Shalat Mi’raj Menuju Allah SWT

Oleh Prof Muzakkir - Guru Besar Fakultas Ushuluddin Dan Studi Islam UIN SU

  • Bagikan
<strong>Shalat <em>Mi’raj </em>Menuju Allah SWT</strong>

“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna” (QS. Al-Ma’un : 4-7)

Ada sebuah hadis yang menceritakan dialog sahabat dengan Nabi SAW yang menarik tentang perbuatan yang dapat mendatangkan cintanya Allah SWT kepada hamba-NYA, Artinya: Riwayat dari Abdullah bin Mas’ud menuturkan, “Aku bertanya kepada Nabi saw. “Perbuatan apa yang paling dicintai Allah?” Rasul menjawab, Shalat tepat pada waktunya.” “Kemudian apa?” tanyaku lagi. Beliau menjawab, Berbakti kepada orang tua.” “Apa lagi?” sambungku.

Beliau menjawab, Jihad fi sabilillah.” (HR. al-Bukhari). Berdasarkan hadis tersebut salah satu dari tiga perbuatan yang dicintai Allah SWT adalah  As-Shalaatu ‘Ala Waqtiha, yaitu shalat tepat pada waktunya. Menjadikan shalat sebagai nafas dalam kehidupan yang teratur, tertib dan disiplin, sebagai kebutuhan yang mutlaq lahir dan batin, sebagai cahaya yang menerangi kehidupan, Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa menjaga shalatnya, maka shalat itu menjadi cahaya, bukti dan keselamatan baginya pada hari Kiamat” (HR.Ahmad).

Apalagi shalat dilakukan berjamaah di masjid, pasti akan menjadi energi spiritual yang luarbiasa, menjadi energi kekuatan ummat bahkan pemersatu bangsa dan ummat Islam dunia, sehingga terhindar dari segala perbuatan keji dan mungkar. Sudah saatnya kita secara pribadi, keluarga, masyarakat, seluruh instansi pemerintah dan swasta serta lembaga-lembaga pendidikan membangun peradaban ummat dengan gerakan memakmurkan masjid shalat berjamaah di awal waktu, sehingga menjadi kebahagiaan jiwa dan sumber ketenangan. Nabi SAW bersabda, “Penyejuk mataku (penenang hatiku) ada dalam shalat”(HR.Ahmad). Disadari bahwa ada dua waktu yang pasti sedang kita tunggu, kita selalu menunggu waktu shalat, dan saatnya kita menunggu waktu dishalatkan. Hakikat shalat adalah miraj perjalanan menuju Allah SWT dan bertawajuh mengahadap Allah SWT, ketika shalat bukan sekedar gerakan jasmani saja, tetapi mengikutsertakan nafsani (jiwa) dan ruhani (ruh), artinya jiwanya pun ikut shalat sehingga merasakan getaran qalbu yang menghidupkan rasa, rasa rindunya kepada Allah SWT, rasa takut dan rasa malunya berbuat kebatilan. Umat Nabi SAW adalah umat yang selalu menjaga shalatnya, ruku’ dan sujud mencari karunia Allah SWT dan mengharapkan ridha-NYA.

Shalat bagaikan nafas dalam jiwa mereka, menjadi kebutuhan hidup, kerinduan dan kebahagiaan bagaikan multivitamin yang menyehatkan jiwa dan raga, menjadi daya tahan dan daya juang dalam menghadapi segala persoalan hidup, pencegah perbuatan keji dan mungkar. Nabi Ibrahim AS pernah berdoa, “Ya Tuhanku, Jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, Ya Tuhan Kami, perkenankanlah doaku” (QS. Ibrahim: 40).

Kita berada pada zona hidup yang nyaman jika diri kita, suami, isteri dan anak-anak keturunan kita sudah istiqamah mendirikan shalat secara baik dan benar, tetapi menjadi sebuah ancaman, kita berada di zona yang tidak nyaman jika kita dan keturunan kita belum mendirikan shalat. Bahkan Nabi SAW sepanjang hidupnya selalu bangun di tepian malam untuk shalat tahajjud, bermanja-manja dengan Allah  SWT merasakan kesyahduan malam, disaat banyak mata yang terpejam ditengah buaian malam, Rasulullah SAW melakukan shalat (malam) hingga kedua telapak kakinya merekah” (HR.an-Nasaa-i), identitas umat Nabi SAW disebut dalam Alquran, Siimahum fii wujuuhihim min atsaris sujud (QS.Al-fath : 29), tanda-tanda mereka terlihat pada wajah mereka dari bekas sujud, maknanya pada air muka mereka kelihatan cahaya keimanan dan kesucian hati mereka.  

Cahaya iman itu seperti pelita yang menerangi kehidupan, sehingga mampu membedakan yang hak dan batil, yang benar dan salah dan mampu mencegah diri dari perbuatan keji dan mungkar, sehingga mewujudkan tatanan pribadi dan masyarakat yang berpradaban, masyarakat yang berakhlak mulia. Orang mukmin yang paling sempurna imannya, ialah mereka yang terbaik akhlaknya” (HR.Ahmad).

