Rohingnya Dan Teologi Kemanusiaan

  • Bagikan
Rohingnya Dan Teologi Kemanusiaan

Oleh M. Yamin, SE, M.Si.

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Mahamengetahui lagi Mahabijaksana” (QS. At-Taubah: 9)

Peristiwa penolakan, bahkan aksi pengusiran pengungsi Rohingnya oleh kelompok yang mengaku dan mengatasnamakan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Nusantara menjadi fakta yang tak terbantahkan bahwa peristiwa ini menjadi titik mula massifnya gerakan penolakan di tempat-tempat lain di wilayah Aceh, bahkan mungkin di daerah lain di luar Aceh. Narasi negatif semakin tak terkendali, sebagian besar content creator tak perlu lagi terlalu menguras fikiran berkeringat mencari ide untuk membuat konten, karena jualan sentimen negatif lebih menjanjikan dan dijamin laku untuk mendapatkan like, subscribe & share.

Berdasarkan penelusuran pada konten-konten yang diposting media baik dalam bentuk video maupun berita teks, gambar dan meme, terdapat beberapa macam alasan penolakan/ pengusiran pengungsi Rohingnya di Aceh, di antaranya ; (1) Adanya sentimen ekonomi, (2) Kekhawatiran kelak menjadi kelompok separatis, (3) Alasan keamanan nasional Aceh, (4) Alasan adat istiadat dan sosia masyarakat, (5) Upaya antisipasi dari pengalaman Yahudi menguasai Palestina, (6) Orang Rohingya membawa penyakit menular seperti HIV, AIDS, (7) Karena perilaku buang air besar sembarangan. Mungkin masih banyak perilaku lain para pengungsi yang dijadikan alasan pembenar untuk penolakan dan pengusiran, yang sebenarnya perilaku-perilaku tersebut juga biasa terjadi dalam masyarakat kita yang hidupnya normal.

Semua alasan tersebut dapat dengan mudah dicarikan argumentasinya, konon lagi bagi masyarakat yang sudah terlanjur benci akibat dicekoki dengan narasi-narasi negatif yang 24 jam hilir mudik lewat di layar gadget, maka bukan sekedar melihat, menonton, tetapi secara sengaja atau tidak sengaja tergerak jemarinya untuk meneruskan konten tersebut sehingga menjadi viral dan trending di media massa, secara algoritma berita viral ini otomatis akan proaktif menghampiri setiap pengguna gadget, demikian seterusnya hingga terbentuk satu sikap yang mengkristal dalam fikiran setiap orang, tolak dan usir Rohingnya.

Alasan-alasan tersebut jelas berdampak buruk secara psikologis bagi masyarakat Aceh, dan Indonesia pada umumnya, karena akan melahirkan kebencian dan perasaan berlebihan terhadap golongan lain yang kita anggap tidak sesuai dengan kebiasaan kita. Dalam terminologi yang lebih khas, alasan-alasan di atas akan melahirkan sikap Rasis.
Pramoedya Ananta Toer mendefinisikan rasisme atau rasialisme sebagai paham yang menolak sesuatu golongan masyarakat yang berdasar ras lain. Rasialisme timbul atau dapat timbul apabila masyarakat atas minoritas yang mempunyai kelainan-kelainan dari pada keumuman biologis yang ada pada warga-warga masyarakat itu, dan dia timbul atau bisa timbul karena segolongan kecil atau minoritas itu tidak dapat mempertahankan diri.
Menurut Oliver C. Cox rasisme adalah peristiwa, situasi yang menilai berbagai tindakan, dan nilai dalam suatu kelompok berdasar perspektif kulturalnya yang memandang semua nilai sosial masyarakat lain di luar diri mereka itu salah dan tidak dapat diterima.

Kekhawatiran yang berlebihan terhadap keberadaan pengungsi Rohingnya hingga pada titik pengusiran ini berbanding lurus dengan kekhawatiran kita terhadap lahirnya sikap rasis di tengah-tengah masyarakat karena ini akan menjadi momok yang sangat menakutkan untuk masa depan manusia di sekitar kita, karena sikap rasis itu kelak menajadi api yang menghanguskan semua relung kemanusiaan kita dalam waktu yang singkat, padahal kita sudah melewati banyak pencerahan melalui kegiatan keagamaan sejak kecil hingga dewasa bahkan sampai tua.

Sebagai umat beragama, kita tentu juga harus merujuk sikap kita kepada petunjuk yang tak diragukan lagi kebenarannya, Al-Qur’an dan Hadist, sebagai pedoman hidup. Dalam Surah Al-Hujurat:13, “Wahai manusia, Sungguh Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui, maha Teliti”.

