Spiritualitas Ibadah Haji

  • Bagikan
Spiritualitas Ibadah Haji

Oleh Prof Muzakkir

Dari ’Aisyah r.a. berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Sungguh, Allah sangat senang jika salah satu di antara kalian melakukan suatu pekerjaan dengan sungguh-sungguh” (HR. ath-Thabrani)

Ibadah haji merupakan pelaksanaan Rukun Islam yang kelima. Perjalanan ibadah haji merupakan perjalanan ruhani menuju Allah SWT, yang dilakukan dengan segala ketulusan dan keikhlasan hati untuk merasakan, menyaksikan Keagungan Allah dan “bertemu” dengan Allah saat berada di dua Tanah Haram-Nya (al-Haramain asy-Syarifain) yaitu Makkah al-Mukarramah dan Madinah al-Munawwarah.

Perjalanan ibadah haji bukanlah perjalanan biasa tanpa makna, nilai-nilai yang terkandung didalamnya sarat dengan hikmah, yaitu : Rihlatun-Tarikhiyyah, napak tilas sejarah Nabi-Nabi dan sejarah Agama Allah, Rihlatun-Hadariyyah, pertemuan umat Islam dunia, Islam universal, Rihlatun-Ubudiyyah, peningkatan nilai ibadah, Rihlatun-Ruju’iyyah, perjalanan ruhani menuju Allah dan kesadaran akan kematian.

Setiap pribadi muslim yang beriman sangat mendambakan untuk dapat menunaikan ibadah haji, disamping sebagai sebuah kewajiban, juga merupakan kerinduan sepanjang hayat dan saat-saat yang membahagiakan dan menginsyafkan ketika telah mampu menghadirkan jiwa dan raga (tawajjuh) untuk menyerahkan diri sepenuhnya di hadapan Allah SWT, seiring dengan seruan Nabi Ibrahim a.s. atas perintah Allah SWT. setelah beliau beserta putranya Ismail a.s. selesai mendirikan bangunan Ka’bah (Baitullah).

Dalam hal ini Allah SWT. mengungkapkannya dalam al-Quran surah al-Hajj [22] ayat 27 : Artinya: “Dan serukanlah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” (QS. al-Hajj [22]: 27). Ibadah haji merupakan puncak dari segala ibadah dan merupakan kesempurnaan dalam beragama (Islam), serta tujuan akhir bagi ditegakkannya kesempurnaan Syariat Islam.

Seseorang yang telah berniat untuk berhaji dan telah menyelesaikan proses administratifnya, perlu memosisikan dirinya dalam suatu kesadaran, bahwasanya dia telah diundang oleh Allah SWT, dan selayaknya sangat bersyukur atas segala kasih sayang-Nya, karena Rahman dan Rahim Allah telah mengalir dan menyentuh pada dirinya. Allah telah menghendaki dan menetapkan dirinya diantara segenap hamba-Nya yang diberi kesempatan istimewa untuk hadir menziarahi Baitullah, berlayar di samudera “maghfirah” Arafah yang digelar Allah untuk memperebutkan ampunan dan rahmat-Nya, meraih medali sebagai pewaris syurga-Nya, dan Allah telah meridhai dirinya menyempurnakan ke-Islamannya.

Sehingga sudah sewajarnya “undangan jamuan” yang terbatas dan sangat agung dari Allah itu janganlah disia-siakan, perlu disikapi dengan ketundukan, ketaatan dan rasa syukur yang mendalam, serta “mewajibkan” dirinya agar mempersiapkan bekal dengan sebaik-baiknya, berbenah diri, berupaya memahami tata cara pelaksanaan ibadah haji sesuai tuntunan syari’at, dan memaknai hakikat setiap rangkaian ritual maupun simbol-simbol perjalanan ibadah haji sebelum musim haji itu tiba sehingga ibadah hajinya menjadi sempurna, bermakna, dan mabrur, diperlukan suasana batin lebih mendalam lagi untuk meresapi dan menghayati makna hakikat haji.

