Amalan Di Bulan Rajab

  • Bagikan
Amalan Di Bulan Rajab

Oleh: Dr. Tgk. Muhammad Yusran Hadi, Lc., MA

Dianjurkan memperbanyak amal shalih di bulan Rajab. Karena, ia termasuk bulan-bulan Haram yang diagungkan dan dimuliakan oleh Allah ta’ala. Pahala amal shalih yang dilakukan pada bulan-bulan Haram lebih besar pahalanya dibandingkan dengan amal shalih di bulan-bulan selainnya sebagaimana dijelaskan oleh para ulama. Inilah keutamaan bulan Rajab sebagai bulan Haram.

Amal shalih yang dimaksud adalah amal shalih yang dianjurkan pada semua bulan seperti puasa-puasa sunnat yaitu puasa Senin dan Kamis, Ayyamul Bidh (puasa pertengahan bulan Hijriyyah yaitu hari ke tigabelas, empatbelas dan limabelas), dan puasa Nabi Daud (puasa sehari dan buka sehari dan seterusnya), dan shalat-shalat sunnat yaitu Rawatib, Ghair Rawatib, Dhuha, Tahiyyatul Masjid, Setelah Wudhu, Shalat Malam, Tahajud, dan Witir. Selain itu, amal shalih seperti doa, zikir, membaca Al-Qur’an, berbuat baik kepada orang tua, bersedekah, menolong orang lain dan sebagainya. Amal shalih tersebut dianjurkan di setiap bulan terutama di bulan-bulan Haram termasuk Rajab.

Adapun amalan khusus di bulan Rajab tidak dianjurkan dalam agama. Oleh karena itu, bulan Rajab tidak memiliki amalan khusus. Karena, tidak ada satupun dalil yang shahih yang menjelaskan keutamaan Rajab dan amalan khusus padanya. Semua hadits yang menjelaskan keutamaan bulan Rajab dan amalan-amalan khusus padanya adalah dhaif (lemah) dan maudhu’ (palsu). Oleh karena itu, tidak bisa diamalkan dan tidak bisa pula dijadikan hujjah sebagaimana dijelaskan oleh para ulama. Menurut mereka amalan-amalan khusus di bulan Rajab itu perbuatan bid’ah yang dikecam dan diharamkan dalam Islam.

Namun sangat disayangkan, sebagian umat Islam menyangka bahwa pada bulan Rajab dianjurkan amalan-amalan khusus. Yang dimaksud amalan-amalan khusus di bulan Rajab yaitu amalan-amalan yang yang dikhususkan pada bulan Rajab baik selama sebulan, hari-hari tertentu ataupun sebahagian hari-harinya. Mereka semangat dan antusias melakukannya meskipun tanpa ilmu. Bahkan mengajak orang lain untuk melakukannya. Mereka menyangka adanya keutamaan amalan-amalan ini berdasarkan hadits-hadits yang mereka baca atau dengar tanpa mengetahui hukum atau derajat haditsnya. Padahal, hadits-hadits ini dhaif (lemah) dan maudhu’ (palsu) sebagaimana dijelaskan oleh para ulama Hadits.

Mengkhususkan suatu ibadah pada waktu tertentu atau tempat tertentu atau dengan jumlah bilangan tertentu perlu dalil yang shahih. Bila tidak, maka itu perbuatan bid’ah yang diharamkan oleh Allah ta’ala dan Rasul-Nya sebagaimana dijelaskan oleh para ulama.

Imam Ibnu Daqiq al-Ied (wafat 702 H) rahimahullah menjelaskan hal ini dalam perkataannya mengenai pembahasan dilalat al-‘Am ‘ala al-khash di dalam kitabnya Ihkam al-Ahkam (1/200-201), ia berkata: “Kekhususan dengan waktu, kondisi, bentuk, dan perbuatan yang khusus, memerlukan dalil khusus yang menunjukkan anjurannya secara khusus.’

Beliau menguatkan pendapatnya bahwa meminta dalil yang khusus terhadap sesuatu yang dikhususkan lebih benar dari memasukkan sesuatu yang dikhususkan di bawah keumuman. Kemudian beliau berdalilkan dengan metode para ulama salaf yang menghukumi bid’ah atas amalan-amalan karena tidak ada satupun dalil yang shahih dan mereka tidak memasukkannya di bawah keumuman.

