Hukum Shalat Raghaib

  • Bagikan
Hukum Shalat Raghaib

Oleh: Dr. Tgk. Muhammad Yusran Hadi, Lc., MA.

Di antara amalan yang dikhususkan oleh sebahagian orang pada bulan Rajab adalah shalat Raghaib. Mereka melakukan amalan khusus ini karena menyangka adanya keutamaan amalan ini berdasarkan sebuah hadits maudhu” (palsu) yang beredar dalam masyarakat. Mereka menyangka bahwa shalat Raghaib ini dianjurkan dalam syariat Islam.

Sangat disayangkan, mereka melakukan suatu amalan atau ibadah tanpa ilmu. Mereka tidak mengetahui hukum atau derajat hadits mengenai shalat Raghaib. Mereka tidak pula mengetahui hukum menyampaikan, menyebarkan dan mengamalkan hadits palsu. Selain itu, mereka tidak mengetahui bahwa shalat Raghaib ini perbuatan bid’ah. Ini akibat dari kejahilan mereka terhadap agama.

Oleh karena itu, penulis perlu mengkritisi amalan ini dan memberikan pencerahan kepada umat Islam dengan menjelaskan hukum atau derajat hadits shalat Raghaib dan hukum menyebarkan, menyampaikan serta mengamalkan hadits palsu, serta hukum shalat ini berdasarkan penjelasan para ulama. Tulisan ini bertujuan untuk memurnikan syariat Islam dan mengingatkan umat Islam agar tidak terjerumus ke dalam kesesatan bid’ah.

Definisi Shalat Raghaib dan Tata Caranya

Shalat Raghaib adalah shalat yang bersifat khusus yang dilakukan di antara Maghrib dan Isya pada malam Jum’at pertama di bulan Ra’jab sebanyak 12 rakaat. Shalat ini didahului dengan puasa pada hari Kamis pertama bulan Rajab, lalu dilanjutkan dengan shalat Raghaib pada malamnya yaitu antara Maghrib dan Isya.

Adapun tata cara shalat Raghaib yaitu dikerjakan 12 rakaat dengan cara dipisahkan setiap dua rakaat dengan salam. Pada setiap raka’at dibaca Al-Fatihah sebanyak sekali, surat Al-Qadr sebanyak 3 kali dan surat al-ikhlas sebanyak 12 kali. Setelah selesai shalat membaca shalawat sebanyak 70 kali dengan mengucapkan: Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala alihi. Lalu sujud dengan membaca: subbuhun quddusan wa rabbul malaikah war ruh” sebanyak 70 kali. Lalu mengangkat kepalanya dengan membaca: ighfir war ham wa tajawaz ‘amma ta’lam innaka antal azizul a’zham sebanyak 70 kali. Lalu sujud untuk kedua kalinya dengan membaca zikir seperti seperti pada sujud pertama.

Tata cara shalat ini diambil dari hadits yang dihukumi oleh para ulama sebagai hadits palsu yang diklaim diriwayatkan dari Anas bin Malik. Adapun haditsnya ini, penulis akan menyebutkannya di bawah ini.

Sejarah Shalat Raghaib

Shalat Raghaib tidak dikenal dan tidak pernah dilakukan pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Demikian juga tidak pernah dikenal pada zaman tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Shalat Raghaib ini mulai dikenal dan dilakukan untuk pertama kalinya di Baitul Maqdis setelah tahun 480 H.

Sebelum tahun tersebut, shalat Raghaib tidak dikenal, karena tidak dianjurkan dan tidak pula dilakukan oleh Nabi shalllahu ‘alaihi wa sallam. Demikian pula tidak dianjurkan oleh para ulama salafush shalih dari kalangan para sahabat, tabi’in dan tabiut tabi’n termasuk imam-imam mazhab empat yaitu Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’, dan Ahmad.

Imam ath-Thurthusyi al-Maliki (wafat 520 H) menyebutkan bahwa beliau pernah dikabarkan oleh Abu Muhammad Al-Maqdisi, Ia berkata, “Adapun shalat Rajab, belum pernah dilakukan ditempat kami di Baitul Maqdis kecuali setelah tahun 480 Hijriyah. Sebelumnya kami belum pernah mendengar atau melihatnya.” (al-Hawadits wa al-Bida’, hal. 267 no.238).

Imam Abu Syamah Asy-Syafi’i (wafat 665 H) menjelaskan shalat Raghaib, “Mengenai shalat Raghaib, yang dikenal di tengah masyarakat luas dewasa ini adalah yang dikerjakan di antara waktu Maghrib dan Isya, pada malam Jum’at pertama dari bulan Rajab.” (al-Ba’its ‘ala Inkar al-Bida’ wa al-Hawadits: 138).

Hadits Mengenai Shalat Raghaib

Berikut ini penulis menukilkan sebuah hadits palsu mengenai shalat Raghaib dan keutamaannya dengan maksud untuk menjelaskan kepalsuannya. Hadits ini diklaim riwayat dari Anas bin Malik yang dijadikan rujukan oleh sebahagian orang untuk melakukan shalat Raghaib. Mereka menyampaikan, menyebarkan dan mengamalkan hadits ini tanpa mengetahui hukum atau derajat hadits ini.

