Rakus Terhadap Harta Dan Kedudukan

  • Bagikan
Rakus Terhadap Harta Dan Kedudukan

Oleh Darwis Simbolon, S.Pd., M.Pd.

“Dua serigala lapar yang dilepas di tengah kumpulan kambing tidak lebih merusak (berbahaya) dibandingkan dengan sifat rakus manusia terhadap harta dan kedudukan yang sangat merusak agamanya” (HR. Tirmidzi dan Ahmad)

Islam tidak menyukai sifat orang-orang yang rakus, tamak lagi serakah. Karena kerakusan atau ketamakan membuat manusia berlaku sombong, beringas dan melampaui batas kepada sesama bahkan alam semesta. Kerakusan termasuk nafsu yang buruk karena mengerahkan seseorang mendapatkan harta, materi, kedudukan dan popularitas demi memuaskan syahwatnya dalam kehidupan dunia. Di mata mereka bahwa kenikmatan atau capaian tersebut adalah segalanya, tanpa terbesit lagi dalam pikirannya bahwa masih ada kenikmatan atau kebahagiaan yang hakiki. Prasangka keliru ini membuat banyak manusia terlena atau lalai beramal saleh untuk kehidupan yang kekal abadi di Akhirat.

Allah SWT memperingatkan di dalam Al-Qur’an agar kita mengambil pelajaran bahwa dunia ini hanyalah senda gurau dan permainan. Sementara akhirat itulah kehidupan yang sebenar-benarnya. Firman-Nya, “Dan kehidupan Dunia ini hanyalah senda gurau dan permainan. Dan sesungguhnya negeri akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya, sekiranya mereka mengetahui” (QS. Al-Ankabut: 64) Kesenangan di dunia sangat sedikit jika dibandingkan kesenangan yang hakiki di akhirat. Sehingga orang yang beriman lagi berakal tidak mungkin tertipu oleh kesenangan Dunia yang sangat kecil, rendah dan hina. Hanya orang-orang kafir, pengikut hawa nafsu dan bodoh sajalah yang “mendewakan” kesenangan dunia berupa harta, kedudukan, wanita, dll. Allah SWT berfirman, “Padahal kenikmatan di dunia ini (dibandingkan kenikmatan) di akhirat hanyalah sedikit” (QS. At-Taubah: 38).

Orang yang rakus mengumpulkan harta, mengejar kedudukan dan popularitas sangat tercela. Sebagimana Nabi SAW membuat perumpamaan dunia yang lebih rendah dari bangkai seekor kambing yang cacat. Semoga menjadi bahan renungan bagi orang-orang yang rakus, serakah dan bernafsu mengerjar harta, kedudukan dan sederet kesenangan Dunia.

Diriwayatkan dari Jabir ra, “Sesungguhnya Nabi SAW berjalan melewati pasar sementara banyak orang berada di sekitar beliau. Nabi SAW berjalan melewati bangkai anak kambing jantang yang kedua telinganya cacat. Sambil memegang telinganya, Nabi SAW bersabda, “Siapa di antara kalian yang berkenan membelinya satu dirham?” Orang-orang berkata, “Kami sama sekali tidak tertarik kepadanya, apa yang bisa kami perbuat dengannya?” Nabi SAW bersabda, “Apakah kalian mau jika ini menjadi milik kalian?” Orang-orang berkata, “Demi Allah, kalau kambing jantan ini hidup, ia cacat, apalagi sudah menjadi bangkai” Lalu Nabi SAW bersabda, “Demi Allah, sungguh, dunia ini lebih hina bagi Allah daripada bangkai anak kambing yang cacat ini bagi kalian” (HR. Muslim).

