Tafsir Alquran Aplikatif Lapang Dada Terhadap Al Islam (QS. Al-An’am: 125)

  • Bagikan
Tafsir Alquran Aplikatif Lapang Dada Terhadap Al Islam (QS. Al-An’am: 125)

Oleh Prof Dr Faisar A. Arfa, MA

“Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke Langit. Begitulah Allah menimpakan siksa pada orang-orang yang tidak beriman (QS. Al-An’am: 125)

Ayat yang sering disalahpahami oleh banyak orang sehingga menggambarkan manusia itu seperti wayang dan Tuhan itu seperti dalang. Padahal ayat ini bukan menunjukkan hal tersebut tetapi menunjukkan kerjasama kedua pihak yakni manusia di satu sisi dan Tuhan di sisi yang lain. Manusia memiliki sadra sedangkan Allah memiliki kuasa untuk melakukan intervensi (yashrah) dan memiliki Islam di sisi yang lain.

Artinya manusia itu di dalam Al-Qur’an digambarkan mempunyai sadr yang di dalamnya mengandung potensi untuk mendapatkan petunjuk dan kesesatan. Namun begitu pun dia harus berupaya untuk mengaktifkan sadrnya untuk menangkap yashrah yang Allah janjikan yaitu memudahkan jalan baginya untuk menerima hidayah iman dan Islam, memberinya semangat, serta melancarkannya untuk memeluknya; Hal ini merupakan alamat kebaikan bagi orang yang bersangkutan. Sama dengan makna yang terkandung di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya: “Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam, lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya” (QS. Az-Zumar: 22).

Tetapi Allah menjadikan kalian cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hati kalian serta menjadikan kalian benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus (QS. Al-Hujurat: 7).

Ibnu Abbas ra sehubungan dengan makna firman-Nya: ”Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam” (QS. Al-An’am: 125) mengatakan bahwa Allah melapangkan dadanya kepada ajaran tauhid dan iman kepada-Nya.

Rasulullah SAW pernah ditanya mengenai makna firman-Nya: ”Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam”  (QS. Al-An’am: 125) . Rasulullah SAW bersabda: “Apabila iman telah masuk ke dalam kalbu, maka kalbu menjadi lapang dan senang menerimanya”. Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah hal tersebut ada tanda-tandanya?”Rasulullah Saw. menjawab, “Ya, yaitu selalu ingat kepada hari kembali ke alam keabadian (Akhirat), menjauhi keduniawian yang memperdaya, dan membekali diri untuk kematian sebelum maut datang kepadanya”.

Firman Allah SWT: “Dan barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit” (QS. Al-An’am: 125). Lafaz dayyiqan ada yang membacanya daiqan tanpa tasydid, yakni dengan huruf ya yang di-sukun-kan, tetapi kebanyakan ulama ahli qiraat membacanya dayyiqan. Kedua qiraat ini sama halnya dengan lafaz hainin dan hayyin.

Sebagian ulama membaca haruan yang artinya berdosa, menurut apa yang dikatakan oleh As-Saddi.
Menurut pendapat yang lain bermakna seperti pada qiraat lainnya, yaitu harijan, yang artinya tidak dapat menampung sesuatu pun dari hidayah dan tidak ada sesuatu pun bermanfaat dapat menembusnya, yaitu berupa iman. Maksudnya, iman tidak dapat menembus hatinya. Sahabat Umar ibnul Khattab ra pernah bertanya kepada seorang lelaki dari kalangan orang-orang Arab Badui dari Bani Mudlaj mengenai makna al-harijah.

Maka lelaki Badui itu menjawab bahwa harijah ialah sejenis pohon yang terletak di antara pepohonan lainnya, tetapi sulit dicapai oleh ternak gembala, sulit pula dicapai oleh hewan liar. Dengan kata lain, tiada sesuatu pun yang dapat mencapainya. Demikian pula kalbu orang-orang munafik, tiada suatu kebaikan pun yang dapat mencapai (menembus)nya.
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Allah menjadikan Islam sebagai hal yang sempit untuknya, padahal Islam luas. Seperti yang diungkapkan-Nya dalam firman-Nya: “dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kalian dalam agama suatu kesempitan” (QS. Al-Hajj: 78). Yakni Allah sekali-kali tidak menjadikan untuk kalian agama Islam sebagai suatu kesempitan.