Diriwayatkan dari Anas bin Malik, Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Rajab bulan Allah dan Sya’ban bulanku serta Ramadhan bulan umatku. Seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, apa makna perkataanmu “Rajab bulan Allah”? Rasulullah menjawab, “Karena bulan ini dikhususkan dengan pengampunan. Padanya dapat menghentikan pertumpahan darah. Allah menerima taubat para Nabi-Nya padanya. Allah menyelamatkan para wali-Nya dari tangan musuh-musuh-Nya padanya. Barangsiapa yang berpuasa padanya maka mengharuskan atas Allah ta’ala tiga hal yaitu pengampunan semua dosanya yang lalu, terjaga dari dosa dalam sisa umurnya, dan aman dari kehausan pada hari Kiamat. Maka seorang yang lanjut usia berdiri lalu dia berkata, “Wahai Rasulullah, saya lemah (tidak sanggup) berpuasa padanya sebulan penuh. Maka Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berpuasalah pada hari pertama bulan Rajab, karena kebaikan itu akan dilipat sepuluh kali lipat, dan berpuasalah pada hari pertengahan dan hari terakhir dari Rajab karena kamu akan diberikan pahala orang yang berpuasa pada bulan Rajab sebulan penuh. Akan tetapi, jangan kamu lalai dari malam Jum’at pertama dalam bulan Rajab, karena ia adalah malam yang dinamakan oleh para malaikat dengan nama Raghaib, yaitu bila berlalu sepertiga malam, tidak seorangpun malaikat di semua langit dan bumi yang ada, melainkan mereka berkumpul di Ka’bah dan sekitarnya, dan Allah azza wa jalla melihat mereka dengan berfirman, “Para malaikatku, mintalah kepadaku apa yang kalian inginkan. Lalu mereka berkata, “Kami meminta agar engkau mengampuni orang-orang yang berpuasa bulan Rajab. Maka Allah ‘azza wa jalla berfirman, “aku telah penuhi.” Lalu Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seorang berpuasa pada hari Kamis pertama bulan Rajab, kemudian shalat di antara Maghrib dan Isya (pada malam Jum’at) sebanyak dua belas raka’at, pada setiap raka’at ia membaca surat Al Fatihah 1 kali dan surat Al Qadr 3 kali, serta surat Al Ikhlas 12 kali, ia memisahkan setiap dua raka’at dengan salam, jika telah selesai dari shalat tersebut, maka ia bershalawat kepadaku 70 kali, kemudian mengatakan “Allahhumma shalli ‘ala Muhammadin Nabiyil ummiyi wa alihi, kemudian ia sujud, lalu ia menyatakan dalam sujudnya “Subbuhun quddusun Rabbul malaikati war ruh” sebanyak 70 kali, lalu mengangkat kepalanya dan mengucapkan “Rabbighfir warham wa tajaawaz amma ta’lam inaka antal ‘Azizul a’zham” sebanyak 70 kali, kemudian ia sujud kedua dan mengucapkan seperti ucapan pada sujud yang pertama, lalu ia memohon kepada Allah hajatnya, maka hajatnya akan dikabulkan. Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidak ada seorang hamba laki-laki atau perempuan yang melakukan shalat ini, kecuali akan Allah mengampuni seluruh dosanya, walaupun seperti buih lautan dan sejumlah daun pepohonan, serta bisa memberi syafa’at pada hari kiamat kepada 700 keluarganya. Jika ia berada pada malam pertama di kuburnya, datang pahala shalat ini. Ia menemuinya dengan wajah yang berseri dan lisan yang indah, lalu menyatakan: ‘Kekasihku, berbahagialah! Kamu telah selamat dari kesulitan besar’. Lalu (orang yang melakukan shalat ini) berkata: ‘Siapa kamu? Sungguh demi Allah aku belum pernah melihat wajah seindah wajahmu, dan tidak pernah mendengar perkataan seindah perkataanmu, serta tidak pernah mencium bau wewangian sewangi bau wangi kamu’. Lalu ia berkata: ‘Wahai, kekasihku! Aku adalah pahala shalat yang telah kamu lakukan pada malam itu, pada bulan itu. Malam ini aku datang untuk menunaikan hakmu, menemani kesendirianmu dan menghilangkan darimu perasaan asing. Jika ditiup sangkakala, maka aku akan menaungimu di tanah lapang kiamat. Maka berbahagialah, karena kamu tidak akan kehilangan kebaikan dari Penolongmu (Allah) selama-lamanya’.”

Hadits ini dinukilkan oleh Ibnul Jauzi di dalam kitabnya “Al Maudhu’at” (Hadits-Hadits Palsu) untuk menjelaskan kepalsuannya. Lalu beliau memberi komentar terhadap hadits ini, ”Lafaz hadits ini dari Muhammad bin Nasir. Hadits ini maudhu’ (palsu) atas diri diri Nabi shallahu’alaihi wa salam. Para ulama hadits menuduh Ibnu Jahdham bermasalah dan menyatakannya suka berdusta”. (Al-Maudhu’at: 2/438).

Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani (wafat 852 H) menukilkan hadits ini dalam kitabnya “Tabyin al-‘Ajab Bi Ma Warada fi Syahri Rajab” (Penjelasan Keanehan Hadits-Hadits mengenai keutamaan bulan Rajab), Lalu beliau menukilkan perkataan Imam Ibnul Jauzi di atas. Beliau menghukuminya sebagai hadits palsu. (Tabyin al-‘Ajab Bi Ma Warada fi Syahri Rajab: 55).

Para ulama hadits sepakat mengatakan bahwa hadits mengenai shalat Raghaib tersebut palsu dan dusta atas diri Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara mereka yaitu Imam Ibnu al-Jauzi (wafat 597 H) dalam kitabnya “Al-Maudhu’at”, Imam Ibnu. ash-Shalah (wafat 643 H), Imam Ibnu al-Qayyim (wafat 751 H) dalam kitabnya “al-Manarul al-Munif”, Imam al-Iraqi (wafat 806 H) dalam kitabnya “Takhrij Ahadits Ihya’ Ulumiddin”, Imam Ibnu Hajar al-Asqalani (wafat 852 H) dalam kitabnya “Tabyin al-‘Ajab Bi Ma Warada fi Syahri Rajab”, Imam as-Sayuthi (wafat 911 H) dalam kitabnya “al-La’ali al-Mashnu”ah fii Ahadits al-Maudhu’ah”, Imam al-Ajluni (wafat 1162 H) dalam kitabnya “Kasyful Khafa’, Imam asy-Syaukani (wafat 1255 H) dalam kitabnya “al-Fawa’id al-Majmu’ah”, dan lainnya.