Hal yang senada juga disampaikan oleh Imam Asy-Syatibi (wafat 790 H) rahimahullah dalam kitabnya “Al-Muwafaqat”, “Di antara bid’ah idhafiyyah (bid’ah tambahan) yang dekat dengan bid’ah hakikat yaitu asal ibadah disyari’atkan kecuali ibadah ini keluar dari asal disyariatkannya tanpa dalil dengan menyangka tetap atas asalnya sesuai dengan dalil, yang demikian itu dengan merincikan kemutlakannya dengan pendapat. (al-Muwafaqat: 3/211).

Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak pernah melakukan amalan khusus di bulan Rajab. Begitu pula para sahabat, ta’bi’in dan tabiut tabi’un. Seandainya amalan-amalan ini benar (sesuai dengan Sunnah Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam), pasti ada dalilnya yang shahih dan mereka pasti telah mendahului kita dalam melakukannya. Namun kenyataannya, mereka tidak melakukannya. Maka perbuatan tersebut bukan syariat Islam, namun perbuatan bid’ah yang dikecam dan dilarang oleh Allah ta’ala dan Rasul-Nya.

Adapun amalan-amalan khusus yang dilakukan oleh sebahagian orang pada bulan Rajab yaitu puasa sebulan dan puasa hari-hari tertentu dari bulan Rajab seperti puasa hari pertama, kedua, ketiga, puasa Kamis pertama, puasa pada tanggal 27 Rajab, serta puasa sebahagian hari bulan Rajab seperti puasa sehari, puasa tujuh hari, puasa delapan hari, puasa sepuluh hari, puasa lima belas hari, dan sebagainnya. Selain itu, shalat Al-Fiyyah (shalat di awal bulan Rajab dan pertengahan bulan Sya’ban), shalat Ragha’ib atau shalat isna ‘asyariyyah (shalat pada malam Jum’at pertama bulan Rajab dengan tatacara khusus berbeda dengan biasa), shalat Daud (shalat di pertengahan Rajab), shalat pada malam tanggal 27 Rajab, umrah Rajabiyyah (umrah khusus bulan Rajab), ‘atirah (menyembelih hewan khusus pada bulan Rajab), serta amalan khusus lainnya dengan menyangka bahwa bulan Rajab memiliki keutamaan. Semua ini adalah perbuatan bid’ah yang diharamkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagaimana dijelaskan oleh para ulama.

Menurut para ulama Hadits dan para ulama Fiqh yang telah melakukan penelitian dalam masalah ini, hadits-hadits yang beredar mengenai keutamaan bulan Rajab dan amalan-amalan khusus padanya semuanya dhaif dan maudhu’. Tidak ada satupun hadits yang shahih yang menjelaskan keutamaan bulan Rajab dan amalannya secara khusus. Oleh karena itu, hadits-hadits ini tidak boleh diamalkan dan tidak boleh pula dijadikan hujjah sebagaimana dijelaskan oleh para ulama. Menurut mereka, amalan-amalan khusus di bulan Rajab tersebut merupakan bid’ah yang diharamkan dalam Islam.

Di antara para ulama yang meneliti dan menjelaskan masalah ini secara ilmiah dan komprehensif adalah seorang ulama hadits Al-Imam Al-Hafiz Ibnu Hajar Al-Asqalani (wafat 852 H) rahimahullah. Beliau menulis hasil penelitian beliau dalam sebuah kitab yang diberi judul: “Tabyin al-‘Ajab Bima Warada Fi Syahri Rajab” (Penjelasan Keanehan Hadits-Hadits Mengenai Keutamaan Bulan Rajab). Di dalam kitab ini, beliau menghimpun semua hadits yang menerangkan tentang keutamaan bulan Rajab dan amalan-amalannya. Lalu beliau mengkritik hadits-hadits tersebut secara ilmiah dan komprehensif dengan menjelaskan hukum atau derajat hadits-hadits tersebut.

