Nabi Dzulkifli as diangkat sebagai Raja dan Nabi sekaligus dengan syarat wajib berpuasa setiap harinya dan qiyamullail setiap malamnya. Dzulkifli artinya yang sanggup memikul syarat-syarat kepemimpinan.

Nabi Daud As yang gagah perkasa dan adil bijaksana, terkenal dengan puasanya sehari berselang, yaitu sehari berpuasa dan sehari berbuka, demikian terus menerus hingga akhir hayatnya. Nabi Muhammad SAW juga terkenal dengan ibadah puasanya, sampai-sampai beliau mengikat tali ke perutnya di luar Ramadan. Bukan karena tidak ada makanan sama sekali, melainkan sebagai pendidikan bagi publik, khususnya lagi bagi para pemimpinnya.
Teladan nabi ini diikuti oleh para sahabat, khususnya khulafaur-rasyidin seperti Abubakar, Umar, Utsman, Ali dan Umar bin Abdul Aziz. Mereka menjadikan puasa sebagai atribut dan perisai kepemimpinan, sehingga rakyatnya hidup makmur dalam bingkai kesejahteraan dan keadilan.

Pemimpin yang tidak terbiasa berpuasa, tidak akan mampu mengendalikan jiwa dan perilakunya. Tidak dapat bertahan dalam kehidupan yang sulit. Tidak dapat tegas menentukan keputusan, karena jiwa dan pikirannya masih digantungkan banyak kepentingan. Tidak mampu melihat jernih persoalan, karena hatinya diliputi oleh rasa iri, dengki, ujub, sombong, dan lain sebagainya.

Bagi Agus Yulianto (2017) Umar bin Khattab adalah sosok pemimpin yang sangat peduli terhadap rakyatnya. Zaid ibn Aslam meriwayatkan ayahnya berkata, “Aku bepergian bersama Umar ke pasar. Ketika itu seorang perempuan muda mendatanginya dan berkata, Wahai Amirul Mukminin, suamiku meninggal dunia dan meninggalkan seorang bayi perempuan yang demi Allah akan tumbuh besar tanpa tanah, kebun, dan makanan. Aku khawatir tentangnya. Aku adalah anak perempuan Khaffah ibn Ima’ Al-Ghifari. Ayahku ikut serta dalam perang Hudaibiyyah bersama Rasulullah.”

Kemudian Umar berhenti dan berkata, “Selamat datang keluargaku.” Lalu, Umar mengambil dua kantong yang dipenuhinya dengan bahan makanan pada seekor unta. Umar letakkan juga pakaian dan uang di antara kedua kantong itu dan menyerahkan tali kekangnya kepada perempuan tersebut seraya berkata, “Bawa ini semua, Insya Allah akan mendatangkan kebaikan bagi dirimu.
Kemudian ada seorang laki-laki melihatnya dan memprotes apa yang dilakukan Umar. Ia mengatakan pada Umar bahwa pemberiannya kepada perempuan tersebut terlalu besar. Mendengar perkataan laki-laki tersebut Umar berkata, “Merataplah ibumu. Demi Allah yang kulihat adalah ayah dan saudara laki-lakinya. Mereka mengepung benteng selama beberapa waktu, sehingga benteng tersebut dapat ditaklukan. Sepertinya yang kita lakukan hanya memberikan rampasan perang kedua orang tersebut kepadanya.”

Kepedulian Umar terhadap warganya tak hanya itu saja. Seperti riwayat dari Auza’i, Umar ibn Al-Khattab keluar rumah pada tengah malam. Hal tersebut dilihat oleh Thalhah. Umar masuk ke sebuah rumah, lalu ke rumah lainnya. Ketika pagi menjelang, Thalhah mendatangi salah satu rumah itu dan mendapati pemiliknya adalah seorang perempuan tua buta dan lumpuh. “Apa urusan laki-laki tadi malam datang ke rumahmu?” tanya Thalhah.

Perempuan tersebut mengatakan pada Thalhah, laki-laki itu rutin mengunjunginya sejak lama. Di memberikan sesuatu yang dapat meringankan penderitaannya dan membersihkan kotorannya. Mendengar perkataan sang nenek Thalhah berkata pada dirinya sendiri, “Celakalah engkau Thalhah, Umar tidak dapat ditiru.”