Adapun hukum menyampaikan, menyebarkan dan mengamalkan hadits palsu adalah haram (dosa besar). Karena, telah berdusta atas nama Nabi shallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya berdusta atas namaku tidaklah sama dengan berdusta pada selainku. Barangsiapa yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka hendaklah dia menempati tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari no. 1291 dan Muslim no. 4).

Pendapat Para Ulama Mengenai Shalat Raghaib

Para ulama sepakat mengatakan bahwa shalat Raghaib itu bid’ah, karena tidak ada dalil satupun yang shahih yang menjelaskan keutamaannya atau menganjurkannya. Begitu pula tidak dilakukan dan tidak pula dilanjurkan oleh para sahabat, tab’in dan tabiut tabi’in.

Di antara para ulama yang mengatakan bid’ahnya shalat Raghaib yaitu Imam Ibnu ash-Shalah asy-Syafi’i (wafat 643 H), Imam Izzuddin Abdu as-Salam (wafat 660 H), Imam Abu Syamah asy-Syafi’i (wafat 665 H), Imam An-Nawawi (wafat 676 H), Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (wafat 728 H), Imam Ibnu al-Haj al-Maliki (wafat 737 H), Imam Ibnu Rajab al-Hambali (wafat 795 H), Imam Ibnu Hajar al-Haitsami asy-Syafi’i (wafat 974 H), dan lainnya.

Dalam kitabnya “At-Targhib ‘an Shalah ar-Raghaib al-Maudhu’ah”, Imam Izzuddin Abdis Salam berkata, “Dan di antara menunjukkan bid’ah shalat Raghaib adalah para ulama sebagai tokoh agama dan imam-imam kaum muslimin yaitu para sahabat, tabi’in, tabiut tabi’in dan selain mereka yang menulis kitab-kitab dalam masalah syariat, dengan semangat mereka mengajarkan orang-orang mengenai kewajiban-kewajiban dan sunnat-sunnat, tidak seorangpun yang dinukilkan dari mereka yang menyebutkan shalat ini dan tidak pula menulisnya dalam kitab-kitab mereka serta tidak pula menyampaikannya dalam majelis-majelis mereka. Secara kebiasaan, mustahil sunnat seperti ini luput dari mereka sebagai tokoh agama dan teladan orang-orang mukmin, padahal mereka menjadi rujukan dalam semua persoalan hukum baik wajib, sunnat, halal dan haram.” (At-Targhib ‘An Shalah ar-Raghaib al-Maudhu’ah: 9, dalam topik al-Musalah al-‘ilmiyyah).

Dalam kitabnya “Al-Ba’its ‘ala Inkar al-Bida’ wal al-Hawadits, Imam Abu Syamah Asy-Syafi’i menukilkan perkataan Imam Ibnu ash-Shalah asy-Syafi’i mengenai shalat Raghaib, “Haditsnya palsu, dan itu adalah perbuatan bid’ah yang muncul tahun empat ratusan Hijriyah.” (Al-Ba’its ‘ala Inkar al-Bida’ wa al-Hawadits: 145).

Beliau menukil pendapat Imam Izzuddin Abdu as-Salam asy-Syafi’i, di mana pada tahun 637 H beliau memberikan fatwa bahwa shalat Ar-Raghaib adalah bid’ah yang mungkar, dan bahwa haditsnya adalah dusta atas nama Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam. (al-Ba’its ‘ala Inkar al-Bida’ wa al-Hawadits: 149).

Imam An-Nawawi berkata, “Shalat yang dikenal dengan shalat Raghaib sebanyak dua belas rakaat yang dikerjakan antara Maghrib dan Isya pada malam Jum’at pertama bulan Rajab, dan shalat malam nishfu Sya’ban sebanyak seratus raka’at adalah bid’ah yang mungkar lagi buruk. Tidak boleh seseorang terpedaya dengan penyebutan kedua shalat ini di dalam kitab Qutul Qulub dan Ihya’ Ulumuddin, dan tidak pula dengan hadits yang disebutkan dalam kedua kitab ini. Sebab, hal itu semua adalah batil. Tidak boleh seseorang terpedaya dengan sebahagian orang yang belum jelas baginya hukum kedua shalat ini dari kalangan imam-imam, lalu ia mengarang dalam beberapa kertas untuk menganjurkan keduanya. Karena ia keliru dalam hal itu. Syaikh Imam Abu Muhammad Abdurrahman bin Ismail al-Maqdisi telah mengarang sebuah kitab yang amat berharga, yang menegaskan kebatilan kedua macam shalat tersebut. Sungguh beliau telah berbuat baik dan berjasa.” (Al-Majmu’: 3/476).

Imam An-Nawawi juga berkata, “Semoga Allah memerangi orang yang mengada-adakan shalat Raghaib ini. Shalat ini bid’ah mungkar termasuk dalam bid’ah kesesatan dan kebodohan. Dalam shalat ini terdapat banyak kemungkaran yang jelas. Sekelompok ulama telah menulis buku yang amat berharga dalam menyatakan keburukan shalat ini, kesesatan orang yang melakukan shalat ini dan pelaku bid’ahnya, dalil-dalil keburukannya, kebatilannya, dan penyesatan pelakunya. Buku-buku yang menjelaskan ini sangat banyak.” (Syarah Muslim: 8/20).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Adapun melakukan shalat dengan jumlah rakaat tertentu dan bacaan tertentu pada waktu tertentu yang dengan jama’ah rawatib seperti shalat-shalat yang ditanya tentangnya seperti shalat Raghaib pada malam Jum’at pertama bulan Rajab dan shalat alfiah pada awal Rajab dan nishfu Sya’ban dan malam 27 Rajab dan sejenisnya maka ini tidak disyariatkan dengan kesepakatan para imam-imam Islam sebagaimana disampaikan oleh para ulama mu’tabar. Tidak ada yang melakukan seperti ini kecuali orang yang bodoh pelaku bid’ah. Membuka pintu seperti ini secara otomatis merusak hukum-hukum Islam dan mengambil bagian dosa orang-orang yang membuat aturan agama yang tidak diizinkan oleh Allah.” (Al-Fatawa Al-Kubra: 2/239).

