Puasa & Pemimpin

  • Bagikan
Puasa & Pemimpin
Tangkapan layar

Oleh Tgk. Zarkasyi Yusuf

“Tidaklah seorang penguasa diserahi urusan kaum muslim, kemudian ia mati, sedangkan ia menelantarkan urusan tersebut, kecuali Allah mengharamkan surga untuknya” (HR. Bukhari dan Muslim)

Syekh Ali Ahmad al-Jurjawi (1905-1956) dalam hikmatut tasyri’ wa falsafatuh menyebutkan bahwa semua hukum syariat yang diturunkan Allah memiliki empat tujuan utama. Pertama, Mengenal Allah, meng-esakan-Nya, mengagungkan dan menyifati Allah dengan sifat sifat kesempurnaan, sifat sifat yang wajib, mustahil dan jaiz.

Kedua, mengatur tata cara ibadah dan penghambaan sebagai pernyataan pengagungan dan rasa syukur atas segala nikmat-Nya yang tiada terhingga. Ketiga, menyuruh melakukan amar dan nahi mungkar, menghiasi diri dengan akhlak mulia, dan sifat sifat yang dapat mengangkat kita ke tingkat kemuliaan, seperti menolong orang-orang yang membutuhkan bantuan, memuliakan tetangga, menjaga amanah, sabar dan sifat sifat terpuji lainnya. Keempat, Mendatangkan hukum dan sangsi terkait mu’amalah, untuk menghentikan berbagai pelanggaran dan penyelewengan, sehingga tercipta rasa aman di tengah masyarakat.

Terkait ibadah puasa, Syekh Ali Ahmad al-Jurjawi menyebutkan hikmah diwajibkan puasa diantaranya, puasa sebagai pernyataan rasa syukur kepada Allah. Puasa mengajarkan tentang menunaikan amanah, sehingga orang yang berpuasa tidak akan makan dan minum meskipun tidak seorang pun melihatnya, karena ia yakin Allah selalu mengawasinya. Puasa untuk menjauhkan diri dari sifat binatang yang hanya memikirkan makan, minum dan syahwat saja, puasa menyehatkan badan dan pikiran, puasa mengajarkan betapa pahitnya menahan lapar, sehingga menumbuhkan sifat kepedulian kepada fakir miskin dan mendorong lahirnya sifat peduli dan berbagi.

Abraham Lincoln (1809-1865) memberikan makna demokrasi “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Rakyat adalah pemegang kedaulatan atau kekuasaan tertinggi dalam negara demokrasi. Rakyat adalah komunitas penting dan menentukan dalam kehidupan bernegara, jika rakyatnya baik maka akan lahir Ulil Amri ( pemimpin) yang baik pula. Konsep ini dipahami dari kata bijak dalam bahasa Arab “kama taqumu yuwalla ‘alaikum”.

Penguasa adalah orang yang berkuasa (untuk menyelenggarakan sesuatu, memerintah, dan sebagainya (kkbi.web.id). Penguasa dalam konteks Islam juga dikenal dengan sebutan Ulil Amri (pemimpin). Jika dipertautkan dengan demokrasi, maka penguasa dipahami sebagai orang yang diberikan kuasa untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengurus kepentingan orang-orang yang telah memberikan kuasa. Jika merujuk pada makna ini, maka penguasa itu adalah amanah yang harus dijaga karena telah dititipkan oleh yang memberikan kuasa.

Penguasa tidak amanah dikecam oleh Allah melalui sabda Rasulullah SAW: “Tidaklah seorang penguasa diserahi urusan kaum muslim, kemudian ia mati, sedangkan ia menelantarkan urusan tersebut, kecuali Allah mengharamkan surga untuknya” (HR. Bukhari dan Muslim). Fudhail bin Iyad berpendapat bahwa hadis ini merupakan ancaman bagi siapa saja yang ditakdirkan Allah mengelola urusan kaum muslim (publik) baik urusan dunia maupun akhirat, kemudian ia berkhianat maka ia terperosok dalam dosa besar dan akan dijauhkan dari Surga.

Dikisahkan dari Abu Hurairah r.a, tatkala Rasulullah berada dalam suatu majelis dan sedang berbicara dengan sahabat, datanglah orang Arab Badui dan berkata, “Kapan terjadi Kiamat?” Rasulullah SAW terus melanjutkan pembicaraannya, sebagian sahabat berkata, “Rasulullah SAW mendengar apa yang ditanyakan, tetapi tidak menyukai apa yang ditanyakannya. Berkata sebagian yang lain, “Rasulullah SAW tidak mendengar.” Setelah Rasulullah SAW menyelesaikan perkataannya, beliau bertanya, “Mana yang bertanya tentang Kiamat?” Berkata orang Badui itu, “Saya wahai Rasulullah SAW,“ Rasulullah SAW berkata, “Jika amanah disia-siakan, maka tunggulah Kiamat”. Bertanya (orang badui) “Bagaimana menyia-nyiakannya?” Rasulullah SAW menjawab, “Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah Kiamat” (HR Bukhari).

Andai saja penguasa mengemban amanah kuasa dengan taqwa, dapat dipastikan segala program dan usaha mewujudkan masyarakat berkualitas pasti mudah terwujud. Fudhail bin ‘Iyad pernah ditanya, “wahai syekh, jika engkau punya satu doa yang langsung diterima oleh Allah, kira kira apa permintaanmu?”, beliau menjawab “Aku akan meminta pemimpin yang adil, akan banyak kebaikan dengan sebab pemimpin adil”. Penguasa amanah tidak akan pernah mementingkan kepentingan diri, kelompok dan orang orang tertentu yang berpihak kepadanya. Penguasa amanah pasti membawa berkah.

Semoga puasa Ramadhan yang merupakan salah satu kewajiban seorang muslim mampu menjadi laboratorium perbaikan bagi penguasa dan rakyat, harapannya akan terwujud kesalehan dua komunitas ini, saling mendukung dan menguatkan menuju negeri aman, sejahtera dan selalu dalam ridha Allah, baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur. Do it or never!. Wallahu Muwaffiq Ila aqwamith Thariq.

ASN Kanwil Kementerian Agama Provinsi Aceh, Alumni IAI Al-Aziziyah Samalanga dan Mahasiswa Pascasarjana IKHAC Mojokerto, Jawa Timur

  • Bagikan