Di antaranya adalah ; Makna dan Hakikat Ritual Thawaf. Thawaf artinya mengitari atau mengelilingi. Thawaf merupakan salah satu ibadah yang hanya dilakukan di Baitullah, yaitu mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh putaran yang dimulai dan diakhiri di Hajar Aswad. Firman Allah SWT. dalam surah al-Hajj ayat 29, yang artinya: “Hendaklah mereka thawaf di sekeliling Bait al-Atiq (Ka’bah)”. Thawaf membawa pesan maknawi berputar pada poros bumi yang paling awal dan paling dasar. Perputaran tujuh keliling bisa diartikan sama dengan jumlah hari yang beredar mengelilingi kita dalam setiap minggu.

Lingkaran pelataran Ka’bah merupakan arena pertemuan dan berhadapan dengan Allah SWT. yang dikemukakan dengan doa dan dzikir yang selalu dikumandangkan selama mengelilingi Ka’bah. Agar kita mengerti dan menghayati hakikat Allah SWT dan manusia sebagai makhluk-Nya, hubungan manusia dengan Pencipta dan ketergantungan manusia akan Tuhannya. Tiada hari yang lepas dari ibadah, dzikrullah, berdoa dan memohon ampun (istighfar) kepada-Nya.

Inilah kehidupan beribadah seorang muslim, sesuai dengan lafadz doa iftitah yang dilakukan dalam shalat “inna shalaati wa nusuki wamahyaaya wa mamaati lillahi rabbil ‘alamin“ (sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku adalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam“). Berputar (mengelilingi) berarti bergerak. Bergerak sebagai pertanda kehidupan. Realitas kondisi kehidupan terus berputar diantara manusia, jatuh-bangun, kaya-miskin mewarisi kehidupan manusia silih berganti.

Thawaf pada zhahirnya ialah mengelilingi Ka’bah, bangunan dari batu-batu hitam, tetapi pada hakikatnya kita mengelilingi yang punya bangunan itu, Rabbul Bait yang Maha Agung. Yang mengelilingi adalah batin kita, hati kita walau sudah di luar thawaf tetap sadar bahwa kita lahir di dunia atas kehendak Allah. Hidup kita selalu bersama Allah SWT (ahya wa amut), dan pada akhirnya kita akan kembali kepada Allah SWT.

Makna Dan Hakikat Sa’i

Kata sa’i artinya usaha, yang bisa pula dikembangkan artinya berusaha dalam hidup, baik pribadi, keluarga, maupun masyarakat. Pelaksanaan sa’i antara bukit Shafa dan Marwah melestarikan pengalaman Siti Hajar (Ibu Nabi Ismail as) ketika mondar-mandir antara dua bukit itu untuk mencari air minum bagi dirinya dan puteranya, di saat beliau kehabisan air dan keringatnya pun kering, di tempat yang sangat tandus, dan tiada seorang pun dapat dimintai pertolongan.

Nabi Ibrahim as, suami Siti Hajar dan ayahanda Nabi Ismail as tidak berada mendampingi mereka, beliau berada di tempat yang sangat jauh di Negeri Syam. Kasih sayang seorang ibu dan keyakinannya dengan pertolongan Allah yang mendorong Siti Hajar mondar-mandir antara bukit Shafa dan Marwah sebanyak tujuh kali. Jarak antara bukit Shafa dan Marwah ± 405 meter. Sehingga Siti Hajar menempuh jarak hampir 3 km. Namun apa yang didapatnya? Justru air yang dicari-carinya kesana kemari itu berasal dari hentakan kaki seorang bayi, air itu ditemukan pada tempat Ismail anaknya dibaringkan.

Lihatlah perbuatan Allah pada ibu dan anak ini. Dari peristiwa ini didapatkan ibrah bahwasanya setiap hamba diharuskan untuk ikhtiar dalam menggapai keinginan/tujuannya, tidak berputus asa akan Rahmat Allah, namun hasil akhirnya terletak pada Kehendak Allah SWT. Sa’i memberikan makna sikap optimis dan usaha yang sungguh-sungguh serta penuh kesabaran dan tawakkal kepada Allah SWT. Kesungguhan yang dilakukan oleh Siti Hajar dengan tujuh kali perjalanan memberikan arti bahwa hari-hari kita yang berjumlah tujuh hari setiap minggunya haruslah diisi dengan penuh usaha dan kerja keras.