Syaikhul Islam pernah ditanya mengenai shalat Raghaib, maka beliau menjawab: “Shalat ini tidak dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula tidak seorang pun dari kalangan sahabat, tabi’in dan imam-imam kaum muslimin. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menganjurkannya, begitu pula tidak seorangpun dari kalangan salaf dan imam-imam. Mereka tidak menyebut keutamaannya. Hadits yang diriwayatkan dalam hal itu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dusta dan palsu dengan kesepakatan para ulama. Oleh karena itu, para ulama muhaqiqun berkata, “Shalat Raghaib itu makruh, tidak dianjurkan.” (Al-Fatawa Al-Kubra: 2/262).

Beliau juga berkata,”Shalat Raghaib tidak memiliki dasar. Dia merupakan perbuatan bid’ah, sehingga tidak disunnahkan berjama’ah, dan tidak juga secara sendirian. Dalam Shahih Muslim, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang pengkhususan malam Jum’at dengan shalat malam, atau hari Jum’at dengan puasa. Adapun atsar yang menyebutkan tentang itu, menurut kesepakatan para ulama, adalah palsu.” (Majmu’ Al-Fatawa: 23/132).

Syaikhul Islam juga berkata,”Menurut pendapat para imam, shalat Raghaib adalah bid’ah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mensunnahkannya, dan juga tidak seorangpun dari para khalifah Beliau mensunnahkannya. Tidak pula seorangpun dari para ulama agama, seperti Malik, Syafi’i, Ahmad, Abu Hanifah, Ats Tsauri, Al ‘Auza’i, Al Laits dan lain-lainnya menganggapnya sunnah. Sedangkan menurut ijma’ orang yang mengerti hadits, (menyatakan) hadits yang meriwayatkan tentang shalat ini adalah palsu.” (Majmu’ Al-Fatawa: 23/134).

Imam Ibnu Al-Haj Al-Maliki berkata, “Dan di antara bid’ah yang diadakan pada bulan yang mulia ini (yakni Rajab) yaitu di malam Jum’at pertama dari bulan Rajab mereka melakukan shalat Raghaib di kota-kota dan masjid-masjid, berkumpul di kota-kota dan masjid-masjid, melakukan bid’ah ini dan menampakkannya di masjid-masjid dengan seorang imam dan jama’ah seolah-olah shalat yang disyariatkan.” (Al-Madkhal: 1/294).

Imam Ibnu Rajab Al-Hambali berkata, “Adapun shalat khusus pada bulan Rajab, tidak ada hadits shahih yang mengkhususkannya. Hadits-hadits yang diriwayatkan dalam keutamaan shalat Ragha’ib pada malam Jum’at pertama dari bulan Rajab itu dusta dan batil, tidak shahih. Shalat ini bid’ah menurut kebanyakan ulama. Di antara tokoh ulama muta’akhirin dari kalangan hufazh (ulama hadits) yang menyebutkan hal itu adalah Abu Isma’il Al-Anshari, Abu Bakar As-Sam’ani, Abu Al-Fadhl bin Nashir, dan Abu Al-Faraj bin Al-Jauzi dan lainnya. Kalangan mutaqaddimun tidak menyebutkannya karena shalat bid’ah ini diadakan pada generasi setelah mereka. Bid’ah ini mencul pertama kali setelah tahun 400 Hijriyyah. Oleh karena itu tidak dikenal oleh generasi awal dan tidak pula dibicarakan. Adapun mengenai puasa, tidak ada satupun hadits yang shahih dari Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak pula dari para sahabat dalam keutamaan puasa khusus Rajab .” (Lathaif Al-Ma’arif: 151).

Imam Ibnu Hajar Al-Haitsami Asy-Syafi’i ditanya, “Apakah boleh melakukan shalat Raghaib secara berjama’ah atau tidak? Beliau menjawab: “Adapun shalat Raghaib itu sama dengan shalat nishfu Sya’ban. Kedua shalat ini bid’ah yang buruk dan tercela. Hadits keduanya palsu. Maka dimakruhkan melakukan kedua shalat ini baik sendirian maupun berjama’ah.” (Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra: 1/216).

Dalam kitab “Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah” disebutkan, “Para ulama Hanafiyyah dan Syafi’iyyah berpendapat bahwa shalat Raghaib pada malam Jum’at pertama atau malam nishfu Sya’ban dengan tatacara yang khusus atau dengan jumlah rakaat yang khusus adalah bid’ah munkar.” (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyyah: 22/262).

Berdasarkan penjelasan para ulama di atas, maka kita dapat menyimpulkan bahwa hukum shalat Raghaib adalah bid’ah. Karena, tidak berdasarkan dalil yang shahih dan menyelisihi tata cara shalat sunnat yang sudah dikenal dalam Islam. Selain itu, shalat ini tidak dianjurkan dan tidak pula dilakukan oleh para ulama salafush shalih dari kalangan para sahabat, tabi’in dan tabiut tabi’in termasuk imam-imam mazhab empat. Maka, shalat ini tidak dikenal dalam Islam.