Kisah lain juga diriwayatkan oleh Ibnu Umar yang bercerita suatu ketika serombongan pedagang datang. Umar berkata kepada Abdurrahman ibn Auf, “Apakah engkau bersedia menjaga mereka dari pencurian bersama denganku?” Abdurrahman menyanggupinya lalu mereka berdua berjaga-jaga. Tiba-tiba Umar mendengar tangisan bayi. Umar menghampiri sumber suara tersebut dan berkata kepada ibu sang bayi, “Bertakwalah kepada Allah dan berbuat baiklah kepada bayimu.”

Lalu Umar kembali ke tempatnya. Namun, si bayi kembali menangis dan Umar kembali menghampiri sang ibu sambil mengucapkan kalimat yang sama. Ketika mendengar tangisan bayi itu lagi pada akhir malam, dia berkata kepada sang ibu, “Aku melihat dirimu adalah seorang ibu yang buruk. Aku tidak melihat anakmu tenang semalaman.”

“Wahai hamba Allah (mengindikasikan ketidaktahuannya tentang Umar). Hal tersebut juga membuatku khawatir. Aku ingin menyapihnya, tetapi sepertinya dia menolak untuk disapih,” jawab sang ibu. “Lalu mengapa engkau teruskan?” tanya Umar. Sang ibu menjawab, “Karena Umar tidak akan memberikan bantuan, kecuali bagi anak yang sudah disapih.”

“Berapa umurnya?” tanya Umar. “Sekian bulan,” jawab sang ibu. “Janganlah engkau terburu-buru menyapihnya,” kata Umar. Kemudian dia shalat dan para jamaah tidak dapat mendengar jelas bacaannya karena suara tangisan bayi itu begitu hebat. Setelah mengucapkan salam dia berkata, “Betapa buruknya Umar. Berapa banyak anak muslim yang meninggal dunia!”
Lalu dia memerintahkan agar bayi-bayi tidak terburu-buru disapih karena akan diberikan bantuan kepada semua bayi yang lahir dalam keadaan Islam.

Permintaannya itu ditulis dan disebarkan ke penjuru negeri, setiap bayi akan mendapatkan bantuan.

Diriwayatkan dari Zaid Ibn Aslam dari ayahnya yang bercerita, “Umar biasa berpuasa pada siang hari, ketika masa kelaparan. Ketika menjelang sore orang-orang akan makan roti yang dihancurkan ke dalam minyak. Sampai pada suatu hari mereka menyembelih Unta untuk dibagi-bagikan kepada orang banyak dan menyisihkan bagian yang terbaik untuk Umar. Kemudian, bagian punuk dan hati Unta sembelihan tersebut diberikan kepada Umar.
“Apa ini?” tanya Umar saat menerimanya. “Wahai Amirul Mukminin, ini bagianmu dari Unta yang disembelih hari ini,” jawab mereka. Seketika Umar berkata, “Betapa buruknya aku sebagai pemimpin jika memakan bagian yang baik dari sembelihan itu dan memberi rakyatku tulang belulangnya. Angkat makanan ini dan berikanku makanan yang lain.”

Lalu mereka memberikan roti dan minyak samin kepadanya, Umar menghancurkan sendiri roti tersebut untuk dicampurkan ke minyak samin, tetapi dia berkata, “Celaka, wahai Yarfa’. Angkat mangkuk ini dan berikan kepada penduduk Tsamagh, karena aku belum memberikan apa pun kepada mereka sejak tiga hari yang lalu dan mereka pasti tidak memiliki persediaan makanan.” Makanan tersebut lantas diberikan kepada penduduk Tsamagh.

Keistimewaan Umar tidak terhitung sebagaimana cerita tentang dirinya yang tiada habisnya. Ia terkenal dengan keberanian, kecerdasan, dan kekerasan sifatnya, sebuah hal yang patut untuk dijadikan teladan bagi siapa pun. Kisah Umar bin Khattab menunjukkan kemampuan mengemban amanah kepemimpinannya secara jujur, rela membelakangkan kepentingan keluarganya dan lebih memilih mendahulukan kepentingan orang lain. Umar bin Khattab mampu dengan bijak memantulkan kepemimpinan dengan sifat kenabian.

Kata Nawawi (2023) puasa Ramadan sepatutnya memantulkan sikap kepemimpinan profetik ini. Sebab pada hakikatnya puasa ramadan menghendaki setiap orang menjadi pribadi dengan jiwa kepemimpinan yang membawa kemaslahatan, membahagiakan publik dan rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil ‘alamin).

Founder Ethics of Care, Anggota KY 2015-2020, Dosen UMSU.

  • Bagikan