Di dalam al-Qur`an, dijelaskan ada dua fungsi sentral shalat. Pertama, sebagai media mengingat Allah SWT atau lebih jauh dari itu sebagai media untuk berkomunikasi dengan Allah SWT, sebagaimana firman Allah yang terdapat di dalam surah Thaha (20):14, dirikanalah shalat untuk mengingatku”. Kedua, shalat befungsi untuk mencegah manusia dari melakukan perbuatan keji dan munkar. Maknanya, orang yang benar-benar menegakkan shalat, akan terhindar dari perbuatan keji dan munkar,  hal ini terlihat di dalam surah al-Ankabut (29) :45, “sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar.”

Shalat dapat menjadi sarana komunikasi yang efektif dan mampu mencegah dari perbuatan keji dan munkar jika dilakukan dengan penghayatan yang mendalam dan menyadari arti dari simbol-simbol shalat tersebut. Sebagai contoh penghayatan tersebut adalah seperti apa yang digambarkan al-Ghazali ketika menggambarkan makna takbirat al-ihram. Menurutnya, “Jika lidahmu telah mengucapkan takbirat al-Ihram (Allahu Akbar-Allah Maha Besar) sepatutnya ucapan tersebut benar-benar tidak didustakan hatimu. Jika di dalam hatimu masih ada sesuatu yang lebih besar dan lebih agung dari Allah SWT, maka Allah pasti menyaksikan bahwa anda telah berdusta, walaupun pada lahirnya, ucapan itu mengandung kebenaran”. 

Shalat bukanlah semata-mata gerak lahiriyah, melainkan sebuah perpaduan dengan gerak batiniyah secara bersamaan. Bahkan yang lebih penting dari itu penghayatan internal (batiniyah) pada gilirannya memberikan kesadaran baru bagi setiap hamba untuk mengaktualisasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana yang telah dijelaskan, makna takbirat al-ihram akan melahirkan sikap rendah hati, menyingkirkan segala bentuk kesombongan dan takabbur. Lebih dari itu, ia akan menjadi orang yang terbuka terhadap pemikiran-pemikiran baru dan tidak akan memutlakkan sebuah pendapat apa lagi pendapat pribadinya.

Demikian juga dengan makna salam yang bermakna kedamaian dan kesejahteraan. Orang yang shalat seharusnya akan lahir dari pribadinya sikap-sikap yang selalu berorientasi menciptakan kedamaian dan keselamatan bagi semua orang. Selanjutnya, setiap hamba harus menyadari bahwa ketika shalat dia secara pribadi dengan kebebasan yang ada padanya sedang melakukan dialog dan komunikasi dengan Allah SWT. Pelaku shalat harus sadar sesadarnya bahwa ia sedang diperhatikan Allah SWT. Dengan kebebasan itu semestinya setiap hamba juga bebas menyampaikan apapun yang ia rasakan kepada Allah.

Ia bebas untuk berbicara, memohon dan mengadukan segala perihalnya. Ia harus yakin bahwa Allah SWT akan mendengarkan do`a dan keluhannya. Akhirnya, dengan shalat yang sepeti ini, orang yang shalat akan benar-benar mendapatkan manfaat dari shalat tersebut. shalat dalam Islam merupakan kendaraan untuk menapakai jalan spiritual. shalat sebagaimana Mi`rajnya Rasulullah SAW memiliki kekuatan spiritual-religius dalam rangka melakukan taqarrub kepada Allah SWT. Disamping itu shalat juga memiliki misi transformasi sosial yang merupakan komitmen setiap muslim untuk melakukan kerja sosial setelah melaksanakan shalat. Kekuatan shalat yang memiliki fungsi spiritual-relegius dan misi transformasi  sosial dapat dilihat simbolisasi takbiratul ihram dan salam.

Takbiratul Ihram yang bermakna takbir yang mengharamkan merupakan isyarat setiap pelaku shalat yang telah melaksanakan takbir harus mampu memutuskan kesadaran material keduniaan karena ia sedang menapaki perjalanan spiritual (taraqqi)  menuju Allah. Setelah selesai menapaki perjalanan spritual tersebut atau dengan kata lain setelah ia merasakan kenikmatan berjumpa dengan Allah SWT dan memperoleh kekuatan psikologis keimanan, maka ia harus turun lagi kembali ke Bumi untuk melakukan transformasi sosial dan ini dalam shalat dilambangkan dengan salam (assalamu`alaikum Wa Rahmatullahi Wa Barakatuh).

Sebenarnya gerakan salam merupakan simbolisasi dari komitemen sosial muslim dalam shalatnya. Semestinyalah orang-orang yang shalat harus menjadikan shalatnya sebagai energi  keimanan untuk melahirkan tatanan sosial yang adil, damai , sejahtera (salam dan salamah) dan beradab  melalui kerja-kerja sosial yang akan dirumuskan dalam kehidupan masyarakat, “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna” (QS. Al-Ma’un : 4-7). Inilah yang dimaksud dengan Tasawwuf Sosial dalam shalat yang ditandai dengan kepedulian terhadap realitas dan komitmen untuk melakukan transformasi menuju masyarakat yang salamah, ia melakukan kerja sosial yang bermanfaat bagi masyarakat.

  • Bagikan