Sebagai penutup, mengingat keharaman mengamalkan hadits palsu dan bid’ah, maka kita harus berhati-hati dalam beribadah. Pastikan suatu ibadah itu berdasarkan dalil yang shahih agar tidak terjerumus dalam perbuatan bid’ah. Semoga kita diberi petunjuk oleh Allah ta’ala untuk mengikuti sunnah Nabi-Nya agar ibadah kita diterima oleh Allah ta’ala dan terhindar dari dosa bid’ah. Amin..!

Penulis adalah Doktor Fiqh dan Ushul Fiqh pada International Islamic University Malaysia (IIUM), Dosen Fiqh dan Ushul Fiqh pada Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Ar-Raniry, Ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Provinsi Aceh, Ketua Bidgar Dakwah PW Persis Aceh, Ketua PC Muhammadiyah Syah Kuala Banda Aceh, dan Anggota Ikatan Ulama dan Da’i Asia Tenggara.

Shalat Raghaib adalah shalat yang bersifat khusus yang dilakukan di antara Maghrib dan Isya pada malam Jum’at pertama di bulan Ra’jab sebanyak 12 rakaat. Shalat ini didahului dengan puasa pada hari Kamis pertama bulan Rajab, lalu dilanjutkan dengan shalat Raghaib pada malamnya yaitu antara Maghrib dan Isya.

Adapun tata cara shalat Raghaib yaitu dikerjakan 12 rakaat dengan cara dipisahkan setiap dua rakaat dengan salam. Pada setiap raka’at dibaca Al-Fatihah sebanyak sekali, surat Al-Qadr sebanyak 3 kali dan surat al-ikhlas sebanyak 12 kali. Setelah selesai shalat membaca shalawat sebanyak 70 kali dengan mengucapkan: Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala alihi. Lalu sujud dengan membaca: subbuhun quddusan wa rabbul malaikah war ruh” sebanyak 70 kali. Lalu mengangkat kepalanya dengan membaca: ighfir war ham wa tajawaz ‘amma ta’lam innaka antal azizul a’zham sebanyak 70 kali. Lalu sujud untuk kedua kalinya dengan membaca zikir seperti seperti pada sujud pertama.

Tata cara shalat ini diambil dari hadits yang dihukumi oleh para ulama sebagai hadits palsu yang diklaim diriwayatkan dari Anas bin Malik. Adapun haditsnya ini, penulis akan menyebutkannya di bawah ini.

Sejarah Shalat Raghaib

Shalat Raghaib tidak dikenal dan tidak pernah dilakukan pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Demikian juga tidak pernah dikenal pada zaman tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Shalat Raghaib ini mulai dikenal dan dilakukan untuk pertama kalinya di Baitul Maqdis setelah tahun 480 H.

Sebelum tahun tersebut, shalat Raghaib tidak dikenal, karena tidak dianjurkan dan tidak pula dilakukan oleh Nabi shalllahu ‘alaihi wa sallam. Demikian pula tidak dianjurkan oleh para ulama salafush shalih dari kalangan para sahabat, tabi’in dan tabiut tabi’n termasuk imam-imam mazhab empat yaitu Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’, dan Ahmad.

Imam ath-Thurthusyi al-Maliki (wafat 520 H) menyebutkan bahwa beliau pernah dikabarkan oleh Abu Muhammad Al-Maqdisi, Ia berkata, “Adapun shalat Rajab, belum pernah dilakukan ditempat kami di Baitul Maqdis kecuali setelah tahun 480 Hijriyah. Sebelumnya kami belum pernah mendengar atau melihatnya.” (al-Hawadits wa al-Bida’, hal. 267 no.238).

Imam Abu Syamah Asy-Syafi’i (wafat 665 H) menjelaskan shalat Raghaib, “Mengenai shalat Raghaib, yang dikenal di tengah masyarakat luas dewasa ini adalah yang dikerjakan di antara waktu Maghrib dan Isya, pada malam Jum’at pertama dari bulan Rajab.” (al-Ba’its ‘ala Inkar al-Bida’ wa al-Hawadits: 138).

Hadits Mengenai Shalat Raghaib

Berikut ini penulis menukilkan sebuah hadits palsu mengenai shalat Raghaib dan keutamaannya dengan maksud untuk menjelaskan kepalsuannya. Hadits ini diklaim riwayat dari Anas bin Malik yang dijadikan rujukan oleh sebahagian orang untuk melakukan shalat Raghaib. Mereka menyampaikan, menyebarkan dan mengamalkan hadits ini tanpa mengetahui hukum atau derajat hadits ini.