Pesan Qur’an tersebut secara gamblang menginformasikan bahwa hanya sikap taqwa yang mengindikasikan kita adalah manusia mulia, bukan sikap inkar. Rasis adalah perilaku inkar yang tidak mengakui keberadaan perbedaan itu sendiri.

Pesan Tuhan Melalui Rohingnya

Saya ingin melihat kasus Rohingnya ini secara berbeda, guna memberikan perspektif lain yang mengkaitkan suatu peristiwa dengan pesan Tuhan yang dimaktub berabad-abad lalu, lantas digugat oleh manusia untuk kepentingan tertentu dengan mengatakan bahwa Al-Qur’an tidak up to date, Kasus Rohingnya adalah informasi penting untuk mendukung “tafsir” tentang senif budak yang tertuang dalam Surah At-Taubah : 9, “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Mahamengetahui lagi Mahabijaksana”.

Mengutip penjelasan Hamim Ilyas, tentang Redefinisi Ashnaf Zakat Dalam Perspektif Tarjih (Muhammadiyah), pada senif Budak, para ulama memberikan beberapa pengertian tentang riqab yang berhak menerima zakat: budak yang mengadakan akad pembebasan diri dengan tuannya (Arab: mukatab) (Ali bin Abi Thalib dan Imam Syafii); budak yang dibeli untuk dimerdekakan (Ibn Abbas dan Imam Malik) (Al-Mawardi: 376); dan tawanan perang (Az-Zamakhsyari: 282).

Dalam hukum internasional sekarang perbudakan sudah dilarang dan peperangan yang legal adalah perang antar-negara. Namun dalam kenyataannya, masih terjadi “perbudakan” dan “konflik bersenjata” antarwarga masyarakat. Perbudakan pada dasarnya merupakan sistem sosial yang tidak berperikemanusiaan dengan melegalkan diskriminasi, penindasan, dan eksploitasi. Ketika Islam datang, perbudakan bersama feodalisme menjadi sistem sosial yang dominan dan Islam mengubahnya menjadi sistem sosial egalitarianisme.

Pada zaman Nabi perubahan dilakukan secara evolusioner dengan membuka pintu pembebasan budak yang sebanyak-banyaknya dan selebar-lebarnya. Selanjutnya, perang (konflik bersenjata) adalah konflik sosial yang menyebabkan warga masyarakat yang terlibat konflik berada pada lubang kemiskinan dan para nabi diutus untuk menghilangkan konflik  (al-Baqarah [2]: 213).

Berdasarkan pendapat ulama dan hukum internasional beserta kenyataan yang ada sekarang, definisi riqab adalah ‘orang-orang yang menjadi korban dari penerapan sistem sosial yang menindas dan konflik sosial dan orang yang mengalami eksploitasi secara seksual dan ekonomi di luar batas kemanusiaan’. Hal ini berarti bahwa mereka adalah para korban perbudakan (lama) dan perbudakan modern; korban negara fasis dan rasis; korban konflik sosial; dan korban eksploitasi seksual dan ekonomi.

Riqab dalam pengertian demikian berhak mendapatkan bagian zakat dengan kriteria yang relevan sekarang, yaitu buruh migran yang mengalami eksploitasi; korban trafficking; pengungsi korban konflik sosial, kerusuhan dan pengusiran (pengungsi Wamena dll); pengungsi konflik politik (pengungsi Suriah dan lain-lain); pengungsi korban fasisme dan rasisme (pengungsi Rohingya dan lain-lain)

Redefinisi senif Riqab (budak) ini sekaligus membantah tuduhan yang mengatakan bahwa Al-Qur’an tidak up to date dikarenakan ada satu kata yang Allah letakkan dalam salah satu surat dimana kata tersebut ternyata tidak berlaku di zaman modern ini.

Hari ini kita dihadapkan pada suatu peristiwa penting, kehadiran pengungsi Rohingnya yang dipersoalkan, menguji sejauhmana rasa kemanusiaan kita, sekaligus menyampaikan informasi penting bahwa perbudakan itu selalu ada dalam konteks yang faktual menurut zamannya. Jika kita mengabaikan rasa kemanusiaan ini, konon lagi dengan terang-terangan dan terorganisisr melakukan pengusiran, maka kita juga sekaligus melegitimasi bahwa kata riqab (budak) dalam Al-Qur’an itu adalah sebuah kata yang tidak penting dan tidak perlu ada.

Wakil Ketua PW. Muhammadiyah Aceh, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Aceh.

  • Bagikan