Pekerjaan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh sangat disenangi Allah. Hal ini sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW: Dari ’Aisyah r.a. berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Sungguh, Allah sangat senang jika salah satu di antara kalian melakukan suatu pekerjaan dengan sungguh-sungguh” (HR. ath-Thabrani).

Dengan menghayati dan meresapi ritual sa’i akan muncullah didalam diri kita sikap-sikap positif menghadapi berbagai tantangan hidup, antara lain : siap dengan apapun yang akan menjadi ketetapan Allah, kerja keras, optimis, kesungguhan (istiqamah), keikhlasan, kesabaran, dan tawakkal. Visualisasi dari ibadah sa’i ini akan membangun jiwa-jiwa tangguh yang berkepribadian tauhid mengagumkan, sikap mental yang pantang menyerah dalam berusaha dan sikap mental yang pantang berputus asa dari Rahmat Allah.

Makna Dan Hakikat Wukuf Di Arafah

Wukuf yang berasal dari kata “wa-qa-fa“ bermakna berhenti, sedang kata “Arafah“ yang berasal dari kata “a-ra-fa“ bermakna mengenal. Berhenti secara fisik, namun pikiran tetap bergerak ke dalam diri (inner journey), merasakan bisikan suara qalbu. Ritual wukuf pada hakikatnya ditujukan untuk:

Mengenal Diri; agar kita sadar akan status diri di hadapan Allah dan sesama makhluk. Mengenal Hidup; agar kita sadar tanggungjawab, tujuan, makna, tugas, nilai, awal dan akhir hidup yang kita jalani.

Mengenal Allah; agar kita sadar akan Kemahabesaran Allah yang sebenarnya, hidup dari Allah dan kembali pada Allah. Membenahi Diri (berkaca diri); agar kita sadar untuk membenahi diri secara terus-menerus untuk mencapai kesempurnaan akhlak. Wukuf di Arafah adalah momen-momen penyadaran diri seorang hamba melalui proses muhasabah diri, evaluasi diri, perenungan lintas kehidupan masa lalu, masa kini dan masa depan, sehingga dia mengenal siapa dirinya dan “siapa” itu Allah.

Ritual melontar jumrah pada hakikatnya mengandung makna pembersihan qalb (hati) setiap jamaah haji dari sifat-sifat buruk yang bersemayam pada dirinya, yang telah mengotori kesucian jiwanya. Ada tujuh penyakit hati yang sangat berbahaya (menurut Quran dan Hadis), yakni: membanggakan diri (al-‘ujub), terpedaya oleh perasaan sendiri (al-ghurur), sombong (al-takabbur), pamer karena ingin dipuji (al-riya’), buruk sangka tanpa alasan (su’ul-zhan), kikir atau enggan menolong (al-shuhh), dendam (al-hiqd).

“Pada saat melontar jumrah, niatkanlah itu sebagai kepatuhan mutlak kepada Allah SWT. Dengan menampakkan peghambaan diri sepenuhnya dan semata-mata demi ketaatan kepada-Nya. Hakikatnya adalah melempari wajah syaitan dan mematahkan tulang punggungnya serta membuang jauh sifat tercela syaitan dari diri kita” (Imam al-Ghazali).

Akhirnya inilah pesan spiritual untuk calon jamaah haji, niat yang ikhlas, hanya karena Allah SWT. Sabar, pengendalian emosional, menjaga lisan, memahami hakikat haji. Orang yang tidak menghayati hakikat haji, maka ketika pulang dari Tanah Suci ia hanya membawa koper yang penuh dengan oleh-oleh dan hati yang kosong. Tawakkal, penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah SWT. Menjaga ukhuwah islamiyah, saling menenggang rasa, suka menolong, menjaga martabat diri, menjaga kehormatan bangsa. Semoga menjadi haji yang merindukan Allah SWT, Haji Mabrur.

Guru Besar Fakultas Ushuluddin Dan Studi Islam UIN SU

  • Bagikan