Dari hasil penelitiannya ini, Al-Imam Ibnu Hajar rahimahullah menyimpulkan bahwa tidak ada satupun hadits yang shahih yang menjelaskan mengenai keutamaan bulan Rajab dan amalan khusus padanya. Menurut beliau, semua hadits-hadits mengenai keutamaan bulan Rajab dan amalan-amalannya adalah lemah dan palsu. Oleh karena itu, beliau membagi hadits-haditsnya kepada dua bagian yaitu hadits-hadits yang dhaif (lemah) dan hadits-hadits yang maudhu’ (palsu).

Al-Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata: “Tidak ada satupun hadits yang shahih yang layak dijadikan hujjah yang menerangkan keutamaan bulan Rajab, keutamaan puasanya, keutamaan puasa pada hari-hari tertentu, dan keutamaan shalat malam tertentu padanya. Sebelumku Imam Abu Ismail Al-Harawi Al-Hafizh telah menegaskan hal ini.” (Tabyin al-‘Ajab Bima Warada Fi Syahri Rajab, hal. 23).

Beliau juga berkata, “Dan adapun hadits-hadits yang datang dalam keutamaan Rajab, atau keutamaan puasanya, atau puasa sesuatu darinya secara sharih (jelas), maka ada dua bagian: dhaif (lemah) dan maudhu’ (palsu).” (Tabyin al-‘Ajab Bima Warada Fi Syahri Rajab, hal. 33).

Hal yang sama juga disampaikan oleh para ulama lainnya yang telah melakukan penelitian masalah ini. Di antara mereka yaitu Al-Imam Al-Hafiz Muhammad Al-Hasan bin Ali Al-Baghdadi Al-Khallal (wafat 439 H), Al-imam al-Hafiz Abu Ismail Al-Harawi (wafat 481 H) sebagaimana disebutkan oleh Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya “Tabyin al-‘Ajab Bima Warada Fi Syahri Rajab”, Al-Imam Al-Hafizh Al-Muqri’ Asy-Syafi’i (wafat 478 H), Al-Imam Al-Hafizh Ath-Thurthusyi al-Maliki (wafat 520 H) dalam kitabnya Al-Hawaadits wal Bida’, Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Asakir (wafat 571 H), Al-Imam Ibnul Jauzi (wafat 597 H) dalam kitabnya “Al-Madhu’at”, Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Dihyah Al-Kalbi (wafat 633 H) dalam kitabnya “Ada’u Ma Wajaba min Bayan Wadh’i al-Wadha’in fi Rajab”, Al-Imam Abu Syamah Asy-Syafi’i (wafat 665 H) dalam kitabnya “Al-Ba’its ‘ala Inkaril Bida’ wal Hawadits”, Al-Imam Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (wafat 728 H) dalam kitabnya “Majmu’ Al-Fatawa” dan “Iqtidha’ ash-Shirath al-Mustaqim”, Al-Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah (wafat 751 H) dalam kitabnya “al-Manar al-Munif”, Al-Imam Ibnu Rajab al-Hanbali (wafat 795 H) dalam kitabnya “Lathaif al-Ma’arif Fi ma li Mawashim al-‘Am Min Wazhaif”, Al-Imam Al-Hafiz Al-Iraqi (wafat 806 H) dalam kitabnya “Takhrij Ahadits Ihya’ Ulum ad-Din”, Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Arraq (wafat 963 H) dalam kitabnya “Tanzih asy-Syari’ah ‘An al-Ahadits ash-Shani’ah al-Maudhu’ah”, Al-Imam As-Sayuthi (wafat 911 H) dalam kitabnya “al-La’ali al-Mashnu”ah fii Ahadits al-Maudhu’ah”, Imam Ibnu Hajar Al-Haitsami Asy-Syafi’i (wafat 974 H) dalam kitabnya “Al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra,” Al-Imam Asy-Syaukani (wafat 1255 H) dalam kitabnya “al-Fawaid al-Majmu’ah”, dan lainnya.