Diriwayatkan dari Anas bin Malik, Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Rajab bulan Allah dan Sya’ban bulanku serta Ramadhan bulan umatku. Seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, apa makna perkataanmu “Rajab bulan Allah”? Rasulullah menjawab, “Karena bulan ini dikhususkan dengan pengampunan. Padanya dapat menghentikan pertumpahan darah. Allah menerima taubat para Nabi-Nya padanya. Allah menyelamatkan para wali-Nya dari tangan musuh-musuh-Nya padanya. Barangsiapa yang berpuasa padanya maka mengharuskan atas Allah ta’ala tiga hal yaitu pengampunan semua dosanya yang lalu, terjaga dari dosa dalam sisa umurnya, dan aman dari kehausan pada hari Kiamat. Maka seorang yang lanjut usia berdiri lalu dia berkata, “Wahai Rasulullah, saya lemah (tidak sanggup) berpuasa padanya sebulan penuh. Maka Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berpuasalah pada hari pertama bulan Rajab, karena kebaikan itu akan dilipat sepuluh kali lipat, dan berpuasalah pada hari pertengahan dan hari terakhir dari Rajab karena kamu akan diberikan pahala orang yang berpuasa pada bulan Rajab sebulan penuh. Akan tetapi, jangan kamu lalai dari malam Jum’at pertama dalam bulan Rajab, karena ia adalah malam yang dinamakan oleh para malaikat dengan nama Raghaib, yaitu bila berlalu sepertiga malam, tidak seorangpun malaikat di semua langit dan bumi yang ada, melainkan mereka berkumpul di Ka’bah dan sekitarnya, dan Allah azza wa jalla melihat mereka dengan berfirman, “Para malaikatku, mintalah kepadaku apa yang kalian inginkan. Lalu mereka berkata, “Kami meminta agar engkau mengampuni orang-orang yang berpuasa bulan Rajab. Maka Allah ‘azza wa jalla berfirman, “aku telah penuhi.” Lalu Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seorang berpuasa pada hari Kamis pertama bulan Rajab, kemudian shalat di antara Maghrib dan Isya (pada malam Jum’at) sebanyak dua belas raka’at, pada setiap raka’at ia membaca surat Al Fatihah 1 kali dan surat Al Qadr 3 kali, serta surat Al Ikhlas 12 kali, ia memisahkan setiap dua raka’at dengan salam, jika telah selesai dari shalat tersebut, maka ia bershalawat kepadaku 70 kali, kemudian mengatakan “Allahhumma shalli ‘ala Muhammadin Nabiyil ummiyi wa alihi, kemudian ia sujud, lalu ia menyatakan dalam sujudnya “Subbuhun quddusun Rabbul malaikati war ruh” sebanyak 70 kali, lalu mengangkat kepalanya dan mengucapkan “Rabbighfir warham wa tajaawaz amma ta’lam inaka antal ‘Azizul a’zham” sebanyak 70 kali, kemudian ia sujud kedua dan mengucapkan seperti ucapan pada sujud yang pertama, lalu ia memohon kepada Allah hajatnya, maka hajatnya akan dikabulkan. Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidak ada seorang hamba laki-laki atau perempuan yang melakukan shalat ini, kecuali akan Allah mengampuni seluruh dosanya, walaupun seperti buih lautan dan sejumlah daun pepohonan, serta bisa memberi syafa’at pada hari kiamat kepada 700 keluarganya. Jika ia berada pada malam pertama di kuburnya, datang pahala shalat ini. Ia menemuinya dengan wajah yang berseri dan lisan yang indah, lalu menyatakan: ‘Kekasihku, berbahagialah! Kamu telah selamat dari kesulitan besar’. Lalu (orang yang melakukan shalat ini) berkata: ‘Siapa kamu? Sungguh demi Allah aku belum pernah melihat wajah seindah wajahmu, dan tidak pernah mendengar perkataan seindah perkataanmu, serta tidak pernah mencium bau wewangian sewangi bau wangi kamu’. Lalu ia berkata: ‘Wahai, kekasihku! Aku adalah pahala shalat yang telah kamu lakukan pada malam itu, pada bulan itu. Malam ini aku datang untuk menunaikan hakmu, menemani kesendirianmu dan menghilangkan darimu perasaan asing. Jika ditiup sangkakala, maka aku akan menaungimu di tanah lapang kiamat. Maka berbahagialah, karena kamu tidak akan kehilangan kebaikan dari Penolongmu (Allah) selama-lamanya’.”

Hadits ini dinukilkan oleh Ibnul Jauzi di dalam kitabnya “Al Maudhu’at” (Hadits-Hadits Palsu) untuk menjelaskan kepalsuannya. Lalu beliau memberi komentar terhadap hadits ini, ”Lafaz hadits ini dari Muhammad bin Nasir. Hadits ini maudhu’ (palsu) atas diri diri Nabi shallahu’alaihi wa salam. Para ulama hadits menuduh Ibnu Jahdham bermasalah dan menyatakannya suka berdusta”. (Al-Maudhu’at: 2/438).

Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani (wafat 852 H) menukilkan hadits ini dalam kitabnya “Tabyin al-‘Ajab Bi Ma Warada fi Syahri Rajab” (Penjelasan Keanehan Hadits-Hadits mengenai keutamaan bulan Rajab), Lalu beliau menukilkan perkataan Imam Ibnul Jauzi di atas. Beliau menghukuminya sebagai hadits palsu. (Tabyin al-‘Ajab Bi Ma Warada fi Syahri Rajab: 55).

Para ulama hadits sepakat mengatakan bahwa hadits mengenai shalat Raghaib tersebut palsu dan dusta atas diri Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara mereka yaitu Imam Ibnu al-Jauzi (wafat 597 H) dalam kitabnya “Al-Maudhu’at”, Imam Ibnu. ash-Shalah (wafat 643 H), Imam Ibnu al-Qayyim (wafat 751 H) dalam kitabnya “al-Manarul al-Munif”, Imam al-Iraqi (wafat 806 H) dalam kitabnya “Takhrij Ahadits Ihya’ Ulumiddin”, Imam Ibnu Hajar al-Asqalani (wafat 852 H) dalam kitabnya “Tabyin al-‘Ajab Bi Ma Warada fi Syahri Rajab”, Imam as-Sayuthi (wafat 911 H) dalam kitabnya “al-La’ali al-Mashnu”ah fii Ahadits al-Maudhu’ah”, Imam al-Ajluni (wafat 1162 H) dalam kitabnya “Kasyful Khafa’, Imam asy-Syaukani (wafat 1255 H) dalam kitabnya “al-Fawa’id al-Majmu’ah”, dan lainnya.

Adapun hukum menyampaikan, menyebarkan dan mengamalkan hadits palsu adalah haram (dosa besar). Karena, telah berdusta atas nama Nabi shallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya berdusta atas namaku tidaklah sama dengan berdusta pada selainku. Barangsiapa yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka hendaklah dia menempati tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari no. 1291 dan Muslim no. 4).