Betapa rendah nilai materi atau kesenangan dunia ini, maka jangan sampai seorang Muslim tertipu oleh silaunya gemerlap dunia yang fana. Terlebih melakukan berbagai cara, tanpa perduli cara halal atau haram dalam mendapatkan harta, fasilitas dan kedudukan. Takutlah hisab yang berat atas harta dan amanah kedudukan. Karena banyak orang-orang yang disegerakan mendapat kesenangan di dunia justru tanpa sadar sedang disiksa di Dunia. Dijerumuskan secara perlahan-lahan dan diulur sehingga sekonyong-konyong kematian datang dan tidak sempat bertaubat. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya maksud Allah dengan itu hendak menyiksa mereka dalam kehidupan dunia dan kelak akan mati dalam keadaan kafir” (QS. At-Taubah: 55).

Dalam riwayat lain dijelaskan bahwa nilai dunia ini di sisi Allah tidak sebanding dengan sayap seekor nyamuk. Nabi SAW bersabda, “Seandainya dunia di sisi Allah sebanding dengan sayap seekor nyamuk, maka Dia tidak akan memberi minum walau seteguk pun (sedikit) kepada orang kafir” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah). Kalau kesenangan Dunia dan seisinya tidak sebanding dengan sayap seekor nyamuk, lantas mengapa banyak manusia yang mati-matian atau ambisius mengejarnya? Bahkan tidak sedikit yang melalaikan shalat, menipu hingga menyakiti orang lain demi mendapatkan harta dan kedudukan.

Tidakkah mereka sadar bahwa permisalan mereka ibarat orang-orang yang berebut untuk mendapatkan bangkai seekor kambing yang cacat? Faktanya, banyak manusia yang tertipu, walau Allah telah berulang kali memperingatkan mereka. Ketahuilah bahwa muara kerakusan, ketamakan atau keserakahan pada harta dan kedudukan tersebut adalah mengabaikan peringatan, mengikuti hawa nafsu dan terus-menerus menuruti bisikan setan yang memperdaya. Allah SWT berfirman, “Wahai manusia! Sungguh, janji Allah itu benar, maka janganlah kehidupan dunia ini memperdayakan kamu dan janganlah (setan) yang pandai menipu memperdayakan kamu tentang Allah” (QS. Fathir: 5).
Orang-orang yang rakus terhadap harta, kemewahan, kedudukan dan popularitas hanya mengikuti keinginan hawa nafsunya. Tanpa sadar telah melampaui batas, menodai kehormatan diri dan merusak agamanya. Lihatlah yang sedang terjadi dizaman ini, betapa banyak orang-orang yang berlomba-lomba untuk mendapatkan harta, menjadi pejabat, namun tidak memperdulikan apakah cara dipakai adalah menipu, korupsi dan menyogok. Batas-batas hukum syariat telah dilanggar demi memuaskan syahwat atau kecintaannya untuk menumpuk harta. Begitu pula dengan orang-orang yang haus terhadap kedudukan, jabatan dan popularitas. Apakah mereka tidak sadar boleh jadi waktu atau umur mereka di dunia sudah tidak lama lagi.

Namun keinginannya untuk menduduki jabatan tertentu belum bisa terpuaskan. Begitu pula dengan pendukung-pendukungnya yang bodoh dan fanatik melakukan kerusakan, manipulatif disertai caci maki. Mereka tidak sadar bahwa sedang diperalat oleh orang-orang yang berkepentingan untuk mendapatkan kedudukan. Bahkan yang lebih mengerikan, para pendukung yang bodoh tersebut tega melakukan kriminalisasi, penganiayaan hingga pembunuhan kepada orang yang merintangi keinginannya. Begitu sebaliknya, saling serang dari kelompok lainnya hingga mereka mati seperti orang jahiliyah. Alangkah hinanya kompetisi memperebutkan harta, kedudukan dan popularitas. Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa yang berperang karena sebab yang tidak jelas, marah karena fanatik kelompok, atau motivasi mengikuti kelompok, atau dalam rangka membela kelompoknya, kemudian ia pun terbunuh, maka ia mati jahiliyah” (HR. Muslim).