Dalam kitabnya “At-Targhib ‘an shalat Ar-Raghaib al-Maudhu’ah”, Imam Izzuddin Abdis Salam berkata, “Dan di antara menunjukkan bid’ah shalat Raghaib adalah bahwa para ulama sebagai tokoh agama dan imam-imam kaum muslimin yatu para sahabat, tabi’in, tabiut tabi’in dan selain mereka yang menulis kitab-kitab dalam masalah syariat, dengan semangat mereka mengajarkan orang-orang mengenai kewajiban-kewajiban dan sunnat-sunnat, tidak seorangpun yang dinukilkan dari mereka yang menyebutkan shalat ini dan tidak pula menulisnya dalam kitabnya serta tidak pula menyampaikannya dalam majelis-majelisnya. Secara kebiasaan, mustahil sunnat seperti ini luput dari mereka sebagai tokoh agama dan teladan orang-orang mukmin, padahal mereka menjadi rujukan dalam semua persoalan hukum baik wajib, sunnat, halal dan haram.” (At-Targhib ‘an shalatir Raghaibil maudhu’ah: 9, dalam topik al-musalah al’ilmiyyah)

Al-Imam Al-Hafizh Ath-Thurthusyi al-Maliki (wafat 520 H) rahimahullah menyebutkan bahwa beliau pernah dikabarkan oleh Abu Muhammad Al-Maqdisi. Beliau berkata, “Adapun shalat Rajab, belum pernah dilakukan ditempat kami di Baitul Maqdis kecuali setelan 480 Hijriyah. Sebelumnya kami belum pernah mendengar atau melihatnya.” (al-Hawadits wa al-Bida’, hal. 267 no.238).

Dalam kitabnya “Al-Ba’its ‘ala Inkar al-Bida’ wa al-Hawadits”, Imam Abu Syamah Asy-Syafi’i rahimahullah menjelaskan shalat Raghaib, “Mengenai shalat Raghaib, yang dikenal di tengah masyarakat luas dewasa ini adalah yang dikerjakan di antara waktu maghrib dan Isya, pada malam Jum’at pertama dari bulan Rajab.” (Al-Ba’its ‘ala Inkar al-Bida’ wa al-Hawadits: 138).

Beliau menukilkan perkataan Imam Ibnu Shalah Asy-Syafi’i (wafat 643 H) rahimahullah mengenai shalat Raghaib, “Haditsnya palsu, dan itu adalah perbuatan bid’ah yang muncul tahun empat ratusan hijriyah.” (Al-Ba’its ‘ala Inkar al-Bida’ wa al-Hawadits: 145).

Beliau juga menukilkan pendapat Imam Izzuddin Abdussalam Asy-Syafi’i (wafat 660 H) rahimahullah, di mana pada tahun 637 H beliau memberikan fatwa bahwa shalat Ar-Raghaib adalah bid’ah yang mungkar, dan bahwa haditsnya adalah dusta atas nama Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam. (Al-Ba’its ‘ala Inkar al-Bida’ wa al-Hawadits: 149).

Dalam kitabnya Al-Majmu’, Imam An-Nawawi (wafat 676 H) rahimahullah berkata, “Shalat yang dikenal dengan shalat Raghaib sebanyak dua belas rakaat yang dikerjakan antara Maghrib dan Isya pada malam Jum’at pertama bulan Rajab, dan shalat malam nishfu Sya’ban sebanyak seratus raka’at adalah bid’ah yang mungkar lagi buruk. Tidak boleh seseorang terpedaya dengan penyebutan kedua shalat ini di dalam kitab Qutul Qulub dan Ihya’ Ulumuddin, dan tidak pula dengan hadits yang disebutkan dalam kedua kitab ini. Sebab, hal itu semua adalah batil. Tidak boleh seseorang terpedaya dengan sebahagian orang yang belum jelas baginya hukum kedua shalat ini dari kalangan imam-imam, lalu ia mengarang dalam beberapa kertas untuk menganjurkan keduanya. Karena ia keliru dalam hal itu. Syaikh Imam Abu Muhammad Abdurrahman bin Ismail al-Maqdisi telah mengarang sebuah kitab yang amat berharga, yang menegaskan kebatilan kedua macam shalat tersebut. Sungguh beliau telah berbuat baik dan berjasa.” (Al-Majmu’: 3/476).

Dalam kitab Syarhu Muslim, Imam An-Nawawi berkata, “Semoga Allah memerangi orang yang mengada-adakan shalat Raghaib ini. Shalat ini bid’ah mungkar termasuk dalam bid’ah kesesatan dan kebodohan. Dalam shalat ini terdapat banyak kemungkaran yang jelas. Sekelompok ulama telah menulis buku yang amat berharga dalam menyatakan keburukan shalat ini, kesesatan orang yang melakukan shalat ini dan pelaku bid’ahnya, dalil-dalil keburukannya, kebatilannya, dan penyesatan pelakunya. Buku-buku yang menjelaskan ini sangat banyak.” (Syarah Muslim: 8/20).