Pendapat Para Ulama Mengenai Shalat Raghaib

Para ulama sepakat mengatakan bahwa shalat Raghaib itu bid’ah, karena tidak ada dalil satupun yang shahih yang menjelaskan keutamaannya atau menganjurkannya. Begitu pula tidak dilakukan dan tidak pula dilanjurkan oleh para sahabat, tab’in dan tabiut tabi’in.

Di antara para ulama yang mengatakan bid’ahnya shalat Raghaib yaitu Imam Ibnu ash-Shalah asy-Syafi’i (wafat 643 H), Imam Izzuddin Abdu as-Salam (wafat 660 H), Imam Abu Syamah asy-Syafi’i (wafat 665 H), Imam An-Nawawi (wafat 676 H), Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (wafat 728 H), Imam Ibnu al-Haj al-Maliki (wafat 737 H), Imam Ibnu Rajab al-Hambali (wafat 795 H), Imam Ibnu Hajar al-Haitsami asy-Syafi’i (wafat 974 H), dan lainnya.

Dalam kitabnya “At-Targhib ‘an Shalah ar-Raghaib al-Maudhu’ah”, Imam Izzuddin Abdis Salam berkata, “Dan di antara menunjukkan bid’ah shalat Raghaib adalah para ulama sebagai tokoh agama dan imam-imam kaum muslimin yaitu para sahabat, tabi’in, tabiut tabi’in dan selain mereka yang menulis kitab-kitab dalam masalah syariat, dengan semangat mereka mengajarkan orang-orang mengenai kewajiban-kewajiban dan sunnat-sunnat, tidak seorangpun yang dinukilkan dari mereka yang menyebutkan shalat ini dan tidak pula menulisnya dalam kitab-kitab mereka serta tidak pula menyampaikannya dalam majelis-majelis mereka. Secara kebiasaan, mustahil sunnat seperti ini luput dari mereka sebagai tokoh agama dan teladan orang-orang mukmin, padahal mereka menjadi rujukan dalam semua persoalan hukum baik wajib, sunnat, halal dan haram.” (At-Targhib ‘An Shalah ar-Raghaib al-Maudhu’ah: 9, dalam topik al-Musalah al-‘ilmiyyah).

Dalam kitabnya “Al-Ba’its ‘ala Inkar al-Bida’ wal al-Hawadits, Imam Abu Syamah Asy-Syafi’i menukilkan perkataan Imam Ibnu ash-Shalah asy-Syafi’i mengenai shalat Raghaib, “Haditsnya palsu, dan itu adalah perbuatan bid’ah yang muncul tahun empat ratusan Hijriyah.” (Al-Ba’its ‘ala Inkar al-Bida’ wa al-Hawadits: 145).

Beliau menukil pendapat Imam Izzuddin Abdu as-Salam asy-Syafi’i, di mana pada tahun 637 H beliau memberikan fatwa bahwa shalat Ar-Raghaib adalah bid’ah yang mungkar, dan bahwa haditsnya adalah dusta atas nama Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam. (al-Ba’its ‘ala Inkar al-Bida’ wa al-Hawadits: 149).

Imam An-Nawawi berkata, “Shalat yang dikenal dengan shalat Raghaib sebanyak dua belas rakaat yang dikerjakan antara Maghrib dan Isya pada malam Jum’at pertama bulan Rajab, dan shalat malam nishfu Sya’ban sebanyak seratus raka’at adalah bid’ah yang mungkar lagi buruk. Tidak boleh seseorang terpedaya dengan penyebutan kedua shalat ini di dalam kitab Qutul Qulub dan Ihya’ Ulumuddin, dan tidak pula dengan hadits yang disebutkan dalam kedua kitab ini. Sebab, hal itu semua adalah batil. Tidak boleh seseorang terpedaya dengan sebahagian orang yang belum jelas baginya hukum kedua shalat ini dari kalangan imam-imam, lalu ia mengarang dalam beberapa kertas untuk menganjurkan keduanya. Karena ia keliru dalam hal itu. Syaikh Imam Abu Muhammad Abdurrahman bin Ismail al-Maqdisi telah mengarang sebuah kitab yang amat berharga, yang menegaskan kebatilan kedua macam shalat tersebut. Sungguh beliau telah berbuat baik dan berjasa.” (Al-Majmu’: 3/476).

Imam An-Nawawi juga berkata, “Semoga Allah memerangi orang yang mengada-adakan shalat Raghaib ini. Shalat ini bid’ah mungkar termasuk dalam bid’ah kesesatan dan kebodohan. Dalam shalat ini terdapat banyak kemungkaran yang jelas. Sekelompok ulama telah menulis buku yang amat berharga dalam menyatakan keburukan shalat ini, kesesatan orang yang melakukan shalat ini dan pelaku bid’ahnya, dalil-dalil keburukannya, kebatilannya, dan penyesatan pelakunya. Buku-buku yang menjelaskan ini sangat banyak.” (Syarah Muslim: 8/20).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Adapun melakukan shalat dengan jumlah rakaat tertentu dan bacaan tertentu pada waktu tertentu yang dengan jama’ah rawatib seperti shalat-shalat yang ditanya tentangnya seperti shalat Raghaib pada malam Jum’at pertama bulan Rajab dan shalat alfiah pada awal Rajab dan nishfu Sya’ban dan malam 27 Rajab dan sejenisnya maka ini tidak disyariatkan dengan kesepakatan para imam-imam Islam sebagaimana disampaikan oleh para ulama mu’tabar. Tidak ada yang melakukan seperti ini kecuali orang yang bodoh pelaku bid’ah. Membuka pintu seperti ini secara otomatis merusak hukum-hukum Islam dan mengambil bagian dosa orang-orang yang membuat aturan agama yang tidak diizinkan oleh Allah.” (Al-Fatawa Al-Kubra: 2/239).