Mujahid dan As-Saddi mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: ”sesak lagi sempit” (QS. Al-An’am: 125) yaitu sakit. Ata Al-Khurrasani mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: ”sesak lagi sempit” (QS. Al-An’am: 125), maksudnya, tiada jalan masuk bagi kebaikan untuk menembusnya.

Ibnul Mubarak meriwayatkan dari Ibnu Juraij sehubungan dengan makna firman-Nya: ”sesak lagi sempit” (QS. Al-An’am: 125) yakni tidak dapat memuat kalimah ‘Tidak ada Tuhan selain Allah’. Kalimah ini tidak dapat masuk ke dalam kalbunya, seakan-akan bagaikan orang yang naik ke Langit karena sulitnya hal itu baginya.

Sa’id ibnu Jubair mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: ”niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit” (QS. Al-An’am:125), bahwa hidayah tidak menemukan jalan masuk ke dalam kalbunya, melainkan hanya kesulitan belaka yang dijumpainya. As-Saddi mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: ”seakan-akan ia sedang mendaki ke Langit” (QS. Al-An’am: 125) karena dadanya terasa sempit.

Ata Al-Khurrasani mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: ”seolah-olah ia sedang mendaki ke Langit” (QS. Al-An’am: 125). Bahwa perumpamaan orang tersebut sama dengan orang yang tidak mampu naik ke Langit. Al-Hakam ibnu Aban telah meriwayatkan dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas bahwa sebagaimana seorang manusia tidak mampu mencapai Langit, maka tauhid dan iman tidak mampu pula masuk ke dalam kalbunya, kecuali jika Allah sendiri yang memasukkannya. Al-Auza’i telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: ”seakan-akan ia sedang naik ke Langit” (QS. Al-An’am: 125).

Yakni mana mungkin seseorang yang hatinya dijadikan sempit oleh Allah menjadi seorang Muslim. Imam Abu Ja’far ibnu Jarir mengatakan bahwa hal ini merupakan suatu perumpamaan yang dibuat oleh Allah untuk menggambarkan kalbu orang kafir dalam hal kesempitannya yang sangat sehingga iman tidak dapat sampai kepadanya.

Ibnu Jarir mengatakan, sikap si kafir yang menolak tidak mau menerima iman dan kesempitan kalbunya untuk dapat dicapai oleh iman diumpamakan dengan keengganannya untuk naik ke Langit dan ketidakmampuannya untuk melakukan hal tersebut, mengingat pekerjaan itu memang tidak akan mampu dilakukannya dan di luar kemampuannya.

Ibnu Jarir mengatakan pula sehubungan dengan makna firman-Nya: “Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman” (QS. Al-An’am: 125). Sebagaimana Allah SWT menjadikan dada orang yang Dia kehendaki kesesatannya menjadi sesak lagi sempit, maka Allah menguasakan setan kepadanya dan kepada orang-orang yang semisal dengannya dari kalangan orang-orang yang menolak untuk beriman kepada Allah dan Rasui-Nya. Lalu setan menyesatkannya dan menghalang-halanginya dari jalan Allah.

Ayat ini menjelaskan bahwa menerima Islam adalah cara Allah untuk memberikan hidayah kepada seseorang artinya tidak semua orang yang mengaku beragama Islam telah mendapatkan hidayah dari Allah sebab banyak manusia yang sejak lahir telah Islam tapi hatinya sempit di dalam menjalankan Islam sehingga dia tidak mampu mencapai hidayah Allah yang dijanjikan. Sebaliknya orang orang yang keIslamannya tidak membawa mereka kepada hidayah Allah akibat dari sikap mereka yang suka kepada kekafiran dan kemunafikan. Ciri khas mereka adalah sesak dadanya seperti orang mendaki ke langit bila diajak untuk beramal.

  • Bagikan