Imam Ibnu Rajab Al-Hanbali berkata, “Adapun shalat khusus pada bulan Rajab, tidak ada hadits shahih yang mengkhususkannya. Hadits-hadits yang diriwayatkan dalam keutamaan shalat Ragha’ib pada malam Jum’at pertama dari bulan Rajab itu dusta dan batil, tidak shahih. Shalat ini bid’ah menurut kebanyakan ulama. Di antara tokoh ulama muta’akhirin dari kalangan hufazh (ulama hadits) yang menyebutkan hal itu adalah Abu Isma’il Al-Anshari, Abu Bakar As-Sam’ani, Abu Al-Fadhl Bin Nashir, dan Abu Al-Faraj Bin Al-Jauzi dan lainnya. Kalangan mutaqaddimun (generasi awal) tidak menyebutkannya karena shalat bid’ah ini diadakan pada generasi setelah mereka. Yang pertama muncul bid’ah ini setelah 400 tahun Islam lahir. Oleh karena itu tidak dikenal oleh generasi awal dan tidak pula dibicarakan. Adapun mengenai puasa, tidak ada satupun hadits yang shahih yang datang dari Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak pula dari para sahabat dalam keutamaan puasa Rajab.” (Lathaif Al-Ma’arif Fi ma li Mawashim al-‘Am Min Wazhaif: 151).

Imam Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Adapun mengenai puasa Rajab secara khusus, maka seluruh haditsnya lemah dan bahkan palsu yang tidak dijadikan acuan oleh para ulama. Hadits-haditsnya bukan tergolong hadits lemah yang boleh diriwayatkan dalam masalah fadhail ‘amal (amal-amal yang baik), tetapi tergolong sebagai hadits-hadits palsu yang dibuat-buat.” (Majmu’ Al-Fatawa: 25/290)

Imam Ibnu Taimiyyah juga berkata ketika ia menjelaskan tentang bid’ah, “Hari yang sama sekali tidak diagungkan oleh syariat, tidak pernah disebut di kalangan salaf dan tidak ada sesuatu yang terjadi pada hari itu yang layak diagungkan seperti hari Kamis dan malam Jum’at bulan Rajab yang disebut malam Ragha’ib. Pengagungan hari dan malam itu baru terjadi 400 tahun setelah Islam lahir. Mengenai hal ini, diriwayatkan sebuah hadits palsu berdasarkan kesepakatan para ulama, yang isinya menjelaskan keutamaan berpuasa pada hari itu dan melakukan shalat ini yang dinamakan oleh orang-orang bodoh dengan nama shalat Ragha’ib. Sebahagian sahabat kami dan lainnya dari kalangan ulama muta’akkhirin menyebutkan shalat ini. Namun pendapat yang benar yang dipegang oleh para ulama yang melakukan pengkajian masalah ini adalah terlarangnya berpuasa secara khusus pada bulan Rajab, melakukan shalat bid’ah ini dan segala bentuk pengagungan hari ini berupa pembuatan makanan, menampilkan perhiasan dan sejenisnya, sehingga hari ini sama dengan hari-hari lainnya dan tidak memiliki keistimewaaan tersendiri. Demikian pula pada hari lain yang berada di pertengahan bulan Rajab, di mana pada hari ini dilakukan shalat yang disebut dengan shalat ibu Nabi Daud. Pengagungan hari ini sama sekali tidak memiliki dasar (dalil).” (Iqtidha’ ash-Shirathil al-Mustaqim: 251).

Dalam kitabnya Al-Madkhal, Imam Ibnu Al-Haj Al-Maliki berkata, “Dan di antara bid’ah yang diadakan pada bulan yang mulia ini (yakni bulan Rajab) yaitu di malam Jum’at pertama dari bulan Rajab mereka melakukan shalat Raghaib di kota-kota dan masjid-masjid, mereka berkumpul di kota-kota dan masjid-masjid, mereka melakukan bid’ah ini dan menampakkannya di masjid-masjid dengan seorang imam dan jama’ah seolah-olah shalat yang disyariatkan.” (Al-Madkhal: 1/294).