Maka bagi seorang Mukmin, memperoleh banyak harta, kedudukan, pendukung hingga popularitas bukanlah prioritas utama. Renungkanlah ketika Allah menurunkan Adam ke dunia, apakah bermaksud memberikan kenikmatan yang lebih banyak? Atau justru karena kesalahannya sehingga dihukum berupa diturunkan ketempat yang rendah? Selanjutnya diberikan berbagai fitnah lewat keturunannya yang mendengki bahkan membunuh saudaranya. Sungguh Nabi Adam as telah menyadari dosa atau kesalahannya lalu bertaubat, dengannya Allah pun menerima taubatnya. Maka dunia bukanlah tempat terbaik bagi orang-orang yang beriman. Imam Hasan al-Bashri berkata, “Sesungguhnya dunia adalah negeri perantauan dan bukan negeri (tempat) menetap. Dan Nabi Adam as diturunkan ke dunia untuk menjalani hukuman. Karena itu, berhati-hatilah! (Az-Zuhd, Ibnu Abi Dunya).

Adapun sikap seorang mukmin yang tidak diberikan keluasan rizki berupa harta dan kesenangan akan bersabar. Tidak putus asa dan menaruh rasa kecewa kepada Allah, karena meyakini bahwa dunia hanyalah ujian keimanan dan penjara bagi hawa nafsunya. Seorang mukmin juga meyakini janji Allah berupa balasan yang lebih baik di dunia dan Akhirat. Sehingga tidak perlu bersedih hati ketika Allah membatasi rezeki dan kesenangannya. Nabi SAW bersabda, “Dunia itu penjara bagi Mukmin dan Surga bagi orang kafir” (HR. Muslim).

Kerakusan terhadap harta, emas, uang, kedudukan dan popularitas adalah tindakan melampaui batas yang menjadi petaka kehancuran harga dan agama seseorang. Karena sifat seseorang yang rakus, tidak pernah merasa cukup atau puas dengan yang dimiliki. Pada akhirnya ia akan binasa dengan tanah yang disumpalkan kemulutnya. Sebagaimana Allah telah membenamkan Qarun kedasar bumi. Nabi SAW bersabda, “Celakalah hamba dinar, hamba dirham, hamba pakaian dan hamba gaya. Jika diberi, ia suka. Namun jika tidak diberi, ia tidak suka” (HR. Bukhari) Selanjutnya, sabda Nabi SAW, “Seandainya manusia memiliki lembah berisi harta, tentu ia masih menginginkan harta yang banyak semisal itu pula. Mata (nafsu) manusia barulah penuh jika disumpal (diisi) dengan tanah. Allah tentu menerima taubat dari orang yang ingin bertaubat” (HR. Bukhari).

Maka orang-orang yang mau menerima peringatan akan bertaubat sebelum Allah memberikan keputusan yang dikehendaki-Nya. Lalu memanfaatkan waktu yang tersisa untuk meraih ampunan lewat memperbaiki kesalahan berupa sifat rakusnya dimasa lalu. Allah SWT berfirman, “Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Rabb-mu dan (untuk) mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa” (QS. Ali Imran: 133).

Maka seorang Mukmin yang cerdas menjauhi sifat rakus atau ambisi mendapatkan harta, uang, kedudukan dan popularitas. Kecuali mengambil sebatas keperluannya untuk menjaga harga diri, kehidupan, untuk meningkatkan ketaatan lewat berbagi kepada sesama. Mereka meyakini sepenuhnya bahwa kehidupan dunia hanya sekejap, sementara kesenangan yang paripurna hanya bisa diperoleh lewat bersegera mengerjakan kebaikan. Allah SWT befirman, “Sungguh, mereka selalu bersegera (mengerjakan) kebaikan, dan mereka berdoa kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami” (QS. Al-Anbiya: 90).

Mudah-mudahan Allah senantiasa menunjuki dan mengaruniakan bagi kita hati yang bersih, terbebas dari sifat rakus, tamak atau serakah terhadap harta, kedudukan dan popularitas. Dia-lah Allah sebaik-baik pemberi petunjuk. Dia-lah Dzat yang lebih mengetahui siapa diantara hamba-Nya yang pantas menerima petunjuk. Wallahu A’lam.

Wakadiv Office of International Affairs (OIA) Pesantren Darul Mursyid, Tapanuli Selatan.

  • Bagikan