Syaikhul Islam pernah ditanya mengenai shalat Raghaib, maka beliau menjawab: “Shalat ini tidak dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula tidak seorang pun dari kalangan sahabat, tabi’in dan imam-imam kaum muslimin. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menganjurkannya, begitu pula tidak seorangpun dari kalangan salaf dan imam-imam. Mereka tidak menyebut keutamaannya. Hadits yang diriwayatkan dalam hal itu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dusta dan palsu dengan kesepakatan para ulama. Oleh karena itu, para ulama muhaqiqun berkata, “Shalat Raghaib itu makruh, tidak dianjurkan.” (Al-Fatawa Al-Kubra: 2/262).

Beliau juga berkata,”Shalat Raghaib tidak memiliki dasar. Dia merupakan perbuatan bid’ah, sehingga tidak disunnahkan berjama’ah, dan tidak juga secara sendirian. Dalam Shahih Muslim, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang pengkhususan malam Jum’at dengan shalat malam, atau hari Jum’at dengan puasa. Adapun atsar yang menyebutkan tentang itu, menurut kesepakatan para ulama, adalah palsu.” (Majmu’ Al-Fatawa: 23/132).

Syaikhul Islam juga berkata,”Menurut pendapat para imam, shalat Raghaib adalah bid’ah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mensunnahkannya, dan juga tidak seorangpun dari para khalifah Beliau mensunnahkannya. Tidak pula seorangpun dari para ulama agama, seperti Malik, Syafi’i, Ahmad, Abu Hanifah, Ats Tsauri, Al ‘Auza’i, Al Laits dan lain-lainnya menganggapnya sunnah. Sedangkan menurut ijma’ orang yang mengerti hadits, (menyatakan) hadits yang meriwayatkan tentang shalat ini adalah palsu.” (Majmu’ Al-Fatawa: 23/134).

Imam Ibnu Al-Haj Al-Maliki berkata, “Dan di antara bid’ah yang diadakan pada bulan yang mulia ini (yakni Rajab) yaitu di malam Jum’at pertama dari bulan Rajab mereka melakukan shalat Raghaib di kota-kota dan masjid-masjid, berkumpul di kota-kota dan masjid-masjid, melakukan bid’ah ini dan menampakkannya di masjid-masjid dengan seorang imam dan jama’ah seolah-olah shalat yang disyariatkan.” (Al-Madkhal: 1/294).

Imam Ibnu Rajab Al-Hambali berkata, “Adapun shalat khusus pada bulan Rajab, tidak ada hadits shahih yang mengkhususkannya. Hadits-hadits yang diriwayatkan dalam keutamaan shalat Ragha’ib pada malam Jum’at pertama dari bulan Rajab itu dusta dan batil, tidak shahih. Shalat ini bid’ah menurut kebanyakan ulama. Di antara tokoh ulama muta’akhirin dari kalangan hufazh (ulama hadits) yang menyebutkan hal itu adalah Abu Isma’il Al-Anshari, Abu Bakar As-Sam’ani, Abu Al-Fadhl bin Nashir, dan Abu Al-Faraj bin Al-Jauzi dan lainnya. Kalangan mutaqaddimun tidak menyebutkannya karena shalat bid’ah ini diadakan pada generasi setelah mereka. Bid’ah ini mencul pertama kali setelah tahun 400 Hijriyyah. Oleh karena itu tidak dikenal oleh generasi awal dan tidak pula dibicarakan. Adapun mengenai puasa, tidak ada satupun hadits yang shahih dari Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak pula dari para sahabat dalam keutamaan puasa khusus Rajab .” (Lathaif Al-Ma’arif: 151).

Imam Ibnu Hajar Al-Haitsami Asy-Syafi’i ditanya, “Apakah boleh melakukan shalat Raghaib secara berjama’ah atau tidak? Beliau menjawab: “Adapun shalat Raghaib itu sama dengan shalat nishfu Sya’ban. Kedua shalat ini bid’ah yang buruk dan tercela. Hadits keduanya palsu. Maka dimakruhkan melakukan kedua shalat ini baik sendirian maupun berjama’ah.” (Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra: 1/216).

Dalam kitab “Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah” disebutkan, “Para ulama Hanafiyyah dan Syafi’iyyah berpendapat bahwa shalat Raghaib pada malam Jum’at pertama atau malam nishfu Sya’ban dengan tatacara yang khusus atau dengan jumlah rakaat yang khusus adalah bid’ah munkar.” (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyyah: 22/262).

Berdasarkan penjelasan para ulama di atas, maka kita dapat menyimpulkan bahwa hukum shalat Raghaib adalah bid’ah. Karena, tidak berdasarkan dalil yang shahih dan menyelisihi tata cara shalat sunnat yang sudah dikenal dalam Islam. Selain itu, shalat ini tidak dianjurkan dan tidak pula dilakukan oleh para ulama salafush shalih dari kalangan para sahabat, tabi’in dan tabiut tabi’in termasuk imam-imam mazhab empat. Maka, shalat ini tidak dikenal dalam Islam.

Sebagai penutup, mengingat keharaman mengamalkan hadits palsu dan bid’ah, maka kita harus berhati-hati dalam beribadah. Pastikan suatu ibadah itu berdasarkan dalil yang shahih agar tidak terjerumus dalam perbuatan bid’ah. Semoga kita diberi petunjuk oleh Allah ta’ala untuk mengikuti sunnah Nabi-Nya agar ibadah kita diterima oleh Allah ta’ala dan terhindar dari dosa bid’ah. Amin..!

Penulis adalah Doktor Fiqh dan Ushul Fiqh pada International Islamic University Malaysia (IIUM), Dosen Fiqh dan Ushul Fiqh pada Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Ar-Raniry, Ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Provinsi Aceh, Ketua Bidgar Dakwah PW Persis Aceh, Ketua PC Muhammadiyah Syah Kuala Banda Aceh, dan Anggota Ikatan Ulama dan Da’i Asia Tenggara.

  • Bagikan