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Semua hadits mengenai puasa Rajab dan shalat pada beberapa malam di bulan Rajab adalah dusta yang nyata.” (al-Manar al-Munif: 96)

Imam Ibnu Hajar Al-Haitsami Asy-Syafi’i ditanya, “Apakah boleh melakukan shalat Raghaib secara berjama’ah atau tidak? Beliau menjawab: “Adapun shalat Raghaib itu sama dengan shalat nishfu Sya’ban. Kedua shalat ini bid’ah yang buruk dan tercela. Hadits keduanya palsu. Maka dimakruhkan melakukan kedua shalat ini baik sendirian maupun berjama’ah.” (al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra: 1/216).

Dalam kitab “al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah” disebutkan, “Para ulama Hanafiyyah dan Syafi’iyyah berpendapat bahwa shalat Raghaib pada malam Jum’at pertama atau malam nishfu Sya’ban dengan tatacara yang khusus atau dengan jumlah rakaat yang khusus adalah bid’ah munkar.” (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyyah: 22/262)

Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah
berkata, “Tidak ada hadits shahih, atau yang hasan atau yang dhaif yang secara khusus menerangkan tentang keutamaan bulan Rajab. Semua hadits yang diriwayatkan secara khusus merupakan hadits palsu, dusta dan sangat lemah.” (As-Sail Al-Jarrar: 2/143).

Syaikh Sayyid Sabiq rahimahullah berkata, “Puasa Rajab tidak memiliki keutamaan melebihi bulan-bulan lainnya kecuali ia termasuk bulan-bulan haram. Tidak ada sunnah yang shahih tentang keutamaannya. Dan apa yang datang mengenai hal itu tidak bisa dijadikan hujjah.” (Fiqh As-Sunnah: 1/318)

Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Adapun puasa Rajab, tidak ada satupun hadits yang shahih yang menjelaskan keutamaannya secara khusus atau puasa sesuatu darinya. Adapun apa yang dilakukan oleh sebahagian orang yang mengkhususkan puasa sebahagian hari darinya dengan meyakini adanya keutamaan padanya dari bulan-bulan lainnya adalah tidak ada dasarnya dalam agama.”

Syaikh Utsaimin berkata, “Para ulama berkata, “Semua hadits yang diriwayatkan mengenai keutamaan puasa bulan Rajab atau shalat padanya adalah dusta berdasarkan kesepakatan para ulama hadits. Imam Ibnu Hajar rahimahullah telah menulis buku kecil dalam masalah ini dengan judul “Tabyin al-Ajab Fi ma Warada Fi Fadhli Rajab”. (asy-Syarhul al-Mumti’: 6/476).

Syaikh Utsaimin pernah ditanya tentang puasa pada hari ke 27 Rajab dan shalat malamnya, maka beliau menjawab, “Mengkhususkan puasa pada hari ke 27 Rajab dan shalat malamnya itu bid’ah. Dan setiap bid’ah itu kesesatan.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin: 20/440).

Syaikh Shalih Bin Fauzan berkata, “Puasa hari pertama bulan Rajab itu bid’ah, bukan ajaran syariat. Tidak ada hadits Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih dalam mengkhususkan puasa Rajab. Maka puasa hari pertama dari Rajab dan meyakininya sunnah ini salah dan bid’ah.” (Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilatusy syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, 1/33).

Syaikh Ibnu Al-Jibrin rahimahullah berkata, “Mengkhususkan bulan Rajab dengan berpuasa, atau mengkhususkannya dengan berumrah yang sering disebut dengan umrah Rajabiyah, atau mengkhususkannya dengan menghidupkan satu malam yang dikenal dengan malam Raghaib yakni malam Jum’at pertama bulan Rajab, atau mengkhususkannya dengan menyembelih hewan yang dikenal dengan istilah ‘atirah, maka semua itu perbuatan bid’ah yang tidak memiliki dasar agama.” (Fatawa Ramadhan: 2/734)

Syaikh Hasan Ayyub berkata, “Tidak ada hadits yang shahih yang menganjurkan berpuasa dalam hari tertentu di bulan Rajab secara khusus kecuali apa yang dianjurkan untuk melakukan amal shalih pada bulan-bulan haram.” (Fiqh al-‘Ibadat bi Adillatiha fi al-Islam, hal. 431)

Syaikh Abu Malik berkata, “Tidak ada satupun yang shahih dari Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak pula dari para sahabatnya dalam keutamaan puasa Rajab secara khusus. Semua haditsnya ini lemah bahkan palsu.” (Shahih Fiqh As-Sunnah: 2/144).

Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi rahimahullah berkata, “Di antara puasa yang diharamkan yaitu puasa bid’ah yang dilakukan oleh orang-orang berdasarkan hawa nafsu mereka, yang tidak disyariatkan oleh Allah ta’ala dan Rasul-Nya dan tidak pula dilakukan oleh para sahabat khulafaurrasyidin dari para khalifah Rasul saw serta tidak pula dianjurkan oleh para imam mazhab. Di antara puasa bid’ah ini yaitu mengkhususkan puasa pada hari ke 12 bulan Rabiul Awwal, mengkhususkan puasa pada hari ke 27 bulan Rajab, dan mengkhususkan puasa Nishfu Sya’ban.” (Fiqh ash-Shiyam: 136).

Dalam kitabnya yang berjudul “Mausu’ah As-Sunan wa al-Mubtadi’at” (telah diterjemahkan dengan judul “Buku Pintar Sunnah dan Bid’ah”), Syaikh Sa’ad Yusuf Abu Aziz berkata, “Tidak ada satu dalilpun yang bisa digunakan sebagai pegangan mengenai keutamaan bulan Rajab ini, baik berpuasa ataupun melakukan shalat malam secara khusus, demikian pendapat Al-Hafiz Ibnu Hajar. Akan tetapi, jika seorang muslim sudah terbiasa melakukan puasa sunnah yang dianjurkan dalam setiap bulan, maka ia dianjurkan untuk tidak menghentikan puasanya di bulan Rajab ini.” (Buku Pintar Sunnah dan Bid’ah: 445).

Dalam kitabnya “Shiyamut Thathawwu’: Fadhail wa ahkam” (telah diterjemahkan dengan judul “Kumpulan Puasa Sunnat Dan Keutamaannya”), Syaikh Usamah Abdul Aziz berkata, “Tidak ada hadits shahih dari Nabi shallahu’alaihi wa sallam. yang menjelaskan tentang puasa khusus pada bulan Rajab dan keutamaannya. Sementara hadits yang terdapat dalam masalah ini merupakan hadits-hadits lemah dan bahkan palsu yang sama sekali tidak shahih. Ini merupakan pendapat para ulama yang telah melakukan penelitian dalam masalah ini.” (Kumpulan Puasa Sunnat Dan Keutamaannya: 76).

Demikianlah penjelasan para ulama mengenai amalan khusus pada bulan Rajab. Mereka sepakat mengatakan tidak ada amalan khusus yang disyariatkan pada bulan Rajab karena tidak ada satupun dalil yang shahih mengenai hal ini. Semua hadits yang menjelaskan keutamaan bulan Rajab dan amalannya adalah dhaif (lemah) dan maudhu’ (palsu) yang tidak boleh diamalkan dan dijadikan hujjah. Oleh karena itu, amalan-amalan khusus bulan Rajab ini merupakan perbuatan bid’ah yang dikecam dan diharamkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Sebagai penutup, mari kita memperbanyak amal shalih pada bulan Rajab ini tanpa mengkhususkan waktu dan amalan tertentu, sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga kita diberikan petunjuk oleh Allah ta’ala untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan tuntunan Rasul-Nya agar ibadah kita diterima oleh Allah ta’ala dan tidak terjerumus perbuatan bid’ah yang dikecam dan diharamkan oleh Allah ta’ala dan Rasul-Nya. Amin…!

Penulis adalah Doktor Fiqh dan Ushul Fiqh pada International Islamic University Malaysia (IIUM), Dosen Fiqh dan Ushul Fiqh pada Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Ar-Raniry, Ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Provinsi Aceh, Wakil Ketua Majelis Pakar PW Parmusi Aceh, Ketua bidgar Dakwah PW Persis Aceh, Ketua PC Muhammadiyah Syah Kuala Banda Aceh, dan Anggota Ikatan Ulama dan Da’i Asia Tenggara.